April -16

Dica

'Kamu berangkat bulan depan.'

Di tengah semua yang menghujani pikiran gue tiga hari belakangan, sulit untuk mengenyahkan kalimat Bu Lili yang itu, yang diucapkannya di depan gue di ruang dosen, yang seharusnya membuat gue senang alih-alih dilema.

Perkataan itu mengikuti gue terus menerus, menyembul di air berbuih deterjen saat gue mencuci, tersisip di antara sederet huruf dalam buku yang gue baca, tahu-tahu menyeruak di tengah adegan film yang gue tonton. Juga ketika gue sibuk mengikuti perkembangan kasus ayah Rasyid, kata-kata itu seperti pengganggu kala gue memikirkan bagaimana cara supaya Rasyid tidak tenggelam dalam kesedihannya sendiri, yang gue sebut sebagai kesedihan menakutkan karena dia selalu berusaha keras menyembunyikannya. Bagaimanapun kesedihan yang dibentengi kepura-puraan pasti jauh lebih menyakitkan.

Malam ini, ucapan Bu Lili kembali bergema dalam benak tanpa diundang, tepat ketika gue menyelesaikan paper yang akan dikumpulkan besok siang. Sudah jam dua belas lewat saat akhirnya gue bisa merenggangkan tangan ke udara di depan laptop yang dayanya sudah di ujung tanduk. Gue buru-buru mencetak paper gue sebelum laptop mati dan mengharuskan gue menyambung charger.

Di tengah bunyi printer yang mengisi kesunyian malam kos-kosan gue, pikiran gue kembali diusik oleh keberangkatan ke Jepang, gue menatap berkas dokumen yang belum gue berikan ke orang tua sampai hari ini, karena gue masih ragu apakah gue bisa berangkat. Gue tidak tahu apakah gue bisa pergi meninggalkan Rasyid di sini. Atau lebih tepatnya, gue tidak mau meninggalkannya.

Tanpa bisa dicegah, gue memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin saja bisa terjadi, seandainya tidak ada masalah yang menimpa ayah Rasyid, mungkin tanpa ragu gue akan membicarakan soal ini bersama Rasyid dengan lebih ringan, karena gue tahu dia akan mendukung gue, seperti waktu gue pertama kali meminta pendapatnya tentang student exchange.

Gue masih ingat omongannya waktu gue bertanya, 'Kalo misalnya aku diterima gimana?'

Dia tersenyum kotak lalu mengacak rambut gue dengan sayang, 'Asik dong! Ntar kamu bisa makan takoyaki langsung di negaranya.' lalu menenangkan gue dan juga dirinya sendiri, 'Setaun doaaang. Gak apa-apa. Tapi pas kamu pulang langsung aku lamar ya? Hehehehe.'

Seiring berjalannya waktu, kami berdua sama-sama lupa soal itu, terlebih karena gue juga tidak tahu apakah gue diterima atau tidak. Sekarang, saat sudah mendapat kepastian kalau gue diterima, segalanya malah jadi sulit.

Terlebih lagi, kenyataan kalau gue ke sana tidak sendiri.

Rasanya gue bisa menebak, kalau nanti Rasyid tahu gue tidak menjalani program student exchange sendirian melainkan bersama seorang lelaki di angkatan gue, dia akan menarik kata-katanya soal 'Setaun doang'. Bertambah lagi alasan mengapa sebaiknya aku tidak berangkat.

Irham Prakasa adalah teman seangkatan gue yang sebenarnya tidak bisa dibilang teman karena sekarang gue dan dia hanya sekadar tahu satu sama lain. Beberapa orang di jurusan Sastra Jepang sering sekali bilang kalau Irham adalah versi laki-laki gue dan gue adalah versi perempuan Irham. Katanya gue dan Irham sama-sama dingin, tertutup, dan tulisan-tulisan kami berdua yang sering muncul di buletin maupun mading jurusan tentang kebudayaan Jepang seringkali bernada sama.

Awal dari gue mengenalnya adalah waktu semester satu dulu. Gue sebagai mahasiswa baru mengikuti open recruitment HIMA, tepatnya di divisi minat dan bakat atau kami menyebutnya divisi Mikosi. Itulah awal gue bertemu dengan Irham karena dia juga memilih divisi yang sama.

Dikarenakan di beberapa pertemuan, gue menyadari bahwa pendapat-pendapat gue dan dia selalu sejalan, lalu kami berdua sering dipasangkan dalam beberapa program. Gue akui, dulu gue senang bekerjasama dengannya, meski kami beberapa kali berdebat alot tapi dia satu-satunya teman seangkatan gue yang sering berpemikiran sama dengan gue.

