Bagian 26
"Bukan karena dia mirip sama mantan kamu yang udah ngga ada itu kan?"
Langkah Sasa serta tangan yang bersiap untuk mengetuk pintu terhenti saat tidak sengaja ia mendengar percakapan Bu Yuli yang seperti menyelidik dari dalam rumah.
Niatnya, tadi pagi ia ingin mengembalikan baperware milik sang Ibu Kos serta mengucapkan terima kasih namun tertunda ketika dirinya tidak enak hati mengembalikan wadah dalam keadaan kosong, meski Sasa tahu sang ibu kos tidak mengharapkan pamrih. Jadi ia putuskan untuk mengembalikan baperware milik mama Raksa sepulang bekerja setelah mampir membeli martabak kesukaan ibu kos untuk dibawa serta.
"Bukan, Ma. Sumpah! Dya udah dari awal suka, bahkan Dya aja awalnya malah enggak sadar kalo dia punya kemiripan sama Riana. Dya juga baru sadar pas udah dekat sama dia. Dya sadar banget Ma kalo mereka dua orang yang berbeda. Enggak ada kemiripan sama sekali kecuali wajah mereka aja yang hampir mirip. Kepribadian Sasa, itu yang bikin Dya nyaman sama yakin kalo Dya emang udah jatuh cinta sama dia karena dia Sasa, bukan bayangan Riana."
Pintu yang tidak tertutup sempurna, membuat suara mantap Raksa untuk meyakinkan sang mama terdengar jelas hingga membuat Sasa mundur selangkah dari tempatnya semula berdiri. Dalam batin ia mulai bertanya tentang apa yang sebenarnya sedang dibicarakan mereka hingga namanya turut disebut.
Tidak mau ambil pusing dengan terkaan yang mulai melantur, Sasa memilih berbalik, mungkin nanti saja ia mengembalikan baperware ungu yang sejak tadi ada di tangannya.
"Sasa?" Suara panggilan itu menghentikan Sasa yang sudah berbalik dan hendak melangkah pergi.
Sasa meringis di tempatnya berdiri, berharap tidak akan ada pertanyaan apa pun dari orang yang sekarang mungkin sudah berada tepat di balik tubuhnya. Sasa membalikkan tubuh secara perlahan seraya berusaha menetralkan ekspresi seolah dia tidak mendengar apa-apa.
"Kamu mau nyari siapa?" gugup orang itu bertanya, sebenarnya ia berharap tidak ada pembicaraan apapun yang didengar gadis itu tadi.
"Oh, ini ...," ucap Sasa seraya menunjuk pada wadah ungu di tangannya, "mau balikin ke Bu Kos sekalian mau bilang makasih, tapi mendadak aku baru ingat kalo tadi kamarku lupa belum di tutup pintunya, jadi ini mau balik tutup pintu dulu." Sasa tidak sedikitpun melihat pada Raksa.
Raksa sedikit memicingkan matanya, sesaat kemudian bibirnya menyunggingkan senyum geli.
"Kalo cari alasan yang pinter dikit, keliatan banget kalo lagi gugup." Raksa melipat kedua tangan seraya menyandarkan diri pada salah satu sisi kusen pintu rumahnya.
Saat sedang berbicara dengan sang mama, Raksa sengaja menghentikan pembicaraannya ketika menyadari ada bayangan keberadaan seseorang yang sedikit terlihat dari celah pintu. Raksa awalnya hanya berniat untuk memastikan siapa orang itu, malah dibuat terkejut dengan kehadiran Sasa, gadis yang sedang ia dan sang mama bicarakan, namun Raksa dapat dengan cepat menguasai rasa terkejutnya.
"Siapa yang nguping? Aku enggak denger apa-apa. Trus siapa juga yang cari alesan?" kilah Sasa.
"Ck, coba aja tengok. Pintu kamar kamu masih tertutup, tuh lihat, kamu aja ke sini masih pakai baju kantor lengkap sama tasnya, enggak ada tanda-tanda habis dari kamar. Masih mau cari alesan?" sanggah Raksa dari tempatnya berdiri, ia menunjuk pada Sasa dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan dagunya, mengingatkan jika gadis itu benar-benar belum memasuki kamar kosnya.
"Ini ... ini tadi aku ... itu ..." gugup Sasa saat menyadari jika memang dia masih menggunakan pakaian kerjanya lengkap, sedang dalam hati ia merutuki kebodohannya.
"Udah ah, ini tolong berikan ke Bu Kos. Bilangin makasih. Aku permisi." Kepalang basah, Sasa maju selangkah dan dengan cepat memindahkan Baperware yang ia pegang pada tangan Raksa.
Sentuhan terjadi tanpa Sasa sadari saat sebelah tangannya yang bebas meraih tangan kiri Raksa untuk menerima tempat makan yang sejak tadi ia bawa. Hal kecil seperti itu saja mampu membuat dada Raksa bergemuruh hingga tidak sempat menyadari jika Sasa telah berlalu dari hadapannya.
"Begini saja, di dalam sini rasanya aku hampir gila, apa jadinya kalo aku mesti lepasin kamu sama dia," gumam Raksa dengan tangan kanan yang menyentuh dada kemudian tersenyum kecut saat menyadari jika peluang dan kesempatannya merebut hati Sasa terancam hilang karena kehadiran Tara tempo hari.
