another November

Acid

Seperti yang gue bilang ke Rara tempo hari, divisi kantor gue ngadain outing ke daerah Puncak, Bogor. Liburan sekaligus penutupan ospek buat OJT alias On Job Training. Momen yang bakal gue jadiin kesempatan buat, ehem, anu, nembak Dica lagi. Elah, jadi grogi kan gue.

Awalnya gue udah harap-harap cemas, gue pikir Dica gak ikut, tapi ternyata dia ikut dan berkat campur tangan Fadhil, supporter Galih dan Ratna versi kantor, Dica diatur buat satu mobil sama gue.

"Gak usah kecewa gitu dong gue yang duduk di sini." Fadhil ngangkat-ngangkat alisnya pas dia duduk di kursi penumpang sebelah pengemudi karena emang gue yang bakal nyetir ganti-gantian sama dia. Kita udah siap otw pagi-pagi banget.

"Bacot lu." Gue sengaja bisik karena Dica sama Kinar udah naik di jok belakang.

"Udah mandi belom lu? Gak mandi lu ya." Tuduh Fadhil sambil naro cemilan seplastik di sisi dia.

"Udahlah anjir." Gue ngecek sekilas tatanan rambut gue di spion depan terus sengaja ngeliat ke arah Dica di belakang, posisinya serong dari gue alias di belakang Fadhil. Duh pagi-pagi udah cantik aja art ciptaan Tuhan.

"Ooo di sini Rasyid yang nyetir, ganti-gantian toh sama Fadhil?" Tanya Mas Aryo yang duduk di jok paling belakang sendirian.

"Yoi, Mas. Si Adul co-pilotnya."

"Kayaknya gak perlu digantiin sih, Mas." Fadhil nyambung, "Acid bakalan seger terooooos sepanjang jalan."

Hm, enak nih kayaknya pagi-pagi nimpuk orang pake batako. Setan banget emang si Fadhil.

"Seger karena udah mandi soalnyaaa." Tambah Fadhil lagi, sengajain banget. Gue ngelirik Dica lagi, ekspresinya tetep datar gak ketebak.

"Gak berasa kayak liburan ya ini. Kayak kita lagi on-site aja." Cetus Mas Aryo. Dia gak tau kalo outing ini agenda super penting buat gue.

"Musrik dong musriik." Fadhil kembali berceloteh sambil menyalakan music player. Aduuuuh, lagunya Sheila on 7 lagi yang Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki. Tau aja kalo anugerah terindahnya lagi duduk di belakang Fadhil.

Pas memasuki jalan tol terus gue refleks naro jari telunjuk di bibir sementara tangan gue satu lagi megang setir, gue langsung keinget komentar Rara waktu itu, yang katanya gue kebanyakan gaya pas nyetir, bikin dia enek. Ya abis gimana dong? Kaidah nyetir gue emang gini. Tapi Dica gak enek kan?

"Cid." Panggil Fadhil. Apaan lagi ni makhluk. "Bagi tolak angin dong."

"Apaan sih, kok udah masuk angin aja lo?" Gue mendelik.

"Buat jaga-jaga aja. Buat gue gak usah pake post-it kok." Fadhil senyum ngeledek.

Bangke.

Tapi Dica di belakang kayaknya gak denger karena pake earphone sendiri, sambil ngeliat ke luar jendela mobil. Cahaya matahari pagi yang nyorot ke wajah dia bikin dia tambah... gue nahan napas, cantik. Gue buru-buru mengembalikan konsentrasi nyetir gue.

Sambil menyempatkan diri ngunyah permen mint-permen wajib gue kalo nyetir-dan diiringi celotehan berisik Fadhil yang bilang ntar kita semua harus mampir ke Cimory, mobil yang gue kemudikan terus melaju.

*

"Villanya enak kaaan? Gue yang nyari lho ini." Mbak Sandra pamer dengan bangga pas kita semua udah sampe di lokasi. Khas villa Puncak, lantainya dingin, terus bagian depan, belakang sama sampingnya hijau banyak pohon. Villa ini letaknya di kompleks villa gitu jadi tetangga kita villa-villa juga.