Walaupun banyak yang bilang kami berdua sangat sejalan dengan satu visi misi yang sama, gue dan dia punya ciri khasnya sendiri-sendiri, kalau gue lebih nyaman bekerja di balik komputer dengan tulisan-tulisan gue yang sering ia bilang 'terlalu melankolis dan terlalu bertele-tele.', dia menonjol dalam ilustrasi. Kadang bakat menggambarnya itu membuat gue sedikit iri, kalau ia sedang tidak menulis esai serius, dia akan menggambar komik berpanel yang kemudian ditempel di mading jurusan, yang selalu membuat orang tertarik karena ceritanya yang manis dan jenaka. Setiap membaca komik mininya gue memendam keheranan karena... bagaimana bisa seseorang yang selalu bertampang sinis itu membuat komik lucu dan ceria seperti ini? Orang yang tidak kenal dan tidak tahu pembuat komik itu pasti tidak bisa membayangkan ekspresi kakunya saat menggambar dan mengangsir.

Gue pernah beberapa kali melihat sendiri Irham berdiam di pojok ruangan HIMA, menggambar di buku sketsanya, dan waktu itu gue langsung teringat pada karakter Nozaki di anime Gekkan Shoujo Nozaki-kun, si komikus berwajah datar yang membuat banyak komik shoujo. Benar-benar potret sebuah kontras. Bagaimana seorang yang sehari-harinya tersenyum saja jarang membuat komik bercerita manis dan merekahkan senyum pembacanya.

Dea pernah bilang kalau gue dan Irham seperti anak kembar apalagi frekuensi kebersamaan gue dengannya dalam rentang waktu dua semester lumayan sering. "Lo tau gak julukan anak-anak jurusan buat lo berdua?" tanya Dea waktu itu yang gue balas dengan angkatan bahu.

"Dua gunung es." Ucap Dea dramatis, membuat gue mengerutkan kening. "Iya, lo berdua tuh dua gunung es yang sebelahan di kutub. Sama-sama gak ada ekspresi, misterius, kadang jutek."

"Serius gue begitu banget?" Kalau Irham memang iya, tapi gue ternyata begitu juga ya?

"Ya, tapi kalian berdua kalo kerja totalitas banget sih. Jadi gak apa-apa. Sikap dingin, tangan juga dingin."

Gue menggeleng-geleng, gak ngerti sama omongan Dea, tapi dari situ gue mulai tersadar kalau ada gosip yang tersiar di jurusan tentang gue dan Irham. Katanya gue dan Irham pacaranlah, inilah, itulah. Gosip itu makin kencang di antara anak-anak HIMA, bahkan berkali-kali gue mendapati beberapa teman berbisik-bisik sambil sesekali melirik gue. Padahal yang gue lakukan hanya duduk di sebelah Irham karena kami berdua sedang menyusun LPJ bersama-sama.

Awalnya, gue cuek sama gosip-gosip itu. Toh gak benar sama sekali, obrolan Irham sama gue sebatas urusan kuliah dan HIMA, gak pernah hal-hal lain. Tapi lama-lama memang cukup mengganggu, karena dalam kegiatan kepanitiaan, gue literally cuma berdiri dan bernapas di sebelah Irham saja langsung ada yang ribut bercie-cie. Lalu mereka dengan sengaja mengatur gue dan Irham yang beli makan, gue dan Irham yang ini, yang itu. Ya maksud gue... gue memang sudah biasa bareng Irham, tapi karena jelas-jelas disengaja begini—ditambah ledekan dan siulan tidak penting mereka—gue jadi gak nyaman. Lebih parahnya, kalau Irham menempelkan komiknya seperti biasa di mading, ada saja komentar iseng semacam: 'Itu tokoh ceweknya si Dica ya?', 'Cielah, Irham ngegambar Dica.' dan seterusnya, dan seterusnya. Gue yakin Irhamnya sendiri juga sama kayak gue, gak nyaman.

Sayangnya, dia gak menghadapinya dengan gentle. Gue kecewa banget waktu dia jaga jarak, dia menghindari gue. Cara menghindarinya juga jelas sekali, dia selalu menggeser duduknya supaya gak bersebelahan sama gue di rapat, dia juga sering putar balik kalau kami berpapasan. Gue dan dia nyaris gak pernah kerja bareng lagi, mengobrol pun tidak, padahal masih satu divisi. Tapi gue juga enggan untuk bertanya kenapa dia menghindari gue. Dari sikapnya, terlihat dia orang seperti apa. Dan gue gak mau menahan orang, kalau dia segitu gak maunya temenan lagi sama gue dan lebih mementingkan omongan orang lain, ya sudah, gue tidak akan memaksa.

Puncak kekesalan gue adalah ketika kami sibuk dengan kepanitiaan festival. Waktu itu gue menggantikan kakak tingkat menjadi sekretaris, Irham seperti biasa ditugasi mendesain poster, dia juga membuat proposal dari divisi minat dan bakat. Gue masih ingat dengan jelas, gue masih di HIMA sampai malam karena Irham tidak kunjung datang sementara poster sudah harus dipasang hari ini dan gue harus menyelesaikan proposal gabungan. Dia tidak membalas satupun chat gue dan baru datang hampir jam sembilan malam, dengan wajah tetap datar seolah tidak merasa bersalah sama sekali, dan menyerahkan flashdisknya tanpa melihat gue.

"Lo boleh gak suka atau ngehindarin gue, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya lari dari tanggung jawab lo." begitu kata-kata yang terlontar dari mulut gue waktu itu dengan intonasi paling tajam yang bisa gue suarakan.

