Bagian 24

"Sa! Kamu kenapa sih?" tanya Rea sesaat setelah ikut masuk ke kamar Sasa.

Rea yang baru pulang tanpa sengaja melihat Sasa yang sedikit tergesa keluar dari rumah utama, apalagi ketika ia panggil, Sasa bukannya menjawab tapi malah semakin mempercepat langkahnya.

"Enggak tau, aneh aja gitu sama diri aku sendiri." Sasa membenamkan kepalanya ke bantal dengan posisi tertelungkup.

"Lah, bisa gitu. Emang tadi habis ngapain di rumah bu kos? Kok buru-buru keluarnya." Rea mendudukkan diri di samping Sasa, kepalanya bersandar ke sisi kasur dan mendongak pada Sasa.

"Si Raksasa sakit," ucap Sasa seraya membalikkan tubuhnya ke posisi telentang dengan mendekap bantal.

"Terus hubungannya sama kamu, apa?" Rea mengernyit heran hingga beberapa saat kemudian ia dengan cepat menegakkan badan dan berbalik sepenuhnya lalu memicing pada Sasa, "Jangan bilang kalo kalian emang punya hubungan?"

"Ish, apaan sih. Enggak. Ngaco kamu," kesal Sasa seraya melempar bantalnya ke arah Rea.

"Terus? Itu tadi, kenapa baliknya kayak orang patah hati?" cibir Rea yang berdiri dan ikut membaringkan diri di samping Sasa.

"Kepo! Eh, ngapain malah di sini? Mandi sana, bau!" Sasa bangkit dan berpura-pura menutup hidungnya, mengalihkan pembicaraan yang mulai serius, belum saatnya dia bercerita pada Rea.

Setelah Rea berlalu, Sasa melangkah gontai, berniat membersihkan diri sebelum ia keluar kos mencari uadara segar untuk pikirannya dan makan malam.

***

Niat Sasa untuk keluar kos mencari makan malam urung dilakukan hanya karena sebuah pesan dari Tara beberapa saat lalu.

Mas Tara
Aku masih nunggu jawaban kamu. Katakan kapan pun kamu siap.

Sebuah pesan singkat yang menarik Sasa pada pertemuan mereka beberapa hari lalu. Pertemuan yang tidak pernah ia bayangkan, bahkan tidak pernah lagi ia harapkan.

***

"Kalau aku maunya nikah sama kamu, gimana?" Tara tersenyum lembut saat mengucapkannya.

"Jangan gila kamu, Mas. Aku enggak mau merusak hubungan orang," sungut Sasa dengan melirik pada Tara yang duduk di sampingnya.

"Hubungan siapa maksud kamu?" Tara sedikit menunduk untuk melihat pada lawan bicaranya.

"Mas sudah memutuskan menikah dengan seseorang. Itu artinya Mas Tara punya hubungan dengan dia. Hubungan kalian sudah sangat serius bahkan melibatkan dua keluarga. Tolong, jangan pernah permainkan perasaan wanita. Toh kita enggak pernah ada hubungan apa pun kecuali hanya karena kita tetangga yang kebetulan tumbuh barengan." Sasa menatap balik tepat di mata Tara, tidak ada keraguan Sasa saat ia menjawab pertanyaan Tara.

"Kami sudah berakhir, Sa. Enggak ada hubungan apa pun. Rencana pernikahan itu resmi dibatalkan sebulan lalu, dan dia setuju.

Beberapa hari sebelum kejadian itu, aku baru sadar kalo aku cinta sama kamu. Aku ingin jujur soal perasaan aku, juga ngembaliin liontin itu langsung sama kamu. Tapi aku sempat ragu buat melakukan itu, karena aku nggak ingin menghancurkan perasaan siapapun. Tapi semua berbalik saat hari pernikahan itu tiba, semalaman aku nggak bisa tidur dan bikin aku mikir, aku enggak mau nyesel kalo aku enggak pernah bilang perasaan aku sama kamu. Akhirnya dengan sadar, aku nekat pergi dari sana buat nemuin kamu, entah apa pun jawaban kamu nanti, tapi paling nggak liontin itu udah balik sama kamu lagi. Dan enggak aku sangka malah berakhir dengan kecelakaan itu.

Setelah aku sembuh, aku berusaha buat datengin kamu ke rumah, tapi Tante Ratih bilang kamu udah ke luar kota, dan beliau nggak pernah kasih tau di mana kamu. Sampe kita malah nggak sengaja ketemu di sini," ucap Tara menghadap sepenuhnya pada Sasa.

"Segampang itu kamu batalin semua, Mas? Pasti dia cinta banget ya sama kamu, sampe dengan mudah setuju buat batalin semua, meski nama baik dia sama keluarganya jadi taruhan. Kalo aku di posisi dia, aku enggak akan bisa seperti itu," sinis Sasa.

