another August (1)
Secara instingtif, Irham tahu ada seseorang di kamarnya karena pintunya yang biasanya tertutup rapat, kini terbuka sedikit. Seperti sudah ia perkirakan, Ian duduk berselonjor di lantai kamarnya, ibu jarinya bergulir di layar hp sementara matanya melirik Irham yang baru masuk.
"Dari mana, Am? Kok baru pulang?"
Irham memicing mendengar pertanyaan itu, "Biasanya lo gak pernah nanya gitu."
Ian menghela napas lalu menepuk ruang di sebelahnya, mengisyaratkan Irham supaya duduk. Tepat setelah Irham melepas ransel dan meletakkannya, Moony, kucing peliharaan mereka masuk ke kamar dan menghampiri Irham. Irham menyambutnya dengan sorot mata yang seketika melembut, tangannya mengelus bulu Moony pelan sebelum mendudukkannya di pangkuannya seperti bayi.
Mata Ian mengerjap, ia tahu adiknya suka kucing, tapi baru kali ini ia melihat ekspresi Irham yang begitu lunak.
"Am," Ian menarik napas, bagaimanapun ia harus membicarakan ini, setelah berbulan-bulan tidak pernah mengangkat topik ini kembali ke permukaan. "lo sekarang beneran sama Dica?"
Tangan Irham yang sedang mengelus-elus kucingnya terhenti sejenak, ia masih menunduk tanpa balas menatap Ian tapi atmosfer kamar itu terasa berubah. Irham tidak menjawab.
"Lo yakin soal Dica, Am? Maksud gue, emangnya Dica bener-bener udah gak mikirin mantannya lagi?" Ian bertanya sehati-hati mungkin.
Moony yang bergelung di pangkuan Irham bergerak samar seolah bertanya-tanya kenapa Irham berhenti mengelusnya.
"Kenapa lo tiba-tiba tanya ini?" Tanya Irham, masih tanpa mengangkat wajahnya. "Pacar lo abis bahas ini?"
"Maksud lo Rara? Dia gak tau soal masalah lo sama adeknya tapi cepet atau lambat dia bakal tau, Am. Menurut lo apa yang bakal dia lakukan setelah tau?"
Irham terdiam, bahkan masih diam saat Moony mengeong pelan karena diabaikan kakak beradik itu.
"Am, ini gue ngomong sebagai kakak lo, yang mikirin lo, bukan sebagai pacarnya Rara yang seorang kakaknya Rasyid. Sebelum semakin jauh dan nantinya bakal nyakitin banyak orang termasuk diri lo sendiri," Ian sengaja memberi penekanan pada kalimat yang terakhir, "mending lo stop, Am. Sebelum makin jauh dan lo gak lagi punya kendali apa-apa buat memperbaiki semuanya."
Ian mengembuskan napas keras karena adiknya masih bergeming, "Lo harus bisa ngelepas Dica, Am. Kalo lo gak bisa karena dia alasan lo bahagia sekarang, coba inget-inget, dulu sebelum lo suka sama dia, lo juga masih bisa bahagia kan? Jangan menggantungkan kebahagiaan ke orang lain selain diri sendiri, Am, nantinya lo bakal kecewa."
Bukannya menanggapi, Irham malah termangu, suatu momen menghampiri benaknya seperti ketukan di satu pintu yang langsung ia buka. Bayangan saat Dica menemuinya di taman fakultas mereka sewaktu mereka belum lulus.
Malam sebelumnya, Dica mengirimi pesan di chat berbunyi:
'Irham, besok ke kampus gak? Ada bimbingan atau apa gt?
Kalo iya, ketemu bentar bisa?'
Dica datang tepat waktu dan dari jauh, matanya sudah melebar melihat Irham sudah duduk di salah satu bangku, tidak jauh dari telepon umum yang sudah tidak berfungsi, di antara rindang pepohonan. Langit kelabu kala itu membuat sosok Irham terlihat makin melankolis.
"Udah dari tadi, Am? Kita kan janjiannya jam tiga?" Dica yang keheranan duduk di sebelah Irham.
"Iya, tadi bimbingannya cepet, jadi gue sekalian nunggu di sini aja, sambil liatin anak Sastra Indo latihan musikalisasi." Irham menunjuk sekilas sekumpulan mahasiswa yang duduk lesehan tidak jauh dari mereka, menyanyikan bait-bait puisi secara bersamaan dengan petikan gitar.
Dica sempat tertegun karena lagi-lagi Irham bicara sangat cepat dan panjang lebar karena gugup. Dica tidak tahu kalau dosen pembimbing Irham membatalkan jadwal bimbingan hari ini tapi lelaki itu tetap datang ke kampus dan sudah menunggu di sini sejak tiga puluh menit yang lalu. Things people do for love.
"Ada apa, Dis? Urusan penelitian di drawing school? Bukannya udah beres?" Lagi-lagi Irham bicara secepat laju kereta Jepang.
"Bukan, bukan mau ngomongin itu."
Irham menelan ludah, "Terus?"
Dica menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sebelum merogoh totebag di pangkuannya, mengambil sesuatu. Rasanya Irham sudah bisa menerka benda apa itu.
Bottle of questions.
Hadiah ulang tahun Irham untuk Dica yang ia berikan di Jepang, sekaligus saat ia mengungkapkan perasaannya. Irham semakin gelisah dalam duduknya, apakah itu berarti ia akan mendapatkan jawabannya sekarang?
"Ini... gue rasa sekarang udah waktu yang tepat buat ngembaliin ini ke lo."
"Kenapa dibalikin? Buat lo kok."
Dica tersenyum, "Iya, waktu itu lo titip pertanyaan kan? Sekarang udah ada jawabannya. Jadi gue kembaliin."
Irham merasakan tubuhnya kaku. Jawabannya. Jawaban yang ia tunggu. Lalu ia semakin sulit bergerak ketika Dica membalikkan tangannya dan menaruh stoples kecil bening berisi gulungan-gulungan kertas itu di telapak tangannya.