Sejak saat itu, gue dan dia tidak pernah bicara lagi. Irham pindah ke divisi advokasi. Sebegitunya dia menghindari gue. Namun sekali lagi, gue mencoba tidak peduli dan menjalankan hari-hari gue seperti biasa, dan kemudian bertemu Rasyid Ananta pada semester tiga.

Sampai detik ini gue masih belum mengerti alasan Irham menjauhi gue seolah gue bakteri yang membahayakan sistem imunnya. Tapi gue memutuskan untuk mengikuti caranya, bersikap seperti tidak saling mengenal.

Dan sekarang...

Apa yang diinginkan takdir ketika menentukan Irham menjadi partner gue ke Jepang? Kenapa dia? Dari semua mahasiswa jurusan Sastra Jepang di kampus gue? Kenapaaa?

Keheningan kamar yang kembali akibat printer yang sudah menyelesaikan kerjanya menyentak gue dari lamunan. Dengan segera gue merapikan paper gue, memutuskan untuk tidur sebelum otak gue semakin kusut.

Ketika gue mencari paperclip di ujung meja, tatapan gue tertumbuk ke arah tumpukan kartu pos koleksi gue yang seharusnya gue letakkan di kotak arsip. Sesuatu terasa seperti menahan tenggorokan gue ketika melihatnya, menghalangi gue menelan ludah. Sejurus kemudian, gue sudah menenggelamkan pikiran gue seraya membolak-balik kartu pos itu satu demi satu. Hampir semuanya adalah kartu pos dengan foto pemandangan Jepang. Ada beberapa yang gue beli di toko buku di sini, ada juga yang benar-benar gue dapatkan dari postcrossing project yang gue ikuti, di mana gue saling berkirim kartu pos dengan orang-orang dari berbagai negara di dunia.

Bukan main senangnya gue waktu mendapatkan kartu pos dari Osaka dengan foto Tsutenkaku di malam hari. Menyusul kartu pos-kartu pos lain yang memperlihatkan kembang api-kembang api musim panas, kegiatan hanami, sampai jalan-jalan kecil di sudut Tokyo, lengkap dengan kucing cokelat yang tengah melintas.

Sampai ke kartu pos terakhir yang menyodorkan potret pemandangan Gunung Fuji berlatarkan langit serupa kanvas biru, gue menahan gelegak yang begitu saja hadir di hati gue.

Mungkin... gue belum bisa pergi ke Jepang tahun ini, mungkin bukan lewat jalan student exchange ini, mungkin belum sekarang.

Perlahan gue mengangkat wajah dan pandangan gue tertuju ke satu titik, pada selembar foto yang tertempel di board kecil di meja, di sebelah foto gue dan Rasyid yang diambil waktu kami baru jadian. Foto yang sedang menghisap fokus gue sepenuhnya adalah foto Rasyid sendiri, tanpa gue, mengenakan jas hitam kebiruan di atas kemeja biru dan dasi hitam, tersenyum.

Ingatan gue lalu terseret arus waktu, kembali ke suatu hari saat gue dan Rasyid menyempatkan bertemu untuk nonton sepulang kuliah. Kesibukan kami berdua membuat kami baru bisa nonton dengan cara nyolong waktu saat sore pulang kuliah, benar-benar langsung dari kampus. Gue dikagetkan dengan penampilannya yang rapi seperti habis dari kondangan.

"Aku udah bilang kan hari ini angkatan aku ada acara foto bareng di studio?" katanya sambil merapikan rambutnya yang gue yakin hasil penataannya sendiri.

"Iya, tapi aku kira pake baju biasa aja...."

Dia nyengir, "Ini seragam resmi anak teknik angkatan aku, keren ya? Kayak pilot, tinggal tambahin topinya aja nih."

Gue mengangguk-angguk seraya menahan senyum, "Tapi aku kasual banget lho ini, gak cocok di sebelah kamu."

"Apaan." Rasyid pura-pura menyentil poni gue. "Kamu pake apa aja juga cocoklah. Udah yuk, ikutin Kapten Rasyid."

"Apa?" gue tertawa.

Lalu dengan konyolnya dia berbicara seperti pengumuman dalam pesawat, "Penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan dengan tujuan ke Adicatopia. Penerbangan kali ini dipimpin oleh Kapten Rasyid Ananta. Oh ya, khusus untuk penumpang yang bernama Adisa Mutiara Dewi, bukan penumpang yang terhormat, tapi yang tersayang."

Gue mencubit lengannya, "Pilot kayak gitu sih langsung ditegur maskapainya terus gak boleh terbang lagi."

"Gak apa-apa, aku masih bisa terbang kok. Coba kamu puji aku, sayang-sayang aku sekarang, wih pasti langsung terbang ke langit ketujuh, ke galaksi Bimasakti. Wussssssssh."

"Rasyid.." gue tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Eh, Ca!! Ada photobox!!"

"Kenapa? Mau foto?" gue ikut menoleh ke arah yang dilihat Rasyid.

"Iya mumpung aku ganteng nih."