Gue seperti halnya yang lainnya langsung merenggangkan tubuh terus menghirup udara segar.

Di dalem villa berlantai dua ini lantainya ada yang ubin ada yang kayu, terus ada kayak perapian gitu, halaman belakangnya luas, cukup buat games-games team building yang udah direncanakan Mbak Sandra.

"Ntar malem kita bisa bakar-bakar nih. Udah ada arengnya."

"Asik, gue bawa kartu remi juga buat maen ntar malem." Fadhil antusias sementara Mbak Sandra mulai ngasih tunjuk kamar-kamar.

"Lo sama Adul tidur di luar aja ya, Cid."

"Etdah, tega amat, Mbak Sansss." Gue merengut.

"Lah lo berdua kan satpam?"

Malemnya, semua ngumpul di teras belakang buat bakar-bakaran.

"Udah nih, jagung doang yang kita bakar?" Ceplos Fadhil yang bawa-bawa gitar. Preparasi dia emang bener-bener dah, abis ini dia bilang dia bawa organ tunggal juga gue gak heran.

"Emang mau bakar apa lagi, Duuul." Gue menoyor dia.

"Membakar masa lalu? Membakar rasa yang dulu pernah ada? Gimana?"

"Oh kalo itu sih jangan dibakar."

"Lo berdua bisa diem gak." Mbak Sandra menginterupsi obrolan berfaedah gue sama Fadhil, "Pada mau jagung sama barbeque gak?"

"Mau dong, Mbak! Dikira dari tadi kita nunggu apaan? Sembako?"

"Nih, bakar sendiri."

"Yailah."

Alhasil gue sama Fadhil berduet dalam acara makrab alias malam rakab-rakab ini. Walaupun yang lain pada protes karena gue sama Fadhil ngipasnya pake gaya orang lagi pencak silat.

Malem makin larut pas semua udah beres makan, Fadhil mulai nyanyi-nyanyi gak jelas, jadi gue ambil alih gitarnya. "Sini gue aja yang nyanyi."

Tapi sebelum itu...

Gue ngambil satu jagung bakar di piring terus nyamperin seseorang yang dari tadi duduk diem kayak lagi di dunianya sendiri, Dica. Alisnya meliuk pas gue nyodorin jagung bakar, tapi akhirnya dia terima juga sambil ngegumam 'Makasih'.

Dica keliatan gemes banget pake parka biru tua yang dia kerudungin hoodienya, poninya sedikit mencuat, terus dia lipet tangan karena udara dingin, mata gue ngelirik kakinya yang dibalut kaos kaki gambar-gambar. Duh, jangan lucu-lucu dong, Ca.

Tanpa sempet mikir, gue duduk di sebelah Dica bikn mata dia sempet melebar. Dari sudut mata, gue bisa liat Fadhil langsung siap-siap teriak "Cieee." tapi keburu disumpel Mbak Sandra pake jagung.

Karena grogi, gue mulai metik-metik senar gitar, asal.

"Kamu gak dingin?" Dica tiba-tiba nanya pelan. Mungkin karena pas bakar-bakar tadi gue sengaja lepas jaket terus sekarang gue cuma kaosan di udara malam Puncak kayak gini.

"Hm? Dingin?" Gue senyum sekilas, "Dingin sih, makanya aku ke sebelah kamu, biar anget hehe."

Pada saat biasa, pasti Dica bakalan nyubit gue, sekarang dia cuma mengembuskan napas tapi tetap membiarkan gue di sebelahnya, kembali memetik gitar.

*

Dica

Kunyalakan layar hp untuk memastikan sekarang jam berapa dengan mata yang setengah tertutup. Sudah hampir jam tiga pagi. Tidurku tidak tenang semalaman, mungkin karena aku belum terbiasa dengan suasana kamar villa ini, atau karena aku sibuk memikirkan banyak hal. Termasuk senyuman Rasyid waktu ia bermain gitar di sebelahku semalam. Bersama asap dari pemanggang dan obrolan teman-teman sekantor kami, dia dengan mudahnya menciptakan dunia baru yang hanya berisi aku dan dia.