"Pertanyaan dan jawaban itu punya lo. Lo nanya lo boleh gak sayang sama gue. Jawabannya boleh, Am. Boleh kok."
Belum pernah Irham merasakan pacu jantungnya secepat itu, ia memberanikan diri menatap mata Dica dan ternyata itu malah mengakibatkan debar jantungnya semakin kencang apalagi saat segaris senyum terbentuk di bibir Dica.
"Gue juga bakal nyoba, tapi semoga lo ngerti kalo gak bisa secepet itu." Melihat sorot mata Irham, Dica buru-buru menambahkan. "selama itu, jalanin dulu aja, Am."
Irham berdeham, "Gue juga gak maksa, Dis. Senyamannya lo aja."
"So, we are good?"
Irham mengangguk samar, ia memutar-mutar stoples di tangannya karena salah tingkah.
"Makasih ya, Am."
Irham terpana mendengarnya.
"Makasih karena udah sayang sama gue dan memaklumi gue. Makasih karena lo gak keberatan nunggu."
Irham ingin menjawab bahwa tidak seharusnya Dica berterima kasih, bagaimanapun dia tidak pernah meminta Irham menyukainya dan seharusnya Dica juga tahu, tanpa Dica meminta, Irham akan menunggunya.
Perlahan hujan rintik-rintik jatuh di kepala mereka, membuat keduanya refleks menengadah.
"Udah gerimis, lo mau langsung pulang?" Dica menoleh pada Irham.
"Kayaknya gue mau neduh dulu di kantin," Irham berdeham, "lo kenapa gak neduh aja. Di kantin ada minuman anget."
Dica tertawa kecil mendengar gaya pengucapan Irham yang terdengar sangat formal seperti informasi yang disampaikan pembaca berita, "Itu ajakan?"
Irham membetulkan letak kacamatanya, "Iya."
"Ok kalo gitu. Lewat situ aja ya." Dica menuding ke arah jalan memutar seolah menghindari melewati suatu tempat namun Irham tidak curiga, atau lebih tepatnya menolak berpikir lebih jauh.
Saat mereka melewati sekumpulan mahasiswa yang terpaksa menggeser posisi latihan mereka, alunan musikalisasi sampai ke telinga mereka. Irham tidak begitu tahu puisi dan juga jarang membacanya, tapi lirik yang dinyanyikan saat itu terdengar indah di telinga Irham.
Sepertinya ia akan mengingat lirik itu selamanya, bukan hanya karena indah, tapi lirik itu juga yang menjadi latar suara saat Dica memberikannya jawaban, saat Dica berterima kasih padanya setelah sebelumnya tidak pernah ada yang benar-benar berterima kasih dan menghargai apa yang dia lakukan maupun dia rasakan.
Perlahan sebuah payung terkembang di atas kepala Irham, tangan seseorang yang dilingkari ikat rambut hitam memegangi gagang payung bermotif bintang itu. Irham hampir berhenti melangkah karenanya.
"Waktu itu lo juga mayungin gue, waktu hujan di Tokyo." Gumam Dica di sebelahnya, ia menatap hujan seraya tersenyum.
Irham menghela napas, Dica menambah lagi satu alasan kenapa Irham merasa sangat perlu mensyukuri hari ini. Tangannya perlahan mengambil alih payung itu dari Dica dan mereka melangkah berdua dalam hujan, menginjak jalanan yang basah, menghindari becekan, menuju kantin, untuk dua gelas minuman hangat dan beruap.
Irham tertarik kembali ke masa kini, ke kamarnya di mana Ian sedang duduk di sebelahnya.
"Lo salah, Yan." Gumamnya saat tangannya kembali mengelus Moony halus.
"Ha?" Ian mengerutkan kening.
"Lo bilang tadi, harusnya gue bisa ngelepas Dica tanpa takut gue kehilangan alasan bahagia, lo bilang sebelum kenal Dica gue bisa bahagia. Lo salah. Gue gak pernah sebahagia ini sebelumnya di hidup gue."
Irham akhirnya menatap kakaknya, sorot matanya aneh.
"She made me feel things." Katanya pelan tapi cukup untuk memukul mundur Ian. Membuat Ian menyadari bahwa Dica tidak hanya membuat Irham merasakan bahagia, Dica membuat Irham merasakan segalanya.
*
Hal pertama yang dilakukan Rara sesampainya di rumah sepulang dari McD adalah mencari Acid. Ia sempat mengernyit melihat Acid duduk bersantai di ruang TV masih dengan setelan kerjanya dan ribut memberikan instruksi pada seseorang di dapur.
"Inget woy! Potongan cabe rawitnya jangan gede-gede!" Katanya sok bossy, matanya melirik Rara sekilas saat menggigit keripik dalam stoples yang ia peluk. "Eeee Nyi Blorong udah pulang. Dari mana lo?"
Rara menyempatkan diri melempar bantal sofa ke wajah Acid sebelum mengempaskan tubuhnya ke sebelah adiknya.
"Siapa yang lagi lo suruh bikin indomie?" Todongnya langsung.
"Shilla."
Rara membelalak, "Ada dia?"
"Ada. Emang napa?"
"Kenapa???"
"Kok kaget sih lo? Bukannya dia emang sering ke sini?"
"Maksud gue, dia ngapain? Gak mungkin kan dateng ke rumah cuma mau masakin lo indomie?"
Acid tertawa melihat ekspresi Rara, "Napa sih? Lo abis liat setan ya di jalan? Kok jadi kayak orang bingung gini."
"Nggak."
"Atau jangan-jangan abis ngaca?? Kan lo mirip setan juga, Ra."
"EH KALO GUE SETAN, LO ADEKNYA SETAN." Rara menoyor Acid lagi memakai bantal kursi.
"Gak usah pake kekerasan bisa gak woy?" Acid berkata setengah tergelak, "Si Shilla tadi janjian sama ibu, katanya mau eksperimen masak bareng."