Emang kapan kamu gak ganteng, Cid? Tapi gue menggigit bibir menahan kata-kata itu meluncur keluar karena nanti benar apa yang dia bilang soal terbang.

Beberapa menit kemudian, gue dan Rasyid sudah berdiri berdekatan di dalam photobox, selesai berpose untuk keempat kalinya. Gue tergelak melihat hasil foto terakhir, kami berdua sama-sama berpose belalang, gesture yang kata Rasyid gesture meminta cinta. Tiba-tiba Rasyid mendapat ide baru, "Ca, dua foto terakhir kita foto sendiri-sendiri gimana?"

"Ha?"

"Sendiri-sendiri, terus nanti aku simpen foto kamu, kamu simpen foto aku." Rasyid menaik-naikkan alisnya. "Ya ya ya?"

Saat kami berdua duduk menunggu pintu teater bioskop dibuka sambil melihat-lihat hasil fotonya, gue berkata sambil mengacungkan fotonya.

"Kamu keliatan bahagia di sini."

"Iyalah kan lagi sama kamu daaaan fotonya buat kamu. Masa aku merengut?"

Dan sekarang hasil fotonya dengan rapi dan rekat tertempel di board gue, foto Rasyid berlatar putih polos, mengenakan seragam angkatannya yang katanya membuatnya jadi terlihat seperti pilot, senyumnya yang lebar, dan matanya yang seperti ikut tersenyum.

Tanpa bisa dicegah, bola mata gue terhalangi air mata yang sedetik kemudian melelehi pipi. Gue tidak mau menghilangkan senyum bahagia Rasyid lagi, seperti yang pernah gue lakukan waktu gue pertama kali meninggalkannya.

Meski itu berarti gue harus merelakan mimpi gue.

Malam itu gue tertidur menelungkup di atas meja, dengan kartu-kartu pos yang gue biarkan tersebar berantakan sementara tangan gue menggenggam foto Rasyid. Berharap lelaki itu tetap menemukan alasan untuk tersenyum seperti di dalam foto tersebut, di tengah masalah berat yang tengah menimpanya saat ini.

*

Acid

Sambil terhuyung, gue melangkah menuju teras Komet dan duduk di kursi. Gue menyandarkan punggung sampai bagian belakang kepala gue menyentuh kaca jendela di belakang kursi.

Gue baru saja dari rumah. Sudah beberapa hari sejak ayah dilaporkan, gue selalu menyempatkan diri ke rumah sebelum pulang ke Komet. Sebisa mungkin gue meluangkan waktu untuk ayah, menghibur ibu yang hari-harinya dipenuhi kecemasan sejak hari itu walaupun sebenarnya emosi gue juga sedang tidak stabil, tapi gue gak bisa diem aja liat ibu sedih.

"Kamu juga kan harus kuliah, Dek. Udah, balik ke kosan aja, kuliah yang bener. Ayah sama ibu bakal baik-baik aja." Begitu kata ayah waktu gue bilang gue akan menetap di rumah saja untuk sementara waktu, sampai pengadilan menyatakan ayah gak bersalah.

Langit malam yang terbentang memperlihatkan titik demi titik bercahaya yang tersebar jadi gugusan. Kalau ada Rara, pasti dia udah ngoceh soal astronomi. Kakak gue itu hafal istilah-istilah perbintangan yang gak gue pahami karena dia emang tertarik. Sejak kecil dia udah sering sok-sokan nebak-nebak rasi bintang, baca-baca ensiklopedia bintang sementara gue lebih suka baca Kobochan. Satu-satunya bintang yang bikin gue tertarik cuma bintang juara, eh sorry, itu nama tempat les.

Obsesi kakak gue sama perbintangan terus berlanjut sampe dia gede, gue inget pas gue SMA dia berkali-kali masuk kamar gue tanpa ngetok cuma buat ngasih tau informasi tentang bintang dan bulan.

"Dek, sekarang tuh merkurius lagi di titik elongasi tertinggi lho!!!"

Apaan coba elongasi. Elongasi tuh 'eh lo tau nggak sih?' disatuin?

"Dek!! Bulannya lagi separo!"

Hm ya, terus kenapa? Lo mau bilang separonya lagi dimakan kucing, Ra?

"Dek! Keluar cepetan!! Bisa liat Jupiter!!"

Udah sering liat, Ra, di jalan. Motor Jupiter kan?

Lebih ribut lagi kalo bulan purnama, padahal dia bukan werewolf yang bakal berubah pas bulan purnama tapi hebohnyaaaa udah kayak apaan tau. Dia bakal nerobos kamar gue gak santai. Gubrak gabruk gubrak gabruk.

"DEK!!! PURNAMA!!! DEK PURNAMA!!! IH KOK KALO GUE MASUK KAMAR LO, LO SERING NONTONIN WALLPAPER WINDOWS?"

Bener-bener ya kakak gue tuh, sengaja mau menebarkan kecurigaan orang rumah terhadap aktivitas gue di kamar.

Untung ayah ibu gak denger, kalo denger pasti mereka bisa nebak kalo sebenernya gue nontonin wallpaper windows tuh hasil dari kecepatan kilat gue menekan close.

