Drive

[ Drive ]
.
.
.

"Kau masih memakai gaun itu?"

Chiyo mendongakkan kepala ketika mendengar suara bertanya di depannya. Gadis itu segera melayangkan tatapan tak suka ketika menyadari siapa si penanya.

"Semoga kau dilindas mobil, Tenshōin," Chiyo menyumpahi sang pemuda di depannya, bangkit berdiri dari kursi halte dan berjalan pergi. Namun, langkahnya terhenti akibat tangan yang mendadak digenggam.

"Maafkan aku," Eichi berkata, menatap punggung gadis itu tanpa melepaskan genggaman tangannya, "Kau benar, kita sudah melewati diskusi itu. Aku ... tersulut emosi. Maaf."

Sejenak, hening menyelimuti mereka. Keduanya tak bergerak, membiarkan diri tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Yah ... mungkin salah Chiyo juga yang bercanda begitu padahal memiliki kontrak dengan Eichi. Meski ucapan pemuda itu tak bisa dimaafkan, sang gadis juga tak bisa dibilang benar.

Pada akhirnya, Chiyo menghela napas, lalu membalikkan badan dan mendongak, menatap pemuda itu. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum berguman lirih, "... Aku juga minta maaf."

"Apa? Tidak---maksudku---" Eichi terbata-bata, tampak heran. Pemuda itu hendak mengelak, tetapi setelah dipikir ulang, nanti malah jadi debat kusir. Pada akhirnya, ia pura-pura berdeham pelan, lalu mengalihkan topik dengan bertanya, "Jadi, uh, kau mengunjungi adikmu?"

"Tidak, aku mau memeras sapi," Chiyo menyindir, memutar bola matanya malas, "Kau kira aku ke mana kalau tidak ada kegiatan klub?"

"Tidur atau mengganggu klub orang?"

"Touché."

"Kau bahkan tidak mengelak ...."

"Yah, kan ucapanmu tidak salah. Omong-omong, sampai kapan kau mau memegang tanganku? Kupanggil polisi, nih."

Mendengar itu, Eichi menurunkan pandangan, menyadari bahwa tangannya masih menggenggam tangan Chiyo. Perlahan, ia melepaskan genggamannya seolah tak rela, baru kemudian membalas, "Aku bisa menyuap polisinya."

"Dasar licik," desis Chiyo, memutar bola mata. Gadis itu kembali duduk pada bangku halte dan menyandarkan punggungnya, sebelum bertanya, "Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Tidak mungkin orang kaya sepertimu menunggu bus, kan?"

"Kalau diperbolehkan, aku ingin naik bus," Eichi menukas cepat, mendudukkan dirinya di sebelah sang gadis, "Sayangnya, aku akan dijemput mobil untuk pergi ke rumah sakit. Mau nebeng?"

"Aku tidak akan pernah menolak gratisan."

"Siapa bilang nebeng denganku itu gratis?"

"Tenshōin."

Eichi tertawa pelan, menoleh menatap gadis yang duduk di sebelahnya. Namun, mendadak ia terdiam.

Chiyo sungguhan cantik. Tentu saja, sang pemuda sudah tahu sejak lama, tetapi melihat dari dekat terasa berbeda. Kulit gadis itu putih susu dengan pipi merah ranum layaknya sepasang ceri, lengan dan kakinya kurus tetapi mulus tanpa cela, jemarinya lentik, wajahnya kecil dengan satu tahi lalat di bawah mata, rambutnya hitam pekat sebahu, berkilau di bawah sinar mentari, jelas dirawat dengan baik.

Eichi mendadak sadar diri bahwa ia baru saja menggenggam tangan gadis itu beberapa menit lalu. Sontak, ia membuang muka demi menyembunyikan semburat merah tipis di pipinya, berpura-pura mencari sosok mobil yang akan membawa mereka ke rumah sakit.

"Tenshōin? Sehat?" Chiyo bertanya iseng ketika menyadari semburat merah tipis pada telinga sang pemuda. Namun, meski bercanda, ia sebetulnya agak cemas juga.

"... Kepanasan," Eichi berkilah, tatapannya mulai panik menunggu mobil. Tidak, bukankah ia kepanasan sudah biasa? Demam sudah biasa? Astaga, dia tidak perlu panik. Tarik napas, jangan panik dan berbuat aneh!

"Oh," gumam Chiyo, perlahan bangkit dari duduknya, "Akan kubelikan air dingin, oke---"

"Tidak usah," Eichi menukas, memberanikan diri untuk menatap sang gadis. Pemuda itu menarik napas dalam, sebelum lanjut bicara, "... Mobilnya sudah dekat. Jangan pergi dan buat orang menunggu."

"Tapi, Tenshōin, wajahmu merah banget---"

"Aku baik-baik saja, sungguh. Di mobil pasti ada minuman," Eichi kembali menukas, menggelengkan kepala dan dengan cepat menggenggam tangan gadis itu sebelum pergi. Pemuda itu merasakan wajahnya semakin menghangat.

Anehnya, Chiyo terdiam. Hening kembali datang selama beberapa detik, sebelum gadis itu mengangguk dan kembali duduk.

Hingga mobil yang ditunggu datang, keduanya terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing tanpa teringat bahwa tangan mereka masih saling menggenggam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top