"Terus??? Yang dimaksud eksperimen tuh indomie?"
"Bukaaan, ibu belom balik, jadi Shilla disuruh nunggu. Terus laper, terus gak ada apa-apa, ya udah Shilla inisiatif masak indomie, gue minta bikinin deh."
Rara tertegun.
"Lo sih lagian," Gerutu Acid,
"Kok gue??"
"Sebagai kakak yang baik dan bersahaja tuh cek line dong Mbak, cek line! Gue nitip beliin makanan sama lo! Ah, gimane sih." Acid berdecak, "Lo abis nonton kan sama Ian? Mana buah tangannya??? Gak gue restuin nih si Ian."
Sejurus kemudian, Acid menggoyang-goyangkan remote televisi di depan wajah Rara, "Heh? Nyi Blorong kesambet?"
"Cid." Akhirnya Rara bersuara.
Acid dengan cuek mengunyah keripik. "Hm?"
"Gue gak pernah nanya ini sebelumnya tapi coba lo jawab jujur sama gue, kenapa lo putus sama Dica?"
Seperti perkiraan Rara, Acid sukses tersedak mendengar pertanyaan to the point itu. Setelah susah payah menelan keripik di tenggorokannya, ia menatap Rara dengan tatapan ganjil.
"Apa sih pertanyaan lo?"
"Gak usah belaga budeg." Sikut Rara sampai Acid mengaduh.
"Lo aneh banget dah, Ra. Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"
Rara menghela napas, "Gue ngerasa aneh aja, dan baru sadar sekarang kalo putusnya lo sama Dica itu deket banget sama pembebasan ayah."
Televisi di depan mereka masih menghasilkan suara, tapi terdengar kosong. Acid tidak lagi tersedak, tapi jelas air mukanya berubah. Rara berkata lagi, kali ini memelankan volumenya karena khawatir Shilla di dapur ikut mendengar.
"Jangan bilang lo diblackmail Irham?"
"Dari mana lo—" Acid menganga.
"Bener berarti." Rara menghela napas berat, ia mengambil alih stoples keripik di pelukan Acid lalu meraup dan menjejalkan keripik ke mulutnya. Rara selalu begitu, ia penganut paham 'Berpikir akan lebih lancar kalau sambil makan'. Tapi sepertinya kali ini bukan hanya karena ia harus berpikir keras, Rara juga terlihat stress.
"Cid, lo tuh bisa cerita sama gue." Ada sedikit kesedihan dalam suaranya.
"Bentar, bentar, lo bisa sampe ke kesimpulan ini tuh gimana sih?"
Rara menatap Acid, gadis itu masih terlihat stress seolah dia bisa menjambak-jambak rambutnya sendiri kapan saja, "Gue udah ngerasa janggal pas Irham sukarela ngasih bukti-bukti yang bisa jeblosin ayahnya sendiri ke penjara. Terus..." Bayangan Irham dan Dica di McD berkelebat di benaknya, tapi Rara menggigit bibir, enggan menceritakan bagian itu pada Acid.
"Terus?" Acid mengangkat alis.
"Ya udah gitu aja! Tau-tau kayak ada lampu nyala di kepala gue."
Acid mengerutkan keningnya tidak percaya.
"Cid, gue yang turun langsung selama penyelidikan ayah, gue tau persis gimana Irham ngasih bukti-bukti itu, gue juga nanya langsung sama dia, apa dia yakin? Gue udah ngerasa sebenernya dia punya alasan lain."
Giliran Acid yang menghela napas, lukanya seperti dibuka kembali, bahkan sebelum sembuh.
"Sebenernya gue masih gak ngerti kenapa lo bisa sampe menganalisis gitu."
"Gue pinter, Cid." Sahut Rara asal.
"Kalo lo pinter seharusnya lo udah peka dari lama sih."
Rara memutar bola matanya, "Okay, okay, I'm sorry. Mana gue tau lo ngalamin kejadian kayak di film gini kalo lo-nya juga gak pernah ngomong?" Ia lalu menatap Acid simpati. "Jadi? Gimana sekarang?"
"Gimana apanya???"
"Lo beneran diblackmail?"
"Bukan diblackmail sih lebih tepatnya." Mata Acid terlihat muram. "Secara gak langsung, Irham ngasih syarat.... syaratnya itu... Dica."
"Dikira Dica barang apa???" Rara menukas berang sampai Acid harus mencubitnya.
"Udahlah, Ra."
"Gak bisa udahlah udahlah dong?"
"Terus gue harus gimana?" Sorot muram Acid berubah frustrasi.
"Emang apa risikonya kalo lo balikan lagi sama Dica? Secara hukum, Irham gak bakal bisa narik bukti-bukti yang udah dia kasih kok. Lo gak usah takut kali?"
"Gue juga udah mikir gitu."
"Terus??" Rara kelihatan lebih berapi-api.
"Dica, Ra." Ujar Acid sedih, "Gimana caranya bikin dia percaya lagi sama gue setelah gue mutusin dia gitu aja?"
Rara didorong keinginan yang sangat kuat untuk menepuk puncak kepala adiknya yang murung itu, tapi dia menelan bulat-bulat keinginan itu karena gengsi. Tapi nadanya melembut.
"Kalo gitu jelasin sama dia semuanya."
"Itu bisa bikin Dica benci sama Irham."
Perkataan Acid dengan segera membuat Rara melotot, "Lo masih mikirin Irham gimana setelah apa yang dia lakuin?"
Acid tersenyum miring, "Justru karena gue gak mau kayak Irham, Ra. Gue gak mau ngancurin kebahagiaan orang."
"Jadi lo relain Dica buat dia?"
"Sssst, tenang dulu napa lo," Acid diam-diam geli melihat kakaknya begitu berapi-api. "Gue bakal balikin kepercayaan Dica buat gue tapi dengan cara yang gak bakal ngancurin Irham."
"Gimana caranya?"