Ok, gak usah dibahas.

Mata gue berkedip-kedip ngeliatin bintang-bintang malam itu.

Gue kangen Rara.

Gue kangen dengerin cerita-cerita dia sambil nontonin bintang di balkon rumah, ditemenin jasuke alias jagung susu keju, penganan favorit dia—favorit gue juga—yang dia bilang comfort food dia setiap kali dia lelah sama kehidupan. Di kesempatan lain gue yang gantian bikinin dia makanan, meski mentok di indomie soto pake bawang goreng. Sorry, Ra, adek lo jagonya masak mie doang.

Dia gak bakal bosen cerita soal bintang, bulan, planet dan gue juga gak bosen dengerinnya walaupun cerita itu udah berulang-ulang gue dengar sejak kita berdua kecil. Sejak kecil juga dia sering menyebut tiga tahi lalat di pipi gue adalah konstelasi bintang. Konstelasi Acidrius katanya.

Kata-kata ayah kembali terdengar di kepala gue. Permintaannya supaya gue gak ngasih tau Rara dulu tentang apa yang terjadi sama ayah. Sekalipun gue pengen banget bilang karena Rara juga berhak tau. Meski begitu, gue ngerti kalo ayah ada benarnya. Hidup jauh dari rumah aja udah cukup berat buat Rara, sebaiknya gue gak nambahin beban pikiran dia di sana, biar dia fokus kuliah aja. Nanti pas masalahnya udah selesai—semoga bentar lagi—gue bakal ngasih tau dia. Buat sementara ini, gak apa-apa gue yang nyimpen semuanya.

Seolah ada koneksi batin yang kuat antara gue dan Rara nun jauh di New York sana, tiba-tiba hp di kantong celana gue bergetar. Ada line call dari 'Rarara'. Wow. Gue takjub. Cepet banget pesan kangen yang gue titipin bintang sampe ke sana. Padahal di sana kan pasti udah pagi.

Tanpa ragu, walaupun masih sedikit kaget Rara kayak bisa tau kalo gue mikirin dia, gue mengangkat teleponnya.

"Hallo, Dek?"

"Hallo kakakku yang jelek."

"Idih???"

"Hehe. Ada apa telpon? Kangen gue ya?" gue tersenyum, berharap kakak gue gak tau keganjilan di suara gue.

"Kangen semuanya sih, kangan ayah, ibu, ya... sama lo juga."

"Of courseeeee, kita kan ngangenin." Dalam hati gue diam-diam perih. Gue rasa di sana Rara juga bisa ngerasa ada apa-apa terjadi di sini. "Lo gak kuliah? Di sana pagi kan?"

"Bentar lagi berangkat nih." terdengar denting sendok beradu dengan cangkir. "Lo lagi di kosan ya? Bukan di rumah?"

"Iyalah Ra, di sini udah malem." Gue semakin yakin Rara punya perasaan gak enak, mungkin abis ini dia bakal nelepon ayah atau ibu.

"Eh gimana di sana udah macarin cowok bule belom?" gue sengaja membelokkan topik.

"Heh, gue kirim tabok ni ya."

"Belom juga? Aduh masa sih gak ada yang kecantol sama kecantikan kakak gue."

"Tadi katanya gue jeleeeek." Rara mencibir.

"Kan tadi."

"Eh, Dek, ayah sama ibu baik-baik aja kan?"

Tuh kan.

Gue harus jawab apa kalo gini.

Langsung kayak ada yang nyumbat tenggorokan gue.

"Baik..." jawab gue. Gak tau harus bersyukur apa nggak karena Rara gak baca berita tentang ayah di portal berita online. Tapi cepat atau lambat juga dia bakal tau gak sih? Gue cuma bisa berdoa semoga perkaranya gak makin panjang supaya gak ada berita-berita jelek tentang ayah lagi.

Hening. Pasti Rara masih curiga.

Kadang emang perempuan tuh punya kemampuan mendeteksi yang luar biasa. Kalah deh detektor logam.

"Lo juga, lo baik-baik aja kan?"

Saat itulah gue merasakan pertahanan gue hampir hancur kaya istana pasir yang kena ombak.

Dengan susah payah gue menjawab, "Gue baik."

Rara terdengar menggumam.

"Ra," panggil gue.

"Apa?"

"Gue pengen ke sana lagi deh, nengokin lo."

Dengan segera, Rara tahu kalau gue beneran lagi kangen dia, atau mungkin dia juga tau ada yang gak beres. Sebelum dia sempat menanggapi, gue langsung memotong, "Udah sana lo berangkat. Kuliah yang bener lu."

Ketika telepon ditutup dan Rara titip salam buat Dica yang sering banget gue ceritain ke dia, gue kembali menghempaskan badan gue ke punggung kursi, setengah menengadah, ngeliatin langit lagi.

Jarang-jarang bisa liat bintang di kota besar sarang polutan kayak gini, tapi malem ini langitnya bersih, bintang-bintang keliatan jelas kayak lukisan.