***
Di tempat berbeda, seorang pria lainnya duduk sendiri dalam sebuah ruangan tanpa sedikitpun berniat pergi meski jam pulang kantor telah lewat beberapa jam.
Tara mulai resah dengan hatinya sendiri. Dia pikir apa yang ia lakukan dengan membatalkan rencana pernikahannya sudah benar, namun ada rasa bersalah serta bahagia yang diam-diam menyusup jauh dalam hatinya setelah pembicaraannya dengan Kiara kemarin.
Alasan Kiara mengorbankan semua, harusnya Tara sudah biasa mendengarnya, tapi kenapa kali ini hatinya malah meletupkan rasa bahagia karena dicintai sedalam itu. Apakah hanya karena egonya sebagai lelaki ataukah sebenarnya Kiara telah Tara cintai?
Sasa dan Kiara, keduanya hampir memiliki kedudukan yang sama, sama-sama pernah hadir melengkapi hidup Tara dengan cara mereka masing-masing. Sasa dengan keceriaannya, sedangkan Kiara dengan segala kedewasaan dan lemah lembutnya serta tidak pernah sekalipun memaksakan perasaannya selama ini bahkan mengorbankan karir wanita itu hanya untuk Tara.
Bagaimana Tara harus bersikap sekarang, dia mulai ragu dengan keputusannya sekarang. Sebenarnya siapa yang sebenarnya ia cintai, Sasa ataukah Kiara?
"Apa benar yang Sasa bilang kalo aku hanya memenangkan ego untuk mempertahankannya, bukan karena perasaan?" gumam Tara.
***
Di waktu yang berbeda, Sasa yang telah selesai membersihkan diri memilih mengurung dirinya dalam kamar daripada keluar untuk membeli makan malam. Entah kenapa percakapan Bu Yuli dan Raksa masih saja terngiang di telinganya.
Riana? Siapa sebenarnya dia? Apakah gadis itu masa lalu Raksa? Atau mungkin seseorang yang spesial di hidup keluarga Raksa?
Deg!
Memikirkan hal itu, seperti ada cubitan tidak kasat mata dalam dadanya, degupnya mulai tidak beraturan hingga membuat rasa gelisah tiba-tiba menyerang di dalam sana.
"Aku ini kenapa sih? Enggak ada hubungannya, Sasa! Ingat! Raksa itu nyebelin, kamu enggak boleh kayak gini cuma gara-gara dengerin omongan tadi. Bukan kamu yang mereka maksud." Sasa menggelengkan kepalanya cepat.
Tok ... Tok ... Tok....
Ketukan pintu menghentikan Sasa dari pikiran absurd-nya. Menengok pada jam di atas nya, kemudian mengernyit heran. Jam segini biasanya anak-anak kos keluar, apalagi ini malam minggu. Siapa yang ingin bertemu dengannya? Tidak mungkin Rea, karena sahabatnya itu sedang ikut meninjau proyek ke luar kota bersama bosnya.
Sasa memutuskan bangkit setelah terdengan ketukan pintu lagi, sepertinya ada sesuatu yang penting.
"Ish! Apaan sih?!" sewot Sasa sembari menepis ketika sebuah ketukan mampir di dahinya sewaktu ia membuka pintu.
"Eh, sori." Seseorang yang sedari tadi mengetuk pintu refleks mundur selangkah seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Ck, Sori ... sori! mau apa kamu ke sini?" sungut Sasa. Rasa sebal seketika muncul saat melihat siapa tamu yang mengetuk pintu kamarnya. Baru saja memikirkan, tapi kenapa ia harus bertemu pria ini lagi?
"Sabar, Sa. Orang sabar jodonya di depan mata," sahut Raksa cengengesan.
Mendengar ucapan Raksa, seketika bola mata Sasa membesar, "Apa maksud kamu? Jangan basa-basi, mau apa ke sini?" Sasa melipat kedua tangannya di dada, memicing ketika melihat Raksa yang malah tersenyum seakan dirinya sedang memberikan lelucon.
"Mau kamu," celetuk Raksa.
Plak!
Seketika pundak Raksa memanas, bersama dengan pandangan sengit dari Sasa.
"Galak banget sih kamu, Sa. Calon suami itu disayang bukannya dianiaya." Raksa mengusap pundaknya sementara wajahnya terlihat memelas.
"Udah? Kalo udah aku mau tidur, ganggu orang aja," gerutu Sasa.
"Eh, tunggu!" cegah Raksa dengan sebelah tangan menahan pundak Sasa ketika gadis itu akan kembali masuk kamar.
"Apa lagi?" Sasa menaikkan sebelah alisnya.
"Makasih ya, kamu udah bantu ngrawat aku waktu sakit," ucap Raksa tulus.
"Oh, itu. Aku enggak ngerawat, cuma diminta tolong Mama kamu aja." Datar Sasa.
"Apa pun itu, makasih." Raksa tersenyum manis. Sasa sempat tertegun sejenak melihatnya, senyuman berbeda yang tidak pernah ia lihat dari Raksa namun kenapa mampu membuat jantung Sasa berdebar tidak jelas seperti ini.
Apakah Raksa telah berhasil mempengaruhi hatinya secepat ini?
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top