I. Saksi Bisu Rassenkrieg

SEMUA orang, tidak dapat diidentifikasi apakah ia termasuk bagian ras yang mana, yang pasti mereka mengalami distorsi lini masa kehidupan. Pada distrik ini, tempat dimana ras manusia memilih untuk membatasi diri demi melindungi mortalitas mereka yang rapuh, kekacauan sudah seperti media penunjang kebutuhan pokok. 

Jejak-jejak cara ras manusia mengimbangi kekuatan ras lain menggunakan teknologi, malah berbalik membahayakan populasi mereka sendiri dengan sisa-sisa radioaktif. Di bawah kaki gunung inilah, seorang perempuan dengan pelindung diri, mentap kosong tiap titik yang menjadi perbatasan dengan tingkat radioaktivitas terparah. 

 "Hey! Jika ingin bunuh diri, lebih baik kau mati karena kecelakaan kerja! Kita kekurangan sumber daya manusia!" teriak seorang lelaki tak jauh dari perempuan itu, masih sama-sama menggunakan pelindung diri. 

 Perempuan itu menoleh ke arah suara, didapatinya lelaki dengan netra ungu dan rambut ungu kehitaman, bentukan wajahnya cukup dapat dikenali dengan bantuan sinar rembulan. Sejenak mereka berdua terdiam menunggu respons dari masing-masing lawannya. Hingga si lelaki jengkel dan mulai mendatanginya pada perbatasan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tekannya seraya menarik lengan kemeja perempuan itu, membawanya ke area yang lebih aman. 

 "Mencari trauma dan ketakutan." 

 "Apa maksudmu?" Lelaki itu melepas tarikannya saat dianggapnya perempuan itu mampu memposisikan langkahnya untuk berjalan beriringan. "Dimana rumahmu? Biar kuantar, kau tidak paham bahwa populasi manusia kini dalam ambang krisis." 

"Orang-orang bilang, beberapa tahun yang lalu terjadi perang Rassenkrieg. Perang yang menimbulkan trauma. Padahal aku ingat betul kalau kemarin sore, festival tahun baru dilaksanakan dengan meriah," ucap gadis itu tertegun memandangi kembali sekitarnya. "Aneh sekali jika melihat semuanya rusak dalam satu malam."

Lelaki itu menghentikan langkahnya, sungguh janggal jika ada seseorang yang melupakan perang dengan durasi cukup lama itu tanpa alasan. Menuturkan kecurigaannya, dipindainya visual perempuan itu dari atas hingga bawah. 

"Begitukah? Jujur saja, dengan jumlah ras manusia yang terbatas saat ini, aku baru pertama kali melihatmu. Walau begitu, rasanya tidak asing." Matanya tajam seakan sedang meyakinkan diri atas hipotesisnya. 

Ekspresi lelaki itu memicingkan tensi suasana yang meningkat, sayangnya, ketidakpekaan dari perempuan itu malah menjadi tisu yang menembus intimidasi dari lawan bicaranya. Perempuan itu bukan tidak takut. Ia tidak mengerti. 

"Soal perang ya? Perang yang terjadi dalam kurun waktu puluhan tahun? Padahal ras manusia sudah mendekati titik kemenangan," jelas lelaki itu, mimiknya tiba-tiba berubah menjadi tenang seketika. 

"Kalau saja tidak ada yang dengan curang memanipulasi keadaan. Mengubah dimensi ini menjadi fiksi dan merubah alur cerita, kemudian membalikkannya kembali. Sehingga tanpa sadar, ras manusia malah meledakkan nuklir pada daerahnya sendiri." Kembali lelaki itu mengintimidasi lawan bicaranya dengan ekspresinya. "Aneh sekali bukan? Meledakkan daerah sendiri? Sudah pasti dalangnya si penulis bodoh itu." 

Perempuan itu menatap dalam lelaki itu dengan serius. Mulutnya terbuka sedikit menganga, pupilnya berdilatasi, dan dalam diamnya menunjukkan pikiran yang berkecamuk. 

"Aku tidak mengerti apa maksudmu. Tolong jelaskan pelan-pelan," lirihnya masih dengan ekspresi bercampuk aduk. 

 Lelaki itu kini menghela napas dan memijit pelipisnya. "Sebelumnya, siapa namamu?" 

 "Molly. Kamu?"

Ditulis oleh: brokolimolly08 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top