Kulirik Kinar yang sudah tidur pulas dengan selimut menyelubunginya sampai kepala. Berjalan sedikit terhuyung, aku keluar kamar untuk ke dapur. Mendadak ingin menghangatkan tubuhku dengan secangkir minuman hangat. Ini sering kulakukan di rumah kalau aku tidak bisa tidur.

Mataku seketika tertuju pada Fadhil yang ketiduran di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala dan sisa kartu remi berantakan di atas meja. Rasyid tidak ada, mungkin dia masih punya kesadaran penuh untuk menyeret diri ke kamar. Sedikit mengerling pada gitar yang tergeletak di sisi sofa, ingatanku tentang senyum dan nyanyian Rasyid tadi malam kembali menyergap.

Kuembuskan napas sebelum kembali ke tujuanku semula, pergi ke dapur. Kuambil satu kantong teh dari dalam kotaknya lalu mengucurkan air panas ke dalam cangkir. Lagi-lagi tanpa gula. Aku hanya ingin memberi sensasi hangat pada tubuhku, jadi aku duduk di salah satu kursi di meja makan dan menikmati teh hangat itu sendiri.

Sesapan sedikit demi sedikit mengantarkanku pada lamunan. Malam itu begitu sunyi, hanya ada sayup-sayup suara televisi yang volumenya pelan dari ruang tengah tempat Fadhil tidur. Aku rasanya bisa mendengar gemerisik angin di luar jendela saking sepinya.

Karena keheningan itu, dan karena kehangatan yang diberikan secangkir teh, kepalaku perlahan terkulai ke atas meja. Kalau di tempat tidur biasa aku tidak bisa tidur, mungkin sekarang aku akan ketiduran di meja makan sampai pagi nanti seseorang yang bangun pertama untuk sarapan akan membangunkanku.

Semuanya menjadi samar lalu seperti filmstrip yang digunting, aku perlahan memejamkan mata dan menikmati gelap.. lalu terlelap.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur di meja makan, mungkin cukup lama sampai tehku mendingin. Tiba-tiba dengan kesadaranku yang tipis, aku merasa mendengar suara langkah kaki, lalu suara kursi ditarik, disambung tarikan napas tepat di sebelahku. Semuanya seperti sebuah ritme yang perlahan membangunkanku.

Bagaikan filmstrip yang kembali tersambung dan kembali berputar, aku membuka mataku, sinar temaram lampu dapur terpantul pada sepasang mata seseorang di hadapanku. Matanya mengerjap.

Rasyid Ananta entah sejak kapan duduk di kursi di sebelahku, ikut membiarkan kepalanya terkulai di atas meja dengan posisi menyamping menghadapku, sehingga yang pertama kulihat adalah matanya.

Begitu cepat dari saat aku tertidur sampai aku diserang gugup begitu menyadari jarak kami yang dekat, tapi aku tidak refleks terbangun sekalipun Rasyid masih menatapku dalam-dalam.

"Kok bobo di sini, Ca?" Tanyanya pelan sementara aku semakin gugup melihat gerakan bibirnya.

Aku sudah pernah menatap Rasyid dari jarak yang lebih dekat dari ini, waktu di mobil sepulang dari Seaworld, waktu festival kembang api, tapi degup jantungku kunjung belum bisa beradaptasi dengan tatapan lembutnya yang seperti ini, dengan suaranya yang mirip bisikan.

Aku harus memastikan ini bukan mimpi dan yang ada di sampingku sekarang bukan hantu yang menyerupai Rasyid, jadi aku bergerak bangun.

Tepat saat itu tangan Rasyid menahan bahuku pelan. Masih dengan sorot matanya yang tenang dan lembut ia mengisyaratkan agar aku tidak ke mana-mana, agar aku mendengarkannya dulu.

"Ca," Panggil Rasyid lagi, tangannya masih belum bergerak dari bahuku. "Aku minta maaf ya?"

Aku menggigit bibir.

"Maaf banget udah ninggalin kamu, udah bikin kamu benci sama aku, udah bikin kamu ngerasa dimainin."

Aku menahan napas selama beberapa detik, terlalu gugup untuk bisa merespons.