"Dengan cara yang jujur dooong?" Cengiran Acid kembali ke wajahnya, "tanpa jimat, tanpa contekan, tanpa bantuan orang dalem."
"Lo bisa serius bentar gak sih?" Rara mengambil ancang-ancang melempar stoples ke muka Acid.
"Serius," Acid terkekeh, dan sesuatu dalam matanya membuat Rara tahu kalau adiknya memang serius, "gue bakal usaha tapi pake cara gue sendiri, yang gak perlu ngancem orang, gak perlu merugikan orang. Istilahnya kayak mulai dari 0 waktu pertama kali gue deketin Dica."
Rara terdiam memandang adiknya selama beberapa detik. "Lo segitunya ya mikirin orang lain, padahal orang lain udah nyakitin lo."
"Mungkin sebenernya Irham gak brengsek, Ra." Acid berkata setengah melamun, ia mengunyah keripiknya lambat-lambat. "Mungkin keadaan yang bikin dia kayak gitu. Gak peduli sebenci-bencinya gue sama dia atau seberapa sering gue manggil dia dickhead, gue masih nyoba buat liat dari perspektif dia juga. Dia pasti punya alasan."
"Dan alasannya menurut lo adalah...?"
"Dia sayang sama Dica, sama kayak gue. Sayangnya dia pake cara kotor. Nah, gue gak mau kayak gitu." Acid menyunggingkan senyuman.
Rara kembali terdiam, meski adiknya sudah koplak sejak kecil mengingat banyak episode seperti menelan gundu, diculik ondel-ondel sampai kelepasan menyanyikan lirik tidak senonoh di depan gurunya, Rara tahu kalau Acid sebenarnya punya hati yang begitu rapuh, dan dalam kerapuhannya, ia masih selalu memikirkan orang lain.
Jangan baik-baik napa lo. Orang baik rentan kecewa. Batin Rara, masih sambil memandangi Acid.
Suara langkah dari dapur membuyarkan lamunan Rara, Shilla dengan dua mangkuk di atas baki yang dibawanya menghampiri meja. "Eeeeh, ada Kak Raraaaa. Abis kencan ya???" Sapanya cerah.
"Panasss! Panas!!" Katanya sambil meletakkan baki itu di atas meja, ia menyenggol kaki Acid seraya menggerutu, "Tuh udah sesuai pesenan lo. Sialan banget gue di sini dijadiin mbak-mbak warkop."
Acid tertawa, sekilas ia melirik Rara yang juga dibalas dengan lirikan.
Apakah sebenarnya Shilla diam-diam mendengarkan percakapan mereka dari dapur? Seharusnya masak indomie tidak memakan waktu selama itu.
Saat Acid mulai mengaduk mienya dan menyadari kalau mie itu lembek, ia bertukar pandang lagi dengan Rara.
*
Acid
Spot di kantor yang paling gak direkomendasiin buat ngelamun adalah pantry. Kenapa? Karena orang bolak-balik buka pintu, nyeduh kopi, nyeduh teh, nyeduh susu, manasin makanan, atau naro minuman di kulkas, otomatis ketentraman melamun akan terganggu. Nomor satu paling recommended tentu saja toilet, sembari ritual. Terus yang kedua adalah rooftop, sembari nyebat.
Tapi pagi ini gue gak sempet ke toilet maupun ke rooftop. Jadi gue ngelamun di kursi pantry, bahkan sebelum sempet nyeduh kopi. Gue ngelamunin obrolan gue sama Rara kemaren. Sampe sekarang gue masih amaze sama kemampuan hipotesisnya Rara—gue udah nyaranin dia daftar ke BIN—tapi gue ngerasa Rara tau sesuatu yang gue gak tau, yang bikin dia bisa sampe ke kesimpulan itu dengan tempo singkat. Kalo ngikutin logika Rara, seharusnya dia udah sadar dari lama, jadi pasti ada sesuatu yang bikin dia bisa mikir sejauh itu dan bisa menebak tepat apa yang sebenernya terjadi.
Duh, gue emang sering ngebatin dalam hati kapan hidup gue seseru film yang gue tonton, tapi gak jadi deh, kalo jadinya malah kompleks banget gini. Tapi sebenernya kalo mau dibikin simple, sama kayak yang gue bilang ke Rara kemaren, gue sebenernya udah gak terlalu khawatir Irham bakal macem-macem, cuma gue lagi mau usaha dulu. Usaha murni dari awal buat sama-sama Dica lagi. Mungkin gue bakal dicap tolol sama orang-orang karena sebenernya yang perlu gue lakukan cuma jelasin yang sebenernya sama Dica. Tapi gue gak bisa.
Kalo gue melakukan itu gue ngerasa gue sama aja kayak Irham. Lagian kata pangeran keraton, true love has a habit of coming back, jadi harusnya gue gak terlalu khawatir. Atau kalo kata-kata di artikel yang gue baca, 90% hal yang lo cemaskan tuh out of your control. 10%-nya lagi baru bisa diubah. Jadi ngapain cemas?
Jodoh termasuk ke dalam 90% itu, udah diatur, udah ada jalannya sendiri, tinggal kitanya yang usaha nyari tu jalan. Nah, itu yang lagi gue lakukan sekarang. Kalopun misalnya, pait-paitnya, gue gak jodoh sama Dica dan bernasib sama kayak pasangan-pasangan gak jadi di film-film ber-ending twist dan angst, ya udah berarti udah jalannya gitu? (Ngomong sih gampang ya. Ini gue ngomongnya sambil langsung komat-kamit doa kok)
Satu hal lagi, kalo ternyata Irham udah Dica pilih duluan, gue mungkin bakal mundur. Gue menganggap itu cara Tuhan ngasih tau gue kalo usaha gue udah cukup.
"Pagi-pagi udah nongkrong di pantry aje, Cid."
Sial, ada si Adul. Ganggu kegiatan ngelamun pagi gue aja.