Mungkin ini cara alam menghibur gue.

*

Rama menemukan gue di teras hari Minggu sore itu dan matanya sekilas melotot melihat apa yang sedang gue lakukan.

"Lo ngerokok lagi, Cid?" tanyanya sambil duduk di kursi di sebelah gue. Ada teguran samar dalam pertanyaannya.

Gue nyengir seraya menepis abu rokok yang terselip di jari gue ke asbak. Wajar kalo Rama kaget karena sejak balikan sama Dica gue emang mulai berhenti ngerokok dikit-dikit.

"Sekali. Gue lagi pengen aja." Gue yakin Rama juga paham alasannya. Buktinya dia juga gak komentar lagi. Di luar dugaan, Rama gak beranjak dan tetep duduk di sebelah gue, lah gue pikir dia gak bakal tahan sama asap rokok.

"Cid,"

"Oi."

"Kok bisa sih?"

"Bisa apa?" alis gue bertaut heran.

"Kok lo bisa tahan kayak gini terus?"

"Kayak gini gimana maksud lo, Ram?"

"Ya gini," Rama berdeham, "Lo selalu bersikap kayak semuanya baik-baik aja."

Gue terdiam sejenak, mengepulkan sedikit asap, "Gue gak baik-baik aja, Ram, kalo baik-baik aja, sekarang gue gak bakal nyebat lagi."

Giliran Rama yang diam, tapi itu hanya berlangsung sebentar, "Lo bisa cerita, Cid, I'm all ears."

Ngaku, gue terharu dikit dengernya, ditambah emang gue lagi sensi kan, kalo gue gak pinter-pinter nahan, pasti udah netes.

"Gak perlu Ram. Gue gak suka cerita-cerita gitu."

"Kenapa tuh?"

"Gak suka aja. Kalo gue cerita malah nambahin pikiran orang lain. Setiap orang udah cukup punya masalah, gak perlulah gue tambahin lagi."

Rama menghela napas, "Lo gak sendirian di dunia, Cid. Salah satu cara buat lo ngerasa gak sendirian tuh dengan bagi cerita sama orang lain."

Gue menggeleng, "Sekarang gue tanya balik deh sama lo Ram, lo juga gak pernah kan cerita-cerita tiap ada masalah, sama kita, sama cewek lo? Nggak kan?"

Karena Rama tidak menjawab, gue melanjutkan, "Gue lebih suka semuanya berjalan kayak biasa, Ram. Kalo gue berubah justru bakalan lebih berat, artinya gue nyerah sama kesedihan gue sendiri, gue malah bakalan kepikiran terus. Ya, gue tau gue boleh sedih, tapi sedih terang-terangan di depan orang?" gue mengangkat bahu, "Gue gak mau."

"Ok, itu mungkin cara lo, dan cara gue juga sebenernya."

Gue melemparkan senyum terima kasih karena Rama mengerti.

"Semoga masalah bokap lo cepet selesai ya, bokap lo bebas dari tuduhan, dan semoga lo juga kuat."

"Thanks, Ram."

Diam lagi. Asap tipis rokok gue meliuk di udara.

"Sejak bokap gue dituduh, sebelum ada surat pemeriksaan resmi, bokap gue tetep berangkat kerja kayak biasa, gak peduli sama tatapan orang-orang."

Rama di sebelah gue termangu, dan gue tahu dia mendengarkan.

"Dia bilang dia ngerugiin banyak orang kalo sampe gak masuk kerja. Bikin susah orang-orang kantornya, mahasiswa di fakultasnya. Gimana coba, Ram, kok bisa bokap gue yang kayak gitu dituduh korupsi?"

"Cid,"

"Bokap gue bilang, yang bikin dia paling sedih adalah... kasus uang kayak gini kenapa ada di dalem institusi pendidikan yang seharusnya mendidik? Gimana mau mendidik yang bawah kalo yang atasnya aja masih harus dididik? Tuh, lagi situasi begini aja, yang bokap gue pusingin tuh itu." Gue menahan diri untuk bicara lebih banyak. Gue memilih gak ngasih tau kalo gue lagi benci banget sama diri gue sendiri yang payah dan gak bisa ngapa-ngapain buat bantuin bokap gue, buat ngelepas bokap gue dari tuduhan itu.

"Ini mungkin kedengerannya klise ya, Cid," kata Rama sambil menatap gue, "tapi gue yakin, akhirnya kebenaran yang bakal menang kok. Bokap lo orang baik, gue yakin orang baik bakal selalu dilindungi."

Gue mengangguk-angguk, mengaminkan perkataan Rama.

Sampai bermenit-menit berikutnya, gue dan dia sama-sama melamun. Mungkin kalau ada Krucils yang mengintip keluar, mereka akan heran melihat gue sama diamnya seperti Rama.

Ketika akhirnya Rama bangkit dari duduknya, ia menepuk bahu gue dan berkata pelan, "Cid, lo tau gak waktu Dica ke sini hujan-hujanan? Pas sebelumnya dia nelpon Satrio nanyain lo abis itu nemenin lo sampe lo mau makan?"