"Sumpah, aku juga bingung waktu itu. Aku gak mau kehilangan kamu tapi aku juga gak punya pilihan," Rasyid mengambil napas, "bener kata kamu, aku harusnya bisa bilang dan jelasin pas kamu pulang dari Jepang. Aku terlalu naif karena nyangka aku bisa sama kamu lagi dengan mulai semuanya dari awal tanpa jelasin.

"Sekarang kamu udah tau-walaupun dari orang lain-aku minta maaf. Aku juga ngerti kamu butuh waktu setelah tau semuanya. Maafin aku. Kamu boleh pukul aku gak apa-apa, tapi jangan kenceng-kenceng ya?"

Rasyid sempat-sempatnya menyelipkan senyuman, membuatku ingin memukulnya betulan. Tapi tidak kencang-kencang, tentu saja.

Sejenak hening lagi, sebelum Rasyid memindahkan tangannya ke pipiku, ia menghalau pelan helaian-helaian rambutku dengan jemarinya lalu dengan halus mengusap pipiku. Hangat tangannya meyakinkanku kalau ini bukan mimpi dan yang duduk di sampingku bukan hantu.

"Ca, kamu masih sayang aku gak?" Rasyid akhirnya meluncurkan pertanyaan itu. "Kalo aku masih sayang kamu gak apa-apa kan?"

*

Dua hari setelah aku pulang dari Puncak untuk outing kantor, aku masih terbayang adegan mirip manga Ao Haru Ride yang pernah sangat kugandrungi tapi tidak pernah kusangka akan kualami. Waktu Futaba dan Kou di meja makan, meski bedanya, aku dan Rasyid bersebelahan sementara Futaba dan Kou berhadapan.

Sebuah pesan yang masuk ke hpku dua hari kemudian mengembalikanku kembali ke realita setelah sebelumnya isi pikiranku penuh dengan percakapanku dengan Rasyid malam itu.

Pesan dari Irham yang membuatku terkesiap, ia meminta bertemu kalau aku mau. Ini adalah pesan pertama yang dia kirimkan setelah beberapa waktu lamanya aku dan dia tidak lagi saling berkomunikasi.

Setelah terdiam beberapa detik tanpa mengetik apa-apa, akhirnya aku membalas dan berkata bahwa aku mau bertemu dengannya.

Irham menemuiku di tempat yang kutentukan, sebuah kafe tidak jauh dari kantorku. Aku tertegun saat ia menghampiriku. Irham terlihat lain... rambutnya ia biarkan panjang, sedikit ikal dan sepertinya sengaja tidak ia rapikan. Air mukanya kembali seperti Irham yang dulu sebelum kuliah di Jepang, yang selalu bersikap dingin apapun kondisinya.

Ia memaksakan diri tersenyum menatapku meski yang terbentuk pada akhirnya adalah senyum kaku. Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara, aku sibuk menyusun kata-kata dalam benakku.

"Apa kabar, Am?" Tanyaku memulai.

Irham tidak menjawab, ia mengaduk es kopinya tanpa minat lalu menarik napas dalam-dalam.

"Dis, gue belom sempet minta maaf. Gue juga gak tau gue bakal dimaafin apa nggak. Tapi... gue bener-bener minta maaf."

Aku terpaku, perih yang selama beberapa waktu terakhir berusaha kukubur kini mencuat kembali.

"Waktu awal kenal lo, gue terlalu bodoh buat tau apa yang harus gue lakukan. Gue kebiasa sendiri seumur hidup gue jadi gue gak tau." Irham menunduk. "Waktu gue sadar, gue terlambat, lo udah sama orang lain.

"Pas gue tau gue bakal kuliah di Jepang bareng lo, gue seneng banget, gue gak bisa nyegah diri gue mikir gue bakal bisa jadi lebih deket sama lo. Terus... ternyata ada kasus itu."

Aku menghela napas, ini mungkin bagian terburuknya.

"Dis. Kalo lo mau tau, gue gak sepenuhnya melakukan ini karena lo. Waktu itu juga gue udah muak sama kediktatoran bokap gue, jadi gue-" Irham kelihatan susah payah melanjutkan.