Terbuat dari apa hati pria di depannya ini, hingga bisa menyakiti seorang wanita yang bahkan akan menjadi istrinya hanya untuk mewujudkan keinginan sendiri. Sasa seorang wanita, ia tahu bagaimana rasanya kecewa. Namun dirinya cukup merasa beruntung sebab rasa kecewanya bukan karena pemutusan hubungan secara sepihak. Hubungan? Bahkan Sasa tidak memiliki hubungan apa pun dengan pria itu dulu.

"Kami dijodohkan, dan aku baru menyadari perasaanku waktu kamu ngejauh dari aku, Sa. Apa yang salah?" Tara semakin bingung dengan sikap Sasa. Dirinya pikir aka bisa mendapatkan hati Sasa, ternyata justru sikap Sasa yang menolak kehadirannya yang Tara dapat.

"Mas Tara yakin dia enggak ada perasaan apa-apa? Perasaan Mas ke aku cuma rasa bersalah, atau ... ego Mas yang tersentil karena aku lebih memilih ngejauhin hidup Mas. Lebih baik kalian perbaiki hubungan kalian, daripada Mas terlambat sadar." Sasa bersidekap, menyandarkan diri pada jok penumpang.

"Tolong, percaya sama aku, Sa. Kasih kesempatan sekali lagi." Tara sekali lagi memohon dengan menatap lekat Sasa, namun gadis itu memalingkan wajahnya melihat ke luat jendela.

"Dari dulu aku enggak pernah nutup kesempatan buat kamu, Mas ... sampai undangan itu datang, semua sudah percuma sekarang," cicit Sasa dengan senyum masam.

Tara masih bungkam mendengar jawaban Sasa, namun tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari gadis yang masih setia menatap ke luar jendela.

"Lebih baik sekarang Mas Tara antar aku ke kantor. Kalau Mas masih mau bahas ini, lebih baik aku naik ojek aja," pinta Sasa menyudahi pembicaraan mereka, membahas hal ini lebih jauh hanya akan membuat luka hatinya yang hampir sembuh kembali tersayat.

Tidak ada pembicaraan apa pun kagi setelah itu, hanya samar terdengar Tara yang mengembuskan napas panjang kemudian mulai melajukan mobilnya menuruti permintaan Sasa.

Tidak butuh waktu lama, mereka sudah berada di depan tempat kerja Sasa.

"Terima kasih. Aku harap Mas mengejar cinta Mas yang sesungguhnya. Bukan Sasa yang Mas cinta," ucap Sasa setelah melepas sabuk pengaman yang ia gunakan, kemudian tangannya beralih hendak membuka pintu mobil.

"Aku masih akan nunggu jawaban kamu, Sa. Aku harap ada kesempatan buat aku. Aku yakin kalo ini cinta." Mendengar perkataan Tara, membuat gerakan tangan Sasa seketika terhenti.

"Enggak perlu ada jawaban, semua udah jelas, Mas. Terima kasih." Sasa bergegas membuka pintu, menjauh dari Tara dan hubungan semu yang pria itu tawarkan.

"Kalau dulu cintaku bisa menunggu, maka sekarang aku nggak akan biarin luka itu semakin dalam dengan ada di dekat kamu yang nggak punya perasaan," gumam Sasa dengan mengepalkan tangannya setelah ia berada dalam lift yang letaknya tak jauh dari lobi kantornya.

Sementara Tara di tempatnya berada, masih bergeming dengan memandang tempat terakhir Sasa menghilang di balik pintu.

"Kamu berubah, Sa. Tapi aku akan tetap nunggu jawaban kamu," gumam Tara, menarik napas dan mengembuskannya pelan. Kemudian melajukan kendaraannya berputar arah menuju kantornya dengan harapan ia tidak akan lagi salah mengerti perasaannya sendiri.

***

"Mbak, nih! dari Bu kos."

Suara Mala menarik Sasa dari ingatannya bersama Tara mengenai kejadian tempo hari.

"Loh, kok?" Sasa meletakkan ponselnya tanpa membalas pesan Tara sedikitpun, beranjak dari tempatnya duduk untuk menerima sebuah baperware ungu yang diulurkan Mala dari ambang pintu.

"Iya, tadi katanya mau diajakin makan malah Mbak Sa nyelonong balik kamar nggak pamitan," jelas Mala.

"Oh," ringis Sasa mengingat kelakuannya tadi, "Makasih ya La."

Setelah mengucapkan terima kasih, Sasa membawa masuk baperware ungu dengan perasaan tidak enak. Ingatkan dia jika besok dia harus meminta maaf pada ibu kos atas ketidaksopanannya.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top