Lidah gue terasa kelu mengingat itu apalagi begitu mendengar ucapan Rama selanjutnya.

"Dia kan pulang setelah lo tidur, sebelum pulang dia nyamperin gue. Dia minta supaya gue merhatiin makan lo, katanya lo jangan makan mie instant dulu, terus dia juga minta tolong kalo misalnya gue sempet supaya gue bikinin jagung susu keju buat lo karena katanya lo suka. Dia juga minta gue sama anak komet lain nemenin lo kalo lo ngelamun atau sedih di kosan, ya kayak sekarang gini..."

Udara di sekitar gue kayak langsung membeku dan mengunci tubuh gue jadi kaku. Dica... sampe bilang ke Rama kayak gitu.

"Keliatan banget, Cid, Dica sayang sama lo. Jangan kecewain dia dengan balik ke kebiasaan lama yang ngerusak lo."

Perlahan gue mematikan nyala rokok dengan menekan puntungnya ke asbak. Gue menghela napas dan menangkupkan wajah dengan kedua tangan.

Maafin aku, Ca.

*

Mata Dica menatap lurus punggung lelaki yang tengah memilih-milih pulpen di bagian stationery. Rasanya ia ingin membenamkan wajahnya ke punggung itu karena tahu bahwa beberapa hari terakhir adalah hari yang berat untuknya dan mungkin peluk akan membuatnya merasa lebih baik.

Weekend ini, Acid mengajaknya pergi di telepon dengan nada cerah ceria seperti biasa.

"Ke gramed yuk." Ajaknya membuat Dica sedikit heran.

"Tumben tujuan utamanya Gramed?"

"Kan kamu seneng ke toko buku."

"Kamunya? Emangnya gak mau refreshing ke tempat lain?"

"Ya aku bakal seneng kalo kamu seneng. Jadi... ayo ke Gramed, tempat yang bikin kamu seneng."

Dan di sinilah mereka berdua sekarang, setelah Acid mengikuti Disa dari satu rak buku ke rak buku lainnya, dari satu rak komik ke rak komik lainnya, kini mereka berada di tengah-tengah rak stationery. Salah satu kebiasaan Acid kalau menemani Dica ke toko buku adalah membeli pulpen. Padahal katanya kalau kuliah, di kelasnya banyak tuyul yang menyebabkan pulpen-pulpen sering raib makanya dia lebih suka hanya membawa satu pulpen pilot dan sebatang pensil. Mungkin pulpen yang dibelinya di sini khusus dia gunakan di kosan.

Acid akan memilah-milah pulpen lalu mencobanya satu persatu di atas kertas yang memang disediakan untuk coret-coret menguji pulpen. Wajahnya akan terlihat sangat serius seolah sedang memilih permata.

Dica melangkah mendekati Acid sambil menenteng plastik berisi satu buku dan satu komik yang baru ia bayar di kasir.

"Ada berapa kandidat pulpen kamu?" tanyanya sambil bertopang dagu, memperhatikan kegiatan Acid memilih pulpen.

"Ini, ini, sama ini," Acid mengurutkan pilihannya lalu tersenyum lebar, "Susah banget ni persaingan ketat. Jadiiiiiiii akan jatuh pada yang manakah pilihan Rasyid Anantaaa?" ujarnya seperti anak kecil meniru komentator olahraga.

"Ok, aku tungguin sampe kamu bisa nentuin." Dica tersenyum, ia kembali memperhatikan Acid mencoret-coret. "Rasyid, kalo kamu udah nulis-nulis banyak begini sih harusnya kamu beli tiga-tiganya, sama aja kamu ngabisin tinta?" ia menggeleng-geleng melihat kelakuan pacarnya.

Acid mengerling Dica, lagi-lagi dilanda rasa syukur karena Dica selalu memposisikan diri sebagai orang yang sayang dan peduli padanya tanpa menuntut, dia tidak memaksa Acid untuk bercerita dan menunggu Acid sendiri yang membuka diri. Yang dilakukan Dica adalah tetap di sampingnya, menenangkannya tanpa banyak bertanya, mencoba meringankan kepedihannya dengan menemani dan menyayanginya dengan caranya sendiri. Dan itu sangat sangat cukup untuk Acid.

Tapi bagaimanapun, ia bisa merasakan ada sesuatu yang sedang ditutupi Dica, yang belum diceritakan gadis itu, yang ia tahan, mungkin karena tidak ingin menambah beban Acid.

"Ca," panggil Acid, masih sambil memilih pulpen, kali ini ia berpindah ke pulpen warna-warni.

"Hm?"

"Ada yang mau kamu bilang ke aku gak?"

Dica tidak menjawab, sebaliknya ia menatap Acid dengan penuh tanya, Acid bisa menangkap dari sorot mata itu kalau ia benar, ada sesuatu yang disembunyikan Dica. Acid meletakkan pulpen yang sedang ia genggam untuk menyelipkan rambut Dica ke belakang telinga, gesture khasnya, "Bilang aja sekarang, cepetan, aku tunggu. Kalo aku taunya telat atau tau dari orang lain, aku marah lho."