"Bisa dibilang gue melakukannya buat melampiaskan semua yang gue rasakan. Dendam gue ke bokap, terus kekesalan gue karena gue terlambat deket sama lo. Gue pura-pura gak denger semua yang abang gue bilang kalo gue salah, gue mikir kalo gue juga berhak bahagia, jadi gue gak peduli."

Irham menekan-nekan tangannya yang terkepal di atas meja sementara aku masih mendengarkannya. "Kenyataannya, gue malah nyakitin orang yang gue sayang, gue sayang sama lo dengan cara yang salah. Lagi-lagi gue terlambat sadar. Maaf, Dis."

Irham kini memandangku lurus-lurus.

"Terlepas dari itu semua, makasih Dis udah ngasih gue kesempatan. Makasih udah sempet bikin gue ngerasain bahagia yang nyata selain yang ada di gambar."

Tenggorokanku tercekat melihat Irham begitu terpukul. Aku jadi kembali teringat kata-katanya waktu itu,

'Kalo gue gak pake cara gini, gue bakalan cuma mimpi bisa lo kasih kesempatan kan? Mana pernah lo bener-bener liat gue selama lo masih sama dia?'

Aku mengulurkan tangan untuk menepuk punggung tangan Irham, pelan dan berkali-kali untuk menenangkannya.

"Makasih juga, Am, udah mau jujur."

Aku sengaja mengatakannya karena mungkin orang-orang lain termasuk dia sendiri terus menerus menyalahkan dirinya. Belum ada yang benar-benar menghargai kejujurannya dalam mengakui kalau ia salah. Irham juga sama terlukanya.

"Gue harap lo bisa bahagia dengan banyak alasan yang lain." Bisikku, menahan air mata yang sudah siap terbit di ujung mataku.

Irham tiba-tiba menahan tanganku, menggenggamnya selama beberapa detik seraya menatapku kemudian melepasnya lagi.

"Dis," katanya berat, "Kalo lo belum bisa maafin gue, sampe di rumah nanti, lo buka sketsa-sketsa stasiun yang gue selipin di buku sketsa yang pernah gue kasih ke lo ya."

Bayangan buku sketsa bersampul hitam bertuliskan 'Her' muncul di benakku.

"Ada apa?"

"Liat di sketsa stasiun Shinjuku."

Aku mengerutkan kening teringat project gambar stasiun yang kubuat bersama Irham untuk tugas akhir.

"Lo liat lagi baik-baik. Ok?"

*

Kubuka lembaran sketsa Stasiun Shinjuku setelah stasiun-stasiun lain yang digambar Irham. Project ini pernah menyita banyak waktu kami dulu, Irham yang menggambar dan aku yang menulis. Tapi aku tidak menyadari apa yang disembunyikan Irham dalam gambarnya.

Begitu menemukan sketsa yang dimaksud, aku merentangkannya, menatap sketsa itu baik-baik. Sekilas gambar itu terlihat seperti gambar keramaian stasiun biasa, sampai mataku berhenti di satu titik.

Irham ternyata menggambarku, sesosok kecil di antara kepadatan manusia, aku tahu itu aku karena gambar t-shirt aksara kanji yang sering kukenakan, dan ikat rambut hitam yang melingkar di lengan. Tapi dalam gambar itu aku tidak sendirian, aku sedang berpegangan tangan dengan seorang laki-laki yang ia gambar di sebelahku.

Irham tidak menggambar dirinya sendiri, Irham menggambar Rasyid. Rasyid-lah yang berjalan di sisiku dan menggenggam tanganku, tersenyum dengan senyuman khasnya yang bersudut persegi. Tangan satunya membawa kantong belanjaan mengingatkanku pada waktu aku mengantarnya belanja oleh-oleh.

Aku menelusuri goresan pensil Irham sampai sudut kertas, mencoba mencari apakah dia juga menggambar dirinya tapi nihil. Sebaliknya, aku menangkap keterangan tanggal waktu ia menggambar sketsa ini, tertulis kecil di sudut kertas.

Menandakan bahwa sudah sejak lama sebenarnya ia menyadari kalau ia tidak pernah bisa benar-benar memisahkan aku dan Rasyid, bahkan dalam gambarnya.

