Bagian 7
Semangat Sasa masih bertahan hingga seminggu ini, suasana kantor serta kesibukan yang mulai dia alami sejenak membuat rasa patah hatinya tersisih tanpa sadar.
Tring
Bunyi notifikasi pesan masuk mengalihkan sejenak perhatian Sasa dari layar komputernya. Melihat sekilas pada jam tangannya yang telah menunjukkan pukul sembilan malam, kemudian membuka chat masuk dari Rea.
From : Rea
Sa, jadi lembur?
Aku mendadak mesti ikut bos ke luar kota karena ada masalah di kantor cabang, tapi aku udah bilang Mas Dya buat jemput kamu. Jangan kemana-kemana sebelum dia datang.
Membaca pesan Rea membuat Sasa mengernyit, Raksa? Kapan pria itu sampai di kota ini lagi? Seminggu ini hidupnya mulai tenang karena tak bersinggungan dengan Raksa. Tapi sekarang, kenapa Rea malah meminta Raksa menjemputnya. Tak menunggu lama, Sasa membalas lesan Rea.
To : Rea
Yah, kok mendadak sih, Re?
Aku pulang sendiri aja. Pesan ojek online pasti masih banyak. Raksa nggak perlu jemput.
Pesan terkirim namun hanya centang dua berwarna biru tanpa balasan apapun lagi dari Rea. Baru beberapa saat, dering ponsel membuat Sasa bergegas menerima telepon tanpa melihat layar untuk tahu siapa peneleponnya.
"Halo?" Mendengar suara dari seberang membuat Sasa reflek menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa yang menelepon.
Sasa berdecak seiring menepuk pelan dahinya ketika yang dilihat malah nama Raksa yang terpampang jelas di sana.
"Halo," Sasa menjawab dengan setengah hati.
"Aku udah di bawah." Tanpa basa-basi Raksa memberitahunya.
"Pulang aja, aku belum selesai. Nanti biar aku pulang sendiri naik ojek online." Kilah Sasa. Ia sedang tidak ingin bertemu dengan Raksa, mengingat diakhir pertemuan mereka seminggu lalu tidak dalam keadaan baik-baik.
"Oke." Hanya itu jawaban singkat dari Raksa kemudian memutus sambungan telepon tanpa menunggu respon Sasa.
Sasa hanya melihat layar ponsel yang semula terang perlahan menggelap, mengendikkan bahu acuh kemudian kembali menyelesaikan pekerjaannya memgingat besok adalah akhir pekan dan dia tidak ingin waktu liburnya terganggu karena pekerjaan.
¤¤¤
Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, akhirnya pekerjaannya selesai. Sasa merenggangkan otot-ototnya yang kaku karena terlalu lama duduk menatap layar komputer di depannya, kemudian mengambil ponsel untuk memesan ojek online sembari membereskan meja kerjanya. Tak selang berapa lama, seorang driver memberi tahu jika sedang dalam perjalanan menuju kantor Sasa. Sasa mengemasi barangnya dan memastikan tak ada apapun yang tertinggal, setelah itu melangkah ringan menuju lift untuk turun ke lobi menunggu ojek pesanannya tiba.
Ting
Lift yang membawanya tiba dilantai bawah terbuka, Sasa melangkah keluar dengan langkah ringan. Namun baru beberapa langkah, matanya menangkap siluet seseorang yang akhir-akhir ini cukup familiar. Menyadari siapa pemilik siluet itu, Sasa mempercepat langkahnya dan berpura-pura tak melihat pria yang kini tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
"Sa!" tanpa Sasa duga, pria itu ternyata menyadari kehadiran dirinya.
Langkah Sasa terhenti, mengembuskan napas kemudian dengan enggan ia berbalik menghadap Raksa yang terlihat berjalan ke arahnya.
"Hai, Udah selesai? Ayok!" Raksa tersenyum pada Sasa kemudian menarik lembut tangan gadis itu.
"Kamu duluan aja. Aku udah pesan ojek online, bentar lagi sampai." Sasa perlahan melepaskan tangannya dari Raksa.
"Owh, Oke." Alih-alih pergi, Raksa malah mendudukkan dirinya kembali pada kursi yang lebih dekat dengannya.
Sasa melihat heran pada Raksa, namun ia tak peduli apa yang pria itu lakukan. Ia hanya perlu menunggu driver datang dan ia akan terbebas dari Raksa.
"Mbak Tavisha?" Seorang pria muda berjaket hijau menghampiri tempat dimana Sasa berdiri.
"Iya, Mas. Mas Purnomo?" Sasa memastikan jika ojek online yang datang sesuai pesanan dan ia tidak salah orang.
"Iya, Mbak. Ke Catur tunggal ya?"
"Iya, Mas," Jawab Sasa sambil memasukkan ponselnya dalam saku untuk menerima helm yang diberikan padanya.
Namun saat ia hendak menerima uluran helm yang diberikan sang driver, suara Raksa menginterupsi mereka.
"Mas, Maaf. Di cancel saja, Mbak Sasa ikut pulang sama saya. Ini buat Mas." Raksa mengulurkan sejumlah uang untuk menganti kerugian waktu si driver untuk menjemput Sasa.
"Loh?" Driver bernama Purnomo nampak bingung dwngan perkataan Raksa.
"Dia calon istri saya, Mas. Tadi ngira saya nggak jadi jemput," imbuh Raksa meyakinkan sebelum Sasa menyanggah ucapannya.
"Oh, baik Mas. Tapi bisa tolong cancel dari ponsel Mbak Sasa saja? Nanti saya terkena pinalti kalo cancel pesanan. Terima kasih ya Mbak, Mas." Driver itu pamit setelah Sasa dengan berat hati menekan tombol cancel di ponselnya atas desakan Raksa.
"Ayo!" Tanpa aba-aba Raksa menggandeng tangan Sasa menuju mobilnya yang terparkir rapi di pelataran gedung.
Sasa pasrah mengikuti langkah Raksa, tak ada lagi bantahan yang keluar dari bibirnya, tubuhnya sudah lelah tak ingin tersulut emosi jika harus ditambah berdebat dengan Raksa. Tujuannya sekarang hanyalah ingin segera merebahkan diri melepas segala penat setelah lembur hari ini. Tak ada yang bersuara selama perjalanan pulang, entah apa yang berada dipikiran mereka masih-masing.
***
"Hati-hati, Mas." Kiara memapah Tara masuk ke rumah.
Hari ini Tara sudah diperbolehkan pulang. Luka dikepalanya tidak seserius yang dibayangkan, karena saat kejadian terlindung karena air bag yang berfungsi. Namun terlihat beberapa luka karena terkena pecahan kaca serta lebam karena sempat mengalami benturan. Tara juga mengalami cedera di kaki yang membuatnya sedikit pincang ketika berjalan hingga harus dibantu menggunakan kruk agar bisa mempertahankan keseimbangan.
"Terima kasih." Hanya itu yang Tara ucapkan pada Kiara yang hampir seminggu ini telah membantu merawatnya.
Sejak kejadian naas yang ia alami hingga sekarang, Tara tak banyak mengeluarkan suara. Entah apa yang pria itu pikirkan selama ini. Sikap Tara sebenarnya sedikit mengusik perasaan Kiara, namun Kiara berusaha menebalkan hati untuk menghadapi Tara yang sedikit bicara. Ia kira, mungkin Tara maaih trauma akan kecelakaan yang minggu lalu pria itu alami.
"Aku bantuin Mama siapin makan siang dulu. Kamu istirahat aja, Mas." Kiara beranjak hendak keluar dari kamar Tara. Namun belum sempat kakinya melangkah, cekalan Tara menghentikannya.
"Kenapa kamu masih bersikap baik atas semua yang udah aku lakukan?" Tara tak mampu lagi menahan rasa penasaran sekaligus rasa bersalahnya.
"Karena cinta itu nggak perlu ada alasan." Lirih jawaban Kiara membuat Tara perlahan merenggangkan cekalannya.
"Kamu pasti punya alasan tersendiri, dan aku bisa memaklumi itu." Kiara tersenyum lembut pada Tara meski hatinya merasakan sakit ketika mengingat kemungkinan yang akan terjadi setelah ini.
Melihat Tara yang bergeming, membuat Kiara melanjutkan ucapannya, "Aku akan menunggu."
Kiara berlalu meninggalkan Tara yang kini mematung dengan tatapan kosong setelah mendengar ucapan gadis yang hampir menjadi istrinya itu.
Bisakah aku membalas perasaannya, jika hatiku saja bukan miliknya? Batin Tara.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top