XIV. Serangan Balik

"Dengarkan aku!" Nasr membalas sama kesalnya. Ia menunjuk pada belasan senjata yang tergeletak di bawah kaki. "Kau pikir aku juga mau membangkitkan dia? Tapi bagaimana lagi kita bisa menembus gunung sementara fisik kami terbatas?"

Sam dan Cathy tertegun. Sang gadis menyahut dengan gemetaran. "Jadi kau sengaja ...."

"Tidak ada waktu untuk berdebat." Andy menyela. Matanya memicing penuh kebencian kepada dua entitas yang saling berteriak dan melemparkan ledakan-ledakan energi di dalam ruangan. "Ambil senjata dan bidik padanya."

"Kau serius?" Sam melotot. Andy bahkan jarang berbicara padanya. Gadis itu memang pendiam, dan Sam nyaris tak tahu apa-apa tentangnya. Namun, kemantapan Andy saat membagikan senjata seolah memberi permen pada anak-anak membuatnya heran.

Nasr menyeringai. "Jangan ragukan dia, Sam," katanya, mengiringi Andy yang melangkah duluan menuju tepi lubang. Gadis itu sudah memasang kuda-kuda membidik ke arah Wahyu. "Andy yang paling berpengalaman dengan segala hal menyakitkan. Dia sudah biasa dengan ini."

"Dia ... apa?"

"Ini rahasia, tapi aku akan mengatakannya cuma padamu." Cathy mengedip. "Andy adalah penyintas perbudakan," lanjutnya sembari mengambil senjata dengan antusias. "Oh, aku sudah lama ingin menembak sialan itu."

Misaka menyusul Andy. Tidak diragukan lagi untuk pemuda sepertinya, apalagi jika ada harapan untuk Molly yang membela perdamaian. Saat ia ikutan membidik Wahyu, pada saat itulah Molly sadar dengan riuh bisik-bisik di lubang. Semula sang demigod hampir menyerang mereka pula, tetapi menyadari bahwa para manusia itu justru membidik Wahyu, Molly berpikir cepat.

Molly menyeringai. Oh, dasar manusia-manusia Veigrvollr terkutuk. Mereka belajar dengan sangat baik untuk beradaptasi dengan keburukan, bukankah begitu? Sehingga, ketika Molly sengaja melempar Wahyu kepada mereka dan serentetan peluru membombardirnya, jeritan pilu Wahyu yang Terumpan memenuhi ruangan.

Secepat usia kehidupan kedua Wahyu, secepat itu pula ia lenyap.

Suasana menghening. Napas tersengal saling menyahut, melingkupi ruang bersama aroma mesiu yang pekat memualkan. Cathy menurunkan senapan untuk mengawasi Molly. Sang demigod telah menambatkan pandangan pada mereka.

"Bukankah kalian pernah diasuh olehnya?" Molly menunjuk semua kecuali Misaka. "Apa yang membuat kalian berbalik badan?"

"Apa kau menguji kami?" Cathy berkilah.

Sam buru-buru menjawab, tak ingin Molly tersulut oleh ucapan Cathy yang menantang. "Dia yang menculik kami—Rizky—berbeda dengan dia yang baru saja kita serang. Rizky dan Wahyu memang satu fisik, tetapi mereka tak menyadari keberadaan satu sama lain."

"Kalian tak menyesal membunuhnya?"

Berpasang-pasang mata saling menuduh, walau tak ada kata terucap. Misaka menyaksikan keempat orang itu dengan tangan terlipat. Rumit. Namun, bukan itu fokusnya sekarang. Wahyu sudah mati untuk kedua kali. Itu berarti dia bisa dibangkitkan suatu waktu lagi. Semoga tak ada yang mempertimbangkannya.

Misaka mengerling pada Molly. Dahulu ia seorang gadis yang memikat hati, tetapi kini, Misaka tak tahu bagaimana cara memetakan perasaannya. Hampa? Mungkin.

Molly tahu Misaka memandangnya, meski tak repot-repot membalas. Ia menatap orang-orang bekas asuhan Rizky, terutama Sam dan Cathy. "Satu sisi dalam diriku yakin kalian sepantasnya dihukum atas kekejian ini, tapi kalau bukan karena kalian pula, aku takkan kembali sehat. Terima kasih."

Cathy menelan ludah. "Jangan hukum kami dengan kehancuran. Tidak dengan Rassenkreig kedua."

Molly mendengus. "Andai mereka"—ia menunjuk Nasr dan Andy—"membangkitkan Wahyu lagi untuk menyerangku, maka Rassenkreig sepantasnya dimulai lebih cepat. Tapi aku akan memikirkannya ulang. Dengan ingatanku yang sudah kembali, aku ingin memastikan sekali lagi situasi sekitar dunia."

Molly menambahkan dengan senyum. "Jika dunia pantas dicuci bersih, maka aku baru memulai Rassenkreig."

Para manusia membeliak. Sang demigod mengucapkannya semudah keinginan mengikir lumpur dari celana!

Ditulis oleh: andywylan 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top