*

-
Moony mencakar pelan telapak tangan Irham yang sengaja ia julurkan untuk dicakar. Sudut bibir Irham terangkat sedikit-hanya sedikit-melihat Moony yang tidak serius mencakarnya kini beralih menggigiti jemarinya, mengajaknya bermain.

Moony bagaikan satu-satunya objek yang 'hidup' di kamar Irham yang sengaja ia biarkan gelap. Gorden yang tidak ia sibak entah sudah berapa lama, dan penerangan yang hanya bersumber dari lampu tidur kecil menambah kemuraman ruangan itu. Termasuk Irham sendiri yang duduk di lantai, bersandar ke tempat tidur seraya memeluk tubuhnya. Wajahnya ia tenggelamkan di antara lutut, membiarkan hanya sepasang mata terluka yang terlihat di antara rambut bagian depannya yang seperti tirai.

Samar-samar ingatan membawanya kembali pada satu malam di kedai sate ayam, di depan restoran seafood. Saat pertama kalinya ia bisa tertawa di depan seorang perempuan, saat ia bicara banyak hal dengan Adisa.

Irham masih mengingat dengan jelas isi percakapan mereka, kebiasaan Adisa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, senyumannya yang malu-malu namun manis sampai Irham merasa ia tidak butuh asupan glukosa apapun lagi dalam jangka waktu lama.

Dan kata-katanya waktu itu.... ketika mereka membicarakan gambar, tulisan, dan mimpi.

"Gambar lo bagus kok, gue termasuk pembaca setia komik-komik lo di mading atau event lain. Temen-temen banyak yang kaget pas tau kalo yang gambar cowok.... soalnya gambar lo soft banget terus nulisnya tentang cinta."

"Lo bukan orang pertama yang ngomong gitu. Kadang itu juga alasan gue gak suka nyantumin nama gue, orang pasti kaget kalo tau yang bikin cowok."

Tapi Irham tidak bilang alasan ia lebih suka menulis komik tentang cinta karena ia ingin tahu bagaimana rasanya mencintai dan balas dicintai, meski hanya lewat gambar.

"Tapi sekarang menurut gue itu gak masalah. Emang kenapa kalo cowok bisa gambar sehalus gambar lo? Yang bikin shoujo manga kan gak mesti selalu cewek."

"Ya... gitu deh. Udah stereotip kan."

"Iya sih udah stereotip. Tapi ya itu gak penting sih karena menurut gue yang penting adalah karya itu... mau gambar ataupun tulisan, bisa dibilang berhasil kalo bikin orang lain ngerasain sesuatu."

"Ngerasain sesuatu?"

"Iya, kayak kata-kata art supposed to make you feel something. Totally agree with that. Entah itu ngerasa seneng, sedih, hangat, sepi. Gambar atau tulisan bisa punya kemampuan memeluk manusia dengan cara yang gak bisa dijelasin secara rasional."

"Hmm..."

"Gambar lo punya kemampuan itu. Bikin orang senyum, bikin orang ikut sedih kayak tokohnya, bikin orang geregetan, ngerasain macem-macem. Itu pasti karena lo juga melibatkan perasaan lo sendiri pas bikinnya."

Adisa terdiam sebentar, merasa sedikit ganjil karena sebelumnya ia jarang berbicara panjang lebar seperti ini.

"Kalo datengnya dari hati, sampenya juga ke hati." Adisa mengulas senyuman, "Tetep terusin gambar ya."

Irham menarik tangannya dari Moony, kembali memeluk dirinya sendiri dan memejamkan mata, sementara kata-kata Adisa bergaung secara berulang-ulang, menambahkan kegetirannya.

"Kalo datengnya dari hati, sampenya juga ke hati."

"Tetep terusin gambar ya."

Terdengar suara pintu dibuka dan sesosok Ian melangkah masuk dengan hati-hati. Ia menghela napas prihatin menatap adiknya.

"Am," panggil Ian seraya duduk di sebelah Irham. Sunyi selama beberapa saat.

"Mau peluk gak?"

Irham mendelik, "Apa sih Yan. Stop."