Fadhil yang masih berjaket dan wangi parfumnya masih nyengat tanda dia baru banget dateng itu langsung nyeduh kopi sambil siul-siul.
"Berisik banget ni kang kue putu." Gerutu gue denger siulan Fadhil yang emang mirip suara gerobak putu.
"Wadu, udah mau abis nih aernya. Mas Didit mane, Mas Didit." Fadhil menepuk-nepuk galon di dispenser yang emang udah abis, kayaknya aer buat kopi dia tuh penghabisan.
"Tuh ada stoknya atu. Angkat sendiri dong, Dul. Manja banget." Ledek gue.
"Lo ajalah. Kok belom nyeduh apa-apa lo?" Fadhil duduk di depan gue sambil mencari-cari gelas kopi yang emang gak ada, orang gue belom bikin.
"Ntar, belom mood."
"Terus ngapain lo di pantry?"
"Merenung." Jawab gue jujur.
Fadhil menggeleng-geleng sambil ngaduk kopinya, "Sejak ada mantan lo di kantor, lo jadi sering merenung ya selain tebar pesona."
Nih ya, kalo gue lagi minum kopi, pasti langsung kena sembur tuh si Fadhil bangsat.
"Kok lo tau aja sih, monyet?"
Fadhil ngakak ngeliat muka gue, "Kan waktu kapan hari di pantry itu juga gue udah ngeh lo berdua saling kenal, ya sebenernya mantanannya sih gue nebak doang, tapi kayaknya bener ya?"
"Tai. Kok lo jadi gosip gitu sih, Dul? Engineer gak ngegosip!" Cetus gue, padahal ngasal tapi biarin ah, gue kesel.
"Jadi bener kan mantanan? Asik, kapan dong mantanan berubah jadi mantenan?"
PENGEN GUE AMININ DAH RASANYA.
"Kemaren-kemaren pas lo anterin dia pulang, gak ada hawa-hawa balikan gitu, Cid?"
Si Fadhil ini emang kampret, mana mukanya ngece banget lagi. Harusnya ni orang gue kenalin ke Wawan, kayaknya cocok.
"Udah lama, Nyet?"
"Apanya udah lama?" Tanya gue sewot, padahal masih pagi tapi gue udah gerah aja gara-gara si Fadhil.
"Udah lama putusnya?"
Bangsaaaat.
"Tau ah, Dul. Gue gak kenal sama lo."
"Lah itu manggil gue."
"Nama lo kan Fadhil bukan Adul!"
"Nah! Itu tau nama gue!" Fadhil ngakak puas banget.
"Tai. Bodo amat."
"Bener ya, bodo amaaaat? Jadi kalo gue pepet gak apa-apa kan?"
Mata gue langsung ngelempar tatapan tajem setajem-tajemnya, "Jangan berani-berani."
"Kenapa? Kan udah putus? Terus katanya bodo amat?" Fadhil ketawa lagi. "Ciiid, Ciiid. Baru kali ini gue ketemu bucin totalitas kayak lo. Sama mantan aja bucin gitu. Masih inget tuh gue kemaren lo lepas jaket buat dia di tempat karaoke. HAHAHAHAHA."
"Dul, bacot. Gue panggilin nih Mas Didit biar lo divacuum aja."
"Jadi, udah lama putusnyaaa?"
"Udah mau setaun." Sahut gue enggan. Kenapa sih dari kemaren orang-orang buka luka lama gue kayak gini.
"Wow, udah lama juga." Fadhil manggut-manggut. "Tapi sampe sekarang lo masih bucin dan kayaknya masih usaha. Kenapa tuh?"
"Perlu gue jawab ya?"
"Nggak sih, udah jelas jawabannya." Fadhil nyengir. "Tapi gue masih bingung aja. Kenapa gak nyoba sama yang lain, Cid? Kenapa lo stuck di mantan gitu dah?"
Hah. Si Adul ini gak tau apa-apa. Gue mendengus.
"Kenapa gak bisa ke lain hati gitu, Cid?" Kali ini Fadhil ngangkat-ngangkat alisnya sambil nanya. Menggelikan sekali kawan sejawatku ini.
"Susah, Nyet. Udah mentok di dia."
Tatapan Fadhil berubah serius, "Bisa gitu ya?"
"Bisalah anjeng." Apalagi kalo ceritanya sebenernya belom selesai.
Haha. Itu tadi tambahan dalam hati aja.
Seolah tau kalo lagi diomongin, Dica tiba-tiba ngedorong pintu pantry, bikin Fadhil langsung batuk heboh dan gue hampir ngejungkel. Kayaknya ngejungkel jadi reaksi tetap gue tiap Dica muncul tiba-tiba gitu. Reaksi selanjutnya adalah refleks benerin rambut.
Hari ini gue sengaja dateng ke kantor dengan mengekspos jidat, biar seger, jadi gue langsung sibuk nata rambut bagian depan gue yang naik kayak gelombang laut dan nyisain beberapa helai biar kayak campuran Alex Turner dan model salon cukur 80an.
"Eeeeh ada Dicaaa." Fadhil mulai gengges, "Gue boleh kan ikutan Acid manggil lo Dica?"
Dica yang kelihatan bingung sejenak langsung ngangguk salah tingkah, "Pagi Mas Fadhil," dia ngerling ke gue ragu-ragu, "pagi Rasyid."
Tuh. Kenapa sih. Semua cowok di kantor dia panggil 'Mas' kecuali gue! Gue kan pengen juga.
Pas Dica ngambil mug dia di rak, congor Fadhil kembali gatel.
"Dica, Dica, gue tau nama panjang lo!"
Sumpah ya, si Adul ini pengen gue tendang, balik sono lu ke acara Wara-wiri bareng Komeng!
"Apa?" Dica balik bertanya meski gue yakin banget itu demi sopan santun.
"Dica...riin Acid hehehehe."
Najis, Dul. Kapan musnah???
Dica langsung ngelirik ke gue, seolah gue bertanggung jawab atas kegenggesan sekaligus kejayusan Fadhil.
