Bagian 9
"Udah siap?" Suara seorang pria mengagetkan Sasa yang tengah keluar dari kamarnya.
"Ck, mau apa?" Tak ada kata ramah dari Sasa jika sudah berhadapan dengan pria ini.
"Mau nganter kamu." Raksa yang sudah siap dengan setelan kaos lengan panjang serta celana jeans tersenyum pada Sasa. Ada yang berbeda dari pria itu, tampilan rambutnya terlihat rapi dengan gaya short neat.
"Aku pake motornya Rea. Jadi, kamu nggak perlu repot-repot nganter." Sasa menerobos tubuh Raksa yang menghalangi jalannya, kemudian berjalan cepat disertai gerutuan kecil di bibir merahnya.
Sebuah senyuman lagi-lagi tersungging di bibir raksa ketika melihat gadis yang sejak awal bertemu sudah menarik perhatiannya itu menggerutu selama berjalan ke arah parkiran.
Saat sampai di sebelah motor matic hitam milik Rea yang terparkir, Sasa menyematkan kunci terlebih dahulu, lalu menguncir rambutnya sebelum memakai helm. Belum dia naik, Raksa telah lebih dulu menguasai motor itu dengan duduk di belakang stang kemudi dan menyalakan mesin motor.
"Mau kamu apa sih sebenarnya? Bukannya kerja sendiri, malah ngrecokin orang pagi-pagi." Sasa memicing, berdiri dengan melipat kedua tangannya.
"Kan tadi udah bilang kalau mau anter. Lagian aku cuti, jadi bisa kemana aja tiga hari ini." Raksa mengendikkan bahunya.
"Enak ya bisa cuti kapan aja. Perasaan baru minggu kemarin cuti," Sasa menaikkan sebelah alisnya. Sebenarnya apa pekerjaan pria di depannya ini. Ah, apa urusannya.
"Ternyata kamu perhatian juga ya. Ayok berangkat, nanti telat." Raksa bersiap, namun beberapa saat kemudian sebuah tepukan -lebih tepatnya pukulan- mampir di pundaknya.
"Aduh! Sakit tau, Sa. Tangan kamu kecil, tapi pedes juga buat mukul." Raksa berjenggit kaget seraya mengusap-usap pundaknya.
"Turun!" Sasa melebarkan matanya yang bagi Raksa bukannya terlihat garang malah semakin menggemaskan.
"Loh, pagi-pagi kenapa ribut?" Bu Yuli yang baru pulang dari warung sayur menghampiri keduanya. Parkiran terletak tak jauh dari pagar utama rumah kosan itu membuat Bu Yuli dapat mendengar keributan yang terjadi antara Raksa dan Sasa.
"Ibu," Sasa berbalik setelah mendengar suara Bu Yuli, kemudian menggaruk tengkuknya canggung.
"Dya, kenapa ini Sasa enggak buruan dianter? Malah bengong di situ. Udah jam berapa ini?"
"Ini, Ma. Raksa nggak boleh nganter Sasa katanya." Raksa memasang wajah polosnya.
"Loh, emang Sasa udah tau jalan lainnya? Jalan Ambar depan kan ditutup, mesti muter kalo mau ke kantor. Makanya Mama nyuruh Dya buat anterin kamu." Bu Yuli menjelaskan.
"Dya, anterin Sasa buruan, malah bengong." Bu Yuli berlalu ke dalam rumah utama dengan menenteng tas belanjaan yang berisi sayur segar.
Tanpa kata dan bantahan, Sasa duduk di belakang Raksa. Ia masih pegawai baru, akan memalukan jika dirinya sampai terlambat datang ke kantor.
Benar saja, jalan utama yang biasanya ia lalui ditutup sementara, hingga Raksa harus mengantarnya dengan rute memutar yang jaraknya tempuhnya cukup lama. Hampir empat puluh lima menit karena di beberapa titik mereka sempat terjebak macet. Syukurlah akhirnya Sasa bisa tiba di kantor sepuluh menit sebelum jam kantornya dimulai.
"Nanti aku jemput," ucap Raksa ketika Sasa mengulurkan helm padanya.
"Aku naik ojek." Sasa berlalu begitu saja tanpa menunggu respon Raksa. Sementara Raksa masih bergeming di tempatnya hingga Sasa tak lagi terlihat.
"Ada apa sih sama hatiku ini," gumam Raksa seraya mengulum senyum ketika meraba perasaannya sendiri.
Tersadar suatu hal, Raksa melihat pada jam tangannya, kemudian bergegas ia pacu motornya menjauh dari area perkantoran itu. Ia harus pergi ke suatu tempat. Ada hal penting yang harus is selesaikan di sana.
¤¤¤
Di sebuah jalan pinggiran kota Jogja, Raksa menghentikan motornya di depan toko bunga. Ia ingin membeli sebuket bunga lily kesukaan seseorang. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, Raksa kembali melajukan motornya ke tempat dimana ia jadikan tujuan. Hingga sampai di sebuah tempat, Raksa segera memarkirkan motornya. Dia tersenyum hanya dengan memandang buket lily di tangannya, kemudian mengayunkan kakinya masuk untuk menemui seseorang. Seseorang yang sejak dulu ada di hati Raksa.
"Hai, gimana kabar kamu?" Raksa tersenyum lembut menatap lurus ke depan, berjongkok di samping gadisnya.
"Aku bawain bunga kesukaan kamu. Semoga kamu suka." Hening, tak ada jawaban apapun dari lawan bicaranya.
Hanya pandangan lurus ke depan, tanpa ada lagi keinginan Raksa membuka suara. Dengan begini saja dia sudah bahagia, bersama orang yang dulu pernah mengisi hatinya. Pemilik nama yang enam tahun lalu selalu bersamanya. Dulu, ya ... Ia akui jika tempat itu perlahan mulai tergeser dengan kehadiran Sasa.
"Maaf," Raksa bergumam meski kembali tak ada sahutan apapun untuknya.
"Aku jatuh cinta, suatu yang konyol mungkin, karena dia yang aku lihat waktu pertama kali aku buka mata saat itu. Dia bertolak belakang sama kamu. Tapi, aku lihat ada yang berbeda dengan dia. Aku merasa berengsek, Na. Ada kamu di hati aku, tapi bisa-bisanya aku suka sama dia." Raksa terkekeh pelan meski lagi-lagi yang ditemuinya hanya kesunyian.
"Boleh aku lanjutin perasaan ini, Na? Ah, aku sungguh seperti pria tak berperasaan sekarang. Tapi, rasa itu hadir sendiri begitu aja. Aku udah berusaha buat nolak perasaan itu, tapi semakin aku nolak, kenapa aku semakin ngrasa ada yang beda di sini, Na." Raksa nunjuk tepat di tengah dadanya.
"Kamu tau aku, Na. Aku tak akan sembarangan membuka hatiku. Hatiku udah menutup rapat setelah kejadian itu. Tapi kenapa hanya lihat dia aja, hati ini langsung berdebar. Persis seperti waktu dulu aku ketemu kamu. Semoga kamu nggak merasa tersisih, Na. Aku cinta kamu. Meski sekarang kamu nggak sama aku, tapi di sini kamu udah punya tempat tersendiri." Sebelah tangan Raksa kembali menyentuh dadanya, sedang sebelah lainnya mengusap lembut sebuah nama di depannya.
Hening, Raksa meresapi sepoi angin yang tiba-tiba berembus seakan meyakinkan Raksa jika semua akan baik-baik saja. Raksa hirup udara dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Rasa yang bercokol di hati untuk seseorang yang sangat berarti di hidupnya ini telah ia ungkapkan secara langsung. Setidaknya ada sedikit perasaan yang membuatnya gelisah terangkat. Raksa pandang lembut nama di depannya dengan kenangan yang sesekali berkelebat, jika saja waktu bisa di putar ulang, pasti akan ada pengandaian-pengandaian yang lain setelahnya.
Matahari yang semakin terik membuat Raksa tersadar jika ia harus kembali berpamitan dengan gadis pengisi hatinya. Mengusap sekali lagi untuk melepaskan beban di hatinya.
"Aku pulang ya, Na. Lain kali akan aku kenalkan dia sama kamu ke sini. Semoga kamu pun juga suka sama dia." Raksa berdiri, menatap lekat sebuah nama yang terbaring tenang di depannya "Riana Kusuma" kemudian beranjak menjauh tanpa lagi melihat ke belakang. Kini ada rasa untuk seseorang yang perlu ia perjuangkan.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top