Tapi Ian tetap merangkul adiknya, meski tidak jadi memeluk. Ia menepuk-nepuk bahu Irham, menguatkan.

*

-

Tangan Shilla menggulirkan kursor, membaca sekali lagi artikel mingguannya di website foodiest yang baru naik hari ini. Artikel yang sengaja ditulis untuk mengisi rubrik baru bertajuk 'Stories Behind Food'.

'Cerita di Balik Blackforest Pertama Gue'

'Sebenernya udah sekitar dua bulan lalu gue bikin blackforest ini, tapi gue masih inget cerita di balik alasan kenapa gue bikin kue yang kalo diterjemahin adalah Hutan Hitam ini. Wow, so dark, deketan gak ya sama Hutan Terlarangnya Harry Potter?

Ok, jadi sebenernya gue bikin blackforest ini dalam rangka ulang tahun seseorang. Cowok, sebut saja Herjunot Ali *Mbak Tatjana Saphira, pinjem dulu yah, Mbak, nama sesebabangnya*.

Hubungan gue sama si Herjunot ini... gimana ya, bingung juga gue jelasinnya.

Gue pertama ketemu sama dia di suatu tempat dan kondisi yang gak banget deh pokoknya, suasananya gak enak, genting, gak memungkinkan buat jatuh cinta deh pokoknya. Kedua kalinya gue ketemu sama dia di kampus, ternyata dia temennya junior gue, kita dikenalin di kantin. Wow, kayak alur teenlit ya? Cie ohok-ohok. Saat itu gue langsung mengenali dia.

Ketiga kalinya, gue ketemu sama dia pas dia lagi jatoh. Bukan jatoh secara harfiah ya, jangan ngebayangin Herjunot nyusruk gitu, jangan. Maksudnya jatoh tuh... dia lagi terpuruk. Saat itu gue makin simpati sama dia, dan gitulah pemirsa, selanjutnya bisa ditebak. Kalo kata sebuah pantun: Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati, kalo gue, dari mana datangnya cinta? Dari simpati dan empati.

Nggak sih boong, faktor karena dia gantengnya juga gede.

Singkat cerita, gue nyari tau tentang si Junot, ya namanya juga suka kan.

Terus gue menemukan cara buat bantuin dia. Selain deket sama dia, gue juga mendekatkan diri sama keluarganya. Gue sering masak bareng nyokapnya, sering ngasih dia hasil masakan gue dengan dalih kelinci percobaan resep.

Tapi setelah deket sama dia, gue jadi tau kalo ternyata si Junot ini udah punya pacar.

Tunggu, jangan salahin gue dulu. Gue mulai deketin dia waktu itu karena pure mau bantuin dia, gue gak ngarep apa-apa.

Ternyata gak berapa lama kemudian dia putus sama ceweknya itu untuk alasan yang gue juga gak tau. *sekarang udah tau*

Nah, kalo dia udah putus berarti sah-sah aja dong gue deketin si Junot?

Berlandaskan hal itu, gue selow aja mengakrabkan diri sama si Junot, sering bawain dia bekel makan siang. Kurang sweet apa coba gue?

Kalo lo semua liat si Junot nih ya, lo pasti bakal berpikiran hal yang sama kayak gue: 'Alah modelan cowok kayak dia sih cepet kali move onnya.'

Tapi gue salah besar sodara-sodara. Ha. Inilah akibatnya kalau takabur.

Pas dia ulang tahun kemaren itu, gue bikinin blackforest ini, lengkap pake cherry. Tapi tau gak apa yang terjadi?

Mantannya juga bikinin dia kue dan dia semringah banget (katanya sih, gue juga gak liat langsung, ini kata informan) padahal kue dari mantannya gak pake cherry kayak kue gue, padahal... hiks.

Hal itu juga makin memastikan kalo dia masih sayang banget sama mantannya, dan mungkin langsung lari, gak pikir dua kali kalo mantannya ngajak balikan.

Yak, begitulah sedikit gambaran budak cinta ya.

Sumpah sebelumnya gue berpikir, dua orang putus terus masih saling sayang tuh bullshit banget. Kalo lo emang sesayang itu, harusnya lo gak putus sejak awal.

Gue juga sebelumnya gak percaya ada cowok yang bisa setia banget sama satu cewek, susah move on dll. Kayak... halah? Hilih? Huluh? Bukannya biasanya sebulan putus juga udah nyari yang baru ya? Gak sampe sebulan malah.

Tapi si Junot dan mantannya ini bener-bener bikin gue kayak ditampar tangan Hulk.

Ngeliat mereka, gue sadar kalo yang diomongin di lagu-lagu bucin itu gak sekadar omong kosong. Contoh, kata Arctic Monkeys di lagu Do I Wanna Know, 'Maybe I'm too busy being yours to fall for somebody new. ' (sengaja gue ambil referensi lagu ini karena si Junot fansnya Alex Turner) atau kata John Mayer, 'You're gonna live forever in me. I guarantee, it's your destiny.'

Emang bisa gitu guys. Gue udah liat contoh nyatanya. Dua orang mungkin bisa dipisahkan, tapi mereka bisa lho cuma menyayangi satu sama lain. Sesayang itu.

Atau mungkin, simply karena mereka jodoh aja.

Jadi... akhirnya gue memutuskan buat menyudahi usaha gue, gak bisa tuh kayak lagu Risalah Hatinya Dewa 19 yang AKU BISA MEMBUATMUUU JATUH CINTA KEPADAKU MESKI KAU TAK CINTAAA KEPADAKUUUUU. BERI SEDIKIT WAKTUUU AGAR CINTA DATANG KARENA TERBIASAA.

Gak ada.

Sorry pake karaoke dulu.

Gue bakal menyayangi diri gue sendiri dengan berhenti mengejar sesuatu yang jelas-jelas bukan buat gue.

Sekian pengalaman gue, bersama dengan cerita ini, gue sertakan resep blackforest yang gue bikin. Tips aja, kalo mau bikinin kue buat gebetan, mending tiramisu aja.

Gakdeng.

Pelajaran lain yang bisa gue ambil adalah... makanan selalu berkaitan dengan rasa. Kalo yang bikinin orang yang emang lo sayang, lo bakal selalu menemukan letak enaknya. Minimal bikin lo senyum karena orang yang lo sayang mengusahakan sesuatu buat lo.

Cheerio!

-SK (tanpa II)'

"Artikel baru lo tuh ya..." Tahu-tahu suara teman satu redaksi Shilla sudah ikut membaca artikel yang terpampang di layar komputer Shilla. "Bener-bener curhat."

"Kan emang konsepnya curhat? Gue bener dong?" Shila tertawa, sebetulnya temannya itu bukan bagian Foodiest karena satu kantor ini terdiri dari banyak pengurus rubrik dan majalah online.

"Itu beneran pengalaman nyata lo? Asli?"

"Iyalah." Sahut Shilla sambil lalu, ia melirik hpnya yang bergetar menandakan satu notifikasi baru. Dari Rara.

Shilla tersenyum sekilas membaca pesan Rara yang berbunyi: 'Makasih ya, Shill. Makasih banyak. Soon feel better!'

Teman Shilla tertawa, "Kocak, nyeritainnya kayak gak ada pedih-pedihnya gitu, Shill."

"Hehe."

"Lo beneran gak apa-apa?"

"Gak apa-apalah. Apaan sih." Shilla meletakkan kembali hpnya ke atas meja lalu tanpa sadar menggeser kursor ke tab lain yang sejak tadi sudah ia buka di sebelah artikelnya.

Halaman Linkedln Irham Prakasa.

Mata Shilla tertuju pada foto Irham di halaman itu, dalam hati ia membatin, 'He's probably as lonely as I am right now.'

*to be continued*


a/n:

HAI! Update lagi niiih ehehe.

Semoga gak bosen ya. AAAAA tinggal satu chapter lagi, maka ACDC akan sampai pada endingnya.

Mungkin akan kukasih bonus chapter juga nanti.

Aku perlu fokus dulu sama chapter terakhirnya bikoz TOO MUCH FEELS. Hiks.

Selamat menikmati ACDC sebelum masanya selesai ya.

Terima kasih vote dan commentnya.

loves,

rns


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top