"Ya kan, Cid?" Fadhil nyengir ke gue.
Ya emang mata gue selalu nyariin dia tapi gak usah membeberkan kebucinan gue gitu dong? Tapi sebelum gue buka mulut, mata gue menangkap minuman yang diambil Dica. Ovaltine.
Ovaltine dong. Ovaltine yang sengaja gue minta banyakin stoknya ke Mas Didit buat dia, akhirnya diminum juga? Ehehehehehehehe. Gue jadi inget itu minuman favorit dia sama gue kalo hujan.
"Eh, airnya abis ya." Gumam Dica pas dia mau ngucurin air panas dari dispenser ke mugnya yang udah dia isi Ovaltine. Gumaman dia seketika membuat gue sadar.
Sebelum Fadhil sempet berkoar, gue langsung berdiri, "Sini, aku ganti galonnya."
"Cihuy." Fadhil mencicit.
Sementara Dica mengerjap, "Eh? Gak apa-apa, aku baru mau minta tolong Mas Didit."
Ngapain nyariin Mas Didit kalo di sini ada Mas Rasyid? Pengen ngomong gitu tapi ada si Adul rese.
"Aku juga bisa kok, ngangkat galon doang." Gue menggulung lengan kemeja—yang sebenernya gak perlu ya, gue tanpa sadar aja ngelakuinnya—sebelum buka tutup galon yang masih baru di lantai. Dalam sekejap, galon baru udah gue angkat ke dispenser. "Perlu aku cek juga gak air panasnya?" Tawar gue yang buru-buru dibalas Dica dengan gelengan.
"Gak apa-apa, biar aku aja."
Gue gak berani liat tampang Fadhil, sampe gue balik duduk ke kursi juga, gue pura-pura ngendus udara. Duh, wangi parfum gue sama Fadhil udah kalah sama wangi cologne bayinya Dica. Kangen banget gue wangi ini.
"Jadi gimana, Cid?" Fadhil bertanya seolah nerusin obrolan padahal gue gak inget tadi terakhir ngobrolin apa sama si brengsek ini. Kedengeran banget lagi nada ngeledeknya.
Semenit kemudian, kedengeran suara denting sendok beradu sama mug dan aroma ovaltine merebak. Sebelum keluar pantry sambil bawa mugnya yang masih panas, Dica menoleh ke arah gue sama Fadhil.
"Aku bikinin kamu sekalian ovaltinenya. Setengah air panas, setengah air dingin kayak biasa."
Gue bengong, Dica ngomong sama siapa?
"Makasih ya, ngg, Mas Rasyid."
Mampus gue.
Abis bilang gitu Dica langsung keluar dari pantry. Tepat begitu Fadhil yang sama bengongnya kayak gue bertepuk tangan. Gue sama dia sama-sama langsung noleh ke deket dispenser. Iya, Dica bikinin gue ovaltine, di mug gue. Dia taro di situ, ternyata tadi dia lama karena bikinin punya gue juga kayaknya sebagai ucapan makasih karena gue udah ngangkatin galon.
"Cid??" Fadhil ketawa ngakak ngeliat gue.
"Bentar, bentar." Gue ngangkat tangan. "Gue tewas dulu bentar."
"HAHAHAHA ANJING."
"Liat kan, Dul? Liat kan kenapa gue mentok?" Gue menghela napas sambil ngeliatin mug gue, "It's the little things that make you love someone big."
"I have no words, bro."
*
Suka ria itu ternyata gak bertahan lama karena malemnya pas gue balik, gue yang ke parkiran bareng Fadhil ngeliat sesuatu yang gak pengen gue liat.
Dica pulang bareng si Dickhead.
Jelas banget di depan kantor, padahal pengennya gue salah liat, Dica dijemput abang gojek gitu. Tapi nggak, itu emang Irham yang jemput dia, yang nyodorin helm ke Dica, mengisyaratkan ini bukan pertama kalinya Dica naik motor Irham.
"Wadaw." Cetus Fadhil pas mengikuti arah pandang gue, dia juga ikutan berhenti jalan.
Mereka gak liat gue dan sampe motor Irham jalan, gak keliatan lagi di depan gue, gue masih diem.
"Cid," Fadhil nyenggol bahu gue tapi gue gak bereaksi.
Gue keinget tekad gue. Kalo Dica udah milih Irham. Gue bakal nyerah.
*
Dica
Rasyid berubah.
Aku tidak tahu kenapa tapi sehari setelah aku membuatkannya ovaltine di pantry, sikap Rasyid seperti berubah dalam semalam.
Saat biasanya ia menyapa semua orang di kantor termasuk aku dengan riang, pagi ini dia hanya mengangguk singkat dengan wajah tanpa ekspresi. Rambutnya berantakan dan tidak biasanya dasinya tidak terpasang dengan benar di pagi hari.
Dia juga tidak menyetel lagu dari speakernya sambil bernyanyi yang biasanya mengundang protes dari Mbak Sandra ('Berisik, Ciiid!!! Kalo mau karaoke ntar aja!').
Ada sesuatu yang aneh dengannya dan entah kenapa aku merasa dia bersikap dingin terutama kepadaku.
Dugaanku terbukti saat makan siang. Siang itu dia tidak ikut Fadhil dan teman-temannya makan siang bersama, dia juga sepertinya tidak dikirimi bekal oleh Shilla seperti biasa. Aku yang menghabiskan bekalku dengan cepat di pantry, sengaja menghampirinya, bukan tanpa alasan, aku memang perlu membicarakan kontrak dengannya karena kali ini dia project leadernya.
Aku mengetuk-ngetuk kubikelnya dengan pulpenku sambil tersenyum. Rasyid yang tadinya terpaku ke layar komputer, mengangkat kepalanya, wajahnya tanpa senyum.
"Kamu ada waktu? Aku mau ngomongin kontrak yang ini."
