Bagian 23
Seharian ini beberapa kali Sasa melakukan kesalahan, beberapa kali pula ia mendapat teguran dari teman kerjanya karena tidak fokus. Setelah hari yang panjang, akhirnya ia bisa sedikit bernapas lega ketika bisa merebahkan dirinya di kamar kos tanpa gangguan.
"Sa, dipanggil Bu Yuli." Suara serta ketukan pintu dari Melani yang tiba-tiba terdengar membuat Sasa segera bangkit membuka pintu.
"Ada apa ya, Mbak?" tanya Sasa ketika pintu kamarnya terbuka sempurna.
"Enggak tahu, dari tadi beliau nyariin kamu. Kayaknya ada yang penting deh."
Sasa segera keluar dan menutup pintu kamar setelah mengucapkan terima kasih pada Melani, kemudian berjalan pelan menuju rumah utama untuk menemui Bu Yuli dengan pikiran penuh tanda tanya, tidak biasanya si ibu kos mencarinya.
Sesampainya di depan pintu, sejenak Sasa ragu memandang pintu di depannya. Hingga pada akhirnya ia memberanikan diri mengetuk pintu itu.
Tok ... Tok ... Tok....
Sesaat kemudian pintu terbuka, menampilkan Bu Yuli dengan wajah pucatnya.
"Sasa? Syukurlah kamu dateng. Ayo, masuk!" Bu Yuli tersenyum antusias seraya menarik pelan lengan Sasa menggiring gadis itu masuk rumah.
Tunggu, ruang tamu sudah terlewat namun Bu Yuli masih mengarahkan Sasa masuk lebih dalam.
"Bu, Kita mau kemana?" Sasa berhenti di tempatnya. Ia harus tahu apa yang akan dilakukan mama dari Raksa ini hingga memanggilnya kemari.
"Astaga, Mama lupa. Mama mau minta tolong buat bujukin Dya makan sama minum obat. Sejak tadi malem dia demam, tapi sama sekali enggak mau makan sama minum obat. Mama udah nggak tau lagi bujukinnya gimana. Mama cuma denger beberapa kali dia ngigau manggil kamu, jadi Mama pikir kamu pasti bisa bujuk dia. Tolong Mama ya, Sa." Bu Yuli menepuk dahinya pelan, kemudian menjelaskan pada Sasa.
"Sa? Kok malah bengong?" Tangan kanan Bu Yuli menepuk pelan pundak Sasa.
"Eh, maaf Bu." Sasa sedikit salah tingkah.
"Ayok, Sa." Bu Yuli kembali menarik lembut lengan Sasa, berbelok ke kanan dan berhenti tepat di depan sebuah pintu yang tertutup rapat.
Tanpa mengetuk, Bu Yuli membuka pintu serta bergegas masuk, sedangkan Sasa masih bergeming di tempatnya.
"Loh, kok masih di situ kamu, Sa. Ayok, masuk." Bu Yuli memberi isyarat dengan lambaian tangannya agar Sasa segera mengikutinya lagi.
Sebuah ruangan 4x4 meter bernuansa abu muda dengan kombinasi biru dongker pertama kali menyapa penglihatan Sasa bersama aroma maskulin yang seketika menelusuk dalam indera penciumannya. Kamar Raksa cukup rapi, dengan sedikit barang di sana. Hanya almari besar, meja yang berisi susunan buku di samping jendela yang mengarah ke barisan kamar kos, sebuah rak yang berbentuk seperti tangga di atas karpet kecil pada sudut kamar yang berisi sajadah serta beberapa helai sarung dan kain, sdang di sudut lain terdapat sebuah nakas dan ranjang.
"Sa, tolong jagain Dya bentar ya. Mama mau ganti airnya dulu, sekalian bawain makan malam buat Dya, biar minum obat sekalian nanti." Bu Yuli menunjukkan baskom kecil yang sepertinya telah digunakan untuk mengompres Raksa.
Tanpa menunggu jawaban Sasa, Bu Yuli segera menuju ke dapur yang terletak tidak jauh dari kamar Raksa berada.
Sasa melihat ke arah ranjang, tempat Raksa yang kini tengah terbaring dengan wajah yang terlihat pucat, tidak ada lagi senyum usