Bagian 6

Adakah yang masih baca?
Mau kasih info, untuk versi lengkap ada di KBMapp atau Dream ya. Kalo ada yang masih mau peluk bukunya, bisa via DM.  Terima kasih untuk kalian yang sudah mampir baca. 😊😊😊
.
.
.

Hangat sinar matahari mengawali pagi Sasa yang kini terlihat sedikit lebih bersemangat. Hari pertamanya bekerja, harapannya hanya agar dia bisa melakukan pekerjaannya dengan baik.

"Sa, berangkat?" Kepala Rea menyembul dari balik pintu.

"Iya. Tunggu sebentar."

Niatnya kemarin untuk pindah tempat kos harus sirna saat ia bertemu dengan Bu Yuli untuk berpamitan di rumah utama.

"Sasa?" Bu Yuli yang awalnya ingin keluar rumah, heran ketika melihat Sasa sudah ada di depan rumah dengan membawa ransel serta kopernya.

"Iya, Bu. Bisa kita bicara sebentar?" Sasa yang semula berhadapan dengan Raksa di depan pintu, kini mengalihkan fokusnya pada wanita baya di sampingnya.

"Masuk, Sa. Kok bawa tas segala?" Bu Yuli menggeser badannya ke kiri agar Sasa masuk dalam rumah serta memberi kode dengan mata agar Raksa juga mengikuti mereka.

"Jadi ... Kenapa Sa?" kebiasaan Bu Yuli yang tak pernah basa-basi membuat Sasa sedikit gugup.

"Sasa mau ... Pamit, Bu." Sasa menggenggam erat tali tasnya untuk mengusir gugup.

"Kamu enggak betah?" Bu Yuli mencoba menebak.

"Eh, bu ... bukan Bu. Kamarnya nyaman, tapi ...," Sasa melirik ke arah Raksa yang sedari tadi tak bersuara sedikitpun.

Raksa yang sadar jika dirinya tengah dilirik oleh Sasa, dengan santainya menyandarkan punggung kokoh miliknya pada sandaran sofa. Ia biarkan Sasa yang terlihat gugup mengatakan kebenaran hubungan mereka.

"Kalau nyaman, kenapa pamitan? Atau jangan-jangan kamu berantem sama Dya?" Bu Yuli yang semula menyelisik wajah Sasa seketika beralih pada Raksa dengan mata melotot.

"Sasa ... Sasa bukan pacarnya Raksa, Bu." Sasa mengatakannya dengan cepat.

"Apa?" Bu Yuli mencoba memahami situasi.

"Sasa minta putus, Ma." Raksa menyela ketika Sasa terlihat hendak kembali membuka suara.

"Putus?" Bu Yuli mengerutkan dahinya. Tadi pagi semua masih baik-baik saja, jangan-jangan?

"Maafin Dya ya, Sa. Kalau Dya terlalu cepet lamar kamu. Kalau kamu keberatan, bisa diundur kok biar kalian bisa lebih kenal lagi. Tapi Mama nggak setuju kalau karena ini terus kamu jadi pindah. Mama udah terlanjur cocok sama kamu,"  imbuh Bu Yuli yang seenaknya mengambil kesimpulan sendiri.

"Tapi Bu,"

"Dya, Bawa tas sama koper Sasa balik ke kamarnya. Dan kamu juga jangan ganggu Sasa," sela Bu Yuli pada Raksa.

Raksa tanpa mengatakan apapun beranjak menghampiri letak dimana koper Sasa berada dan tanpa permisi mengambil tas yang berada dipangkuan Sasa kemudian berlalu keluar rumah utama menuju kamar Sasa berada.

"Bu," Sasa memelas. Ia tak ingin lagi terjebak dalam situasi ini.

"Udah, kamu tenang aja. Kalau Dya gangguin kamu, bilang sama Mama. Pokoknya selama kamu di Jogja, di sini rumah kamu." Bu Yuli beranjak menepuk pelan pundak Sasa sebelum berlalu keluar untuk arisan.

***

"Lama banget." Rea menggerutu saat Sasa muncul dari balik pintu kamar.

"Maklum, hari pertama jadi grogi. " Sasa menunjukkan cengirannya.

"Kantor cabang nggak banyak yang single. Jangan cantik-cantik," tutur Rea yang langsung dihadiahi Sasa pukulan pelan di pundak.

"Sembarangan kalau ngomong. Penampilan kan perlu juga, biar nyaman sama meyakinkan kalau kita niat kerja." Sasa mengunci pintu kamarnya.

"Ayok, hari pertama telat tuh nggak lucu." Sasa menggandeng tangan Rea menuju tempat parkir para anak kos untuk berangkat menggunakan sepeda motor matic milik Rea.

Lima belas menit mereka mengendarai motor, hingga sampai di depan sebuah kantor. Sasa menduduki posisi staf administrasi di salah satu kantor cabang milik perusahaan ternama ini.

"Makasih ya, Re." Sasa menyerahkan helm yang semula dikenakannya pada Rea kemudian membenarkan tatanan rambutnya pada kaca spion sahabatnya itu.

"Ntar pulang chat aja ya. Aku duluan. Semangaat!" pamit Rea setelah memastikan Sasa tidak terlambat.

Membalik badan, Sasa menghirup udara dalam, hari ini kehidupan barunya dimulai.

***

"Gimana kabar kamu, Mas?" Suara lembut menyapa indera pendengaran Tara.

"Beginilah," Tara menoleh ke arah dimana Kiara telah duduk di sampingnya.

"Kamu belum makan? Kenapa nggak dimakan?" Kiara mengerutkan dahinya ketika mendapati makanan yang disiapkan pihak rumah sakit masih utuh di atas overbed table yang terletak tak jauh dari ranjang.

"Nggak lapar." Hanya jawaban singkat yang Tara ucapkan.

"Mas Bima harus makan, biar cepet sembuhnya. Mau aku suapin aja?" Kiara yang masih saja bersikap lembut padanya, membuat Tara semakin merasa bersalah.

"Buka mulutnya, Mas." Entah kapan sesendok bubur telah berada tepat di depan bibir, membuat Tara mau tak mau membuka mulutnya menerima suapan demi suapan dari Kiara hingga bubur itu tandas tanpa ada yang berbicara lagi di antara mereka.

"Sudah, minum obatnya ya. Setelah itu aku pulang." Kiara menyodorkan beberapa kapsul obat milik Tara yang langsung diminum oleh Tara tanpa bantahan.

"Lekas sembuh, Mas. Mas Bima istirahat aja." Kiara membereskan peralatan makanan Tara dan meletakkannya di meja pojok dekat pintu.

"Kenapa?" Kiara heran ketika ia membalikkan badan, ternyata Tara masih melihat ke arahnya dengan pandangan yang baginya sulit diartikan.

"Maaf," gumam Tara penuh penyesalan namun masih bisa ditangkap telinga Kiara dengan jelas.

"Pasti kamu punya alasan, Mas. Dan sekarang bukan waktu yang tepat kalau kamu mau bilang semua. Fokus sama kesehatan dan pemulihan kamu." Kiara mengusap pundak Tara lembut seraya tersenyum tulus seakan semua baik-baik saja.

"Maaf," Tara hanya mampu mengucapkan kata itu sebelum matanya memberat dan terlelap karena efek obat yang diminumnya tanpa tahu jika mata Kiara perlahan basah dengan bibir yang ia gigit untuk menahan gejolak batin yang sedari tadi ia tahan.

Wanita mana yang bisa tetap baik-baik saja disaat pernikahan yang sudah nyaris di depan mata harus sirna karena calon suaminya pergi meninggalkannya begitu saja.

Meski awalnya mereka dijodohkan, tapi nyatanya Kiara telah lebih dulu mencintai Bima selama ini.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top