Alis Rasyid menukik membuatnya terlihat galak, aku menelan ludah, bertanya-tanya kesalahan apa sebenarnya yang kulakukan.
"Ok." Hanya itu jawabannya. Rasanya baru kali ini aku melihatnya begitu, maksudku, ia pernah marah padaku sebelumnya, waktu aku memaksakan diri dalam kepanitiaan acara jurusanku padahal aku sedang sakit dan pulang kemalaman tapi kali ini berbeda. Kali ini kemarahannya dua kali lipat lebih dingin dan lebih diam.
"Kalo kamu sibuk gak apa-apa, nanti aja."
"Gak sibuk. Sekarang aja."
Tidak ada senyuman kotak, tidak ada candaan-candaan khas Rasyid, dia mendiskusikan kontrak itu denganku, membuatku setengah merasa aku sedang bicara dengan robot.
Sampai aku kembali ke mejaku, aku masih merasa ganjil. Ingin aku bertanya, kenapa dia seperti itu? Apa karena aku membuatkannya ovaltine? Tapi kenapa itu masalah?
Saat aku duduk kembali ke kursiku, aku menoleh sedikit, menatap Rasyid yang kembali menggerak-gerakkan mousenya sambil menatap kaku layar komputer.
Ini membuatku seperti terhisap ke dalam suatu déjà vu. Aku seperti mengulang suatu masa di mana aku merasakan perubahan drastis Rasyid, masa yang masih menyakitkan setiap kali kuingat.
Hari-hari penuh kehampaan dan ketidakjelasan sewaktu aku menunggu kabar darinya, yang berujung pada satu kalimat yang menghancurkanku yang disampaikan lewat line. Hanya satu kalimat.
Aku menghela napas, aku tidak suka harus merasakan hal seperti ini lagi, saat semua yang tadinya baik-baik saja seketika menjadi tidak baik-baik saja. Saat Rasyid seolah menciptakan jaraknya sendiri denganku, yang menyebabkan kami berdua semakin jauh.
Sosok Shilla yang beberapa waktu lalu mengulurkan tangannya padaku sambil memperkenalkan diri datang lagi ke pikiranku, semakin menegaskan jarak itu. Mungkin memang sejak awal aku dan Rasyid tidak pernah mengikis jarak, kami sebenarnya berjalan semakin jauh. Fakta bahwa kami kini sekantor pun sebenarnya tidak berarti apa-apa. Jarak antara aku dan dia masih berlapis-lapis. Jarak itu terlihat hari ini.
Sayangnya, saat aku ingin buru-buru pulang, atasan mewajibkan semuanya lembur malam itu demi proyek yang deadlinenya lebih cepat dari proyek yang dipimpin Rasyid.
Pastilah lelah, terhimpit di antara dua proyek sekaligus, terlihat dari gelas kopi ketiga Rasyid di mejanya. Atau mungkin itu penyebab sikap dinginnya? Karena tumpukan pekerjaan?
Aku menggeleng-geleng, aku harusnya memikirkan pekerjaanku sendiri ketimbang diam-diam memperhatikannya seperti ini.
Sekitar jam sembilan malam, suasana kantor masih sesekali chaos, semuanya sibuk, termasuk aku. Irham berkali-kali mengirimiku pesan di chat, bertanya jam berapa aku pulang, padahal aku sudah meyakinkannya kalau aku bisa pulang naik taksi nanti.
HPku bergetar lagi, chat dari Irham lagi. Alih-alih membuka dan menjawabnya, aku malah diam-diam menoleh lagi, menatap kubikel Rasyid dari tempatku.
Dia tertidur.
Rasyid tertidur di kursinya, sambil melipat tangan dan kepalanya bersandar sepenuhnya di jaket yang ia jadikan bantal, dengan rambut kusut, dasi yang sudah longgar, lengan kemeja yang digulung dan... mulutnya terbuka sedikit.
Tanpa sadar aku tersenyum kecil melihatnya. Dia selalu begitu kalau tertidur, mengingatkanku pada satu momen waktu itu.....
"Cieeee diliatin terus tuh."
Aku tersentak dan sedetik kemudian aku langsung berhadapan dengan cengiran jahil Fadhil. Dia menyandarkan tubuhnya ke kubikelku sambil tetap cengar-cengir.
Setengah berharap wajahku tidak langsung memerah karena kepergok sedang memperhatikan Rasyid, aku kembali menatap komputer sambil berdeham.
"Lucu ya, Ca, tidurnya si Acid?"
Aku langsung tergeragap. "Hah? Apa? Nggak."
"Katanya sih ya, kalo ngeliat orang tidurnya mangap terus gemes sendiri, itu udah masuk level bucin."
"Gak gemes sendiri kok." Kilahku.
"Terus gemes berdua? Berdua gue? Nggak tuh, gue gak gemes liat si kunyuk tidur. Gue sih liatnya dia kayak teler biasa. Beda emang kalo udah cintaaa."
Aku rasanya ingin lantai kantor ini menelanku hidup-hidup.
"Mas Fadhil mau apa? Mau dokumen apa?" Tanyaku berusaha tenang.
Fadhil tergelak, "Nggak kok, gue gak mau minta apa-apa. Mau nanya aja."
"Nanya apa?"
"Mau nitip makan apa? Lo belom makan kan? Biar lembur tetep harus makan, Ca."
"Mas Fadhil mau jalan keluar beli makan? Kirain mau gofood."
"Keluar aja sekalian gerak biar gak pegel duduk mulu. Nih abis ini juga gue bangunin si Acid, keluarnya bareng dia."
"Oh..."
"Gak apa-apa kan Acidnya gue bangunin?" Fadhil mengangkat-angkat alisnya membuatku ingin menutup muka saja rasanya. Melihatku memilih tidak menjawab, cengiran Fadhil malah makin lebar.
"Mas Fadhil sama yang lain mau beli apa-apa? Samain aja."
"Hmm, nasi goreng sih kayaknya. Lo mau nasi goreng?"