Dica diam, ekspresinya berubah, membuat Acid sedikit gamang. Apa yang Dica sembunyikan sebenarnya?

"Ca,"

Dica menghela napas, setelah semenit penuh ia kelihatan mempertimbangkan, akhirnya ia balas menatap mata Acid.

"Bilang sama aku."

Kelihatan sekali kalau Dica sedang berpikir keras, ia takut akan menyesal kalau bicara sekarang, tapi ia juga tidak ingin menyesal kalau sudah terlambat. Acid berhak tahu.

"Ca," panggil Acid lagi, dan Dica menarik napas dalam-dalam.

"Tapi janji, kamu dengernya tenang ya."

Acid merasa perutnya bergolak tidak nyaman, tapi ia mengangguk.

"Kamu inget gak, aku waktu itu apply student exchange u to u?"

Sorot mata Acid mulai menunjukkan resah, dia sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Dica seterusnya.

"Aku dikabarin minggu kemarin kalo aku.... diterima."

Terdengar gemuruh di benak Acid.

Ia kelihatan masih memproses semuanya dan mengerjap beberapa kali.

"Terus katanya yang diberangkatin dari kampusku dua orang, selain aku ada anak kelas lain, namanya Irham." Dica berkata sejujur-jujurnya.

"Tunggu, tunggu, ini program yang kata kamu kuliah setaun itu kan, kamu diterima, terus... berangkatnya kapan?" Acid bertanya terburu-buru.

"Bulan depan," Dica perlahan menggenggam punggung tangan Acid di samping pulpen-pulpen, berusaha menenangkannya, "tapi itu kalo jadi."

"Kalo jadi? Emang bakal gak jadi?" kening Acid terlipat, ia terlihat seperti orang yang sedang duduk di kursi yang terbakar.

"Kalo kamu gak mau aku pergi, aku gak bakal pergi." Ujar Dica, ia mengatakannya dengan pelan namun pasti.

Selama beberapa saat mereka hanya saling bertukar pandang tanpa ada yang bicara. Suara riuh anak-anak yang sedang memilih-milih buku gambar di rak belakang mereka menjadi background noise.

Kekosongan yang tidak nyaman itu seperti menjemput menit yang mati.

"Tapi kan," Acid menelan ludah, nadanya aneh, "Jepang tuh mimpi kamu.."

Tatapan Dica melembut, ia mempererat genggaman tangannya, "Iya, tapi aku gak mau ninggalin kamu."

Acid menggeleng-geleng, "Jangan Ca, jangan gak jadi pergi karena aku. aku gak mau ngehalangin keinginan kamu. Nggak, nggak."

"Cid," Dica berkata pelan, "gak apa-apa, jangan dipikirin sekarang, ini bukan keputusan yang bisa langsung diambil sehari. Nanti kita omongin lagi aja. Tapi yang perlu kamu tau, kalopun aku gak jadi pergi, aku gak apa-apa." Ia tersenyum sebelum melepaskan genggaman tangannya. "Udah, kamu balik pilih pulpen aja. Aku tunggu di sini."

Sementara Dica menunggu di sampingnya sambil mengalihkan pembicaraan pada restoran curry yang rencananya akan mereka datangi sehabis dari Gramed, Acid membisu, tidak sadar kalau Dica sedang berusaha membuatnya kalem dengan meyakinkannya kalau dia tidak ke mana-mana.

Dalam sekejap seperti ada gelombang pasang air laut yang berkejaran silih berganti di dalam hati Acid. Matanya memejam selama beberapa detik. Bertanya-tanya, apa yang sebaiknya ia perbuat. Di satu sisi ia akan bahagia kalau Dica bahagia, dan Acid tahu pasti Jepang adalah impian gadis itu, tapi di sisi lain, di salah satu sisi yang juga egonya, dia tidak ingin Dica pergi, ia ingin Dica tetap di sisinya, ia tidak ingin dipisahkan lagi, setelah pernah dipisahkan perasaan, kini dipisahkan jarak?

Sampai ketika ia memutuskan untuk membeli semua kandidat pulpen yang ia coba dan membayarnya di kasir, gelombang itu masih belum juga surut.

*

Selagi Acid membayar ke kasir, Dica melirik bentangan kertas yang direkatkan di rak, penuh dengan coretan-coretan orang yang menguji coba pulpen. Iseng, jarinya menelusuri coretan tangan Acid. Ia tersenyum melihat sesuatu yang digambar Acid dengan salah satu kandidat pulpennya. Gambarnya seperti anak kecil.

Gambar dua orang yang sedang berpegangan tangan, laki-laki dan perempuan, yang laki-laki punya diberi tiga titik di pipinya, dan yang perempuan berambut panjang dan diikat kuncir kuda. Di bawahnya terdapat tulisan berbunyi 'Acidica'

Senyum Dica perlahan memudar begitu menyadari bahwa Acid menggambar alis keduanya melengkung turun dan senyum mereka terlihat sedih.


a/n:

Maaf Cid, author bikin lo sedih lagi.

Chapter depan nggak kok, beneran.

Huhuhuhuhu *buang tisu*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top