"Boleh," aku mengangguk, "jangan pedes ya."
"Oke siaaap. Bayarnya ntar aja, Ca." Fadhil mengacungkan jempol, masih dengan muka jahilnya ia lalu melenggang sambil menggumam, "Bangunin dulu Acidnya yaaa, gue culik dulu keluar."
Dalam hati aku menjawab, iya bangunin aja, dia juga kan belum makan. Tapi aku tidak berani menoleh lagi.
Tahu-tahu Fadhil berbalik, seperti teringat pada sesuatu, "Eh iya, kemaren siapa tuh Ca? Yang jemput lo? Jadi itu saingannya Acid?"
Saat itulah aku merasa tahu penyebab Rasyid bersikap dingin seharian ini.
*
Sekembalinya Rasyid dan Fadhil, Fadhil mengumumkan kalau semua titipan ia taruh di pantry.
"Terserah dah tuh mau dimakannya di meja masing-masing atau di meeting room, terseraah." Kata Fadhil sambil siap-siap menyantap nasi goreng di mejanya. Dari sudut mataku, aku melihat Rasyid berjalan menuju toilet, wajahnya masih terlihat mengantuk.
Sebelum Rasyid kembali dari toilet, aku sengaja menuju pantry untuk buru-buru mengambil nasi gorengku dan memakannya sendiri di kubikel. Ternyata di pantry ada Kinar yang sedang mengambil makanan juga.
Aku baru menyentuh plastik hitam berisi banyak bungkus nasi goreng saat Kinar menyodorkan bungkusan yang diikat karet hijau. "Ini punya lo, Dis."
Keningku berkerut, "Kok bisa tau, Nar? Kan gak ada namanya."
Kinar tertawa mendengar pertanyaanku, "Tadi gue dikasih tau Fadhil, katanya punya Adisa yang karetnya ijo, yang gak terlalu pedes sama gak pake ati."
Aku terdiam, tahu kalau itu pasti bukan murni ucapan Fadhil, siapa lagi di kantor ini yang tahu aku tidak suka ati ampela?
"Makan di sini aja, Dis, bareng gue." Ajak Kinar, tidak menyadari aku yang sempat kaku.
"Hah? Gak di dalem aja?"
"Di sini aja? Biar gampang ngambil minumnya." Kata Kinar sambil mengambilkanku piring dan sendok. "Bentar, gue ngambil hand sanitizer dulu."
Sebelum aku sempat bicara, Kinar sudah melesat meninggalkan pantry. Meninggalkanku sendiri.
Aku baru duduk beberapa detik menghadapi sepiring nasi goreng yang masih panas itu dan pintu pantry membuka lagi. Bukan Kinar yang masuk melainkan orang yang ada di pikiranku. Rasyid dengan wajah yang masih sedikit basah setelah mencuci muka.
Matanya sempat melebar melihatku duduk sendirian, dengan segera aku menunduk, menyendok nasi goreng di hadapanku tanpa menyuapnya.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Rasyid mengambil nasi gorengnya sendiri dan membukanya kertas pembungkusnya begitu saja di meja, tanpa piring, ia hanya mengambil sendok dari rak. Lalu ia duduk tepat di depanku.
Aku melirik piring Kinar di sebelahku, kenapa Kinar tidak balik-balik? Ke mana dia? Membiarkanku terjebak berdua dengan Rasyid dalam suasana aneh ini.
Hening kembali mengakar di dalam ruangan, mengingatkanku pada pertemuan di perpustakaan, waktu itu juga sama, aku dan dia hanya dipisahkan satu meja, waktu seakan melambat, dan di antara kami berdua seketika lupa caranya bicara.
Nasi goreng di hadapan kami berdua hanya tersentuh ujung sendok, begitu juga nasi gorengku yang tanpa ati. Rasyid memahamiku seperti waktu ia menawariku ovaltine, mengetahui selera tehku, memberikan jaketnya di tempat karaoke, dan banyak ingatan serta pemahaman lainnya.
Mungkin sebenarnya selama ini, yang merupakan seorang pengarsip bukan hanya aku.
"Rasyid," Ujarku setelah aku mulai merasa kehampaan ini tidak punya penyangga lagi.
Rasyid tidak menjawab tapi ia menatapku.
"Kenapa kamu kayak gini?" Tanyaku pelan, merujuk pada sikapnya seharian dan kemungkinan penyebabnya yaitu Irham.
Rasyid masih menatapku, tatapannya sulit dijelaskan.
"Kamu yang minta putus, Rasyid." Ujarku akhirnya menumpahkan apa yang selama ini aku pendam. Kalimat itu membuat Rasyid terlihat menggenggam sendoknya kuat-kuat. Ternyata kalimat itu tidak hanya membuka lukaku sendiri.
Aku menghela napas, "Kamu yang minta putus dan sampe sekarang juga kamu gak pernah jelasin ke aku apa alasannya. Jadi kenapa kamu marah kalo aku sama orang lain?"
Dan kamu juga sama orang lain. Aku teringat Shilla dan bekalnya.
Rasyid terlihat memejamkan matanya selama beberapa saat, mungkin tidak menyangka aku akan mengutarakannya. Sepertinya mataku juga menunjukkan kalau aku menunggu penjelasannya saat itu juga.
Bukannya menjawabku, dia menggumam sedih sambil menatap nasi gorengnya, "Aku kangen nasi goreng kita yang biasa, Ca."
*to be continued.*
a/n: hai, maaf ya slow banget updatenya hehe. masih pada nungguin acidica gak sih? ehehehe.
makasih ya kalo masih nunggu, makasih buat vote dan commentnya.
Oh ya chapter ini gak pake foto tapi semoga kebayang alis nukik nan galaknya Rasyid. (aku sih males bayanginnya hih, tapi semoga kebayang ma kalian)
rencananya aku mau menyelesaikan cerita ini sebelum tahun berganti. bisa tidak yaaa.
terima kasih sekali lagi!
loves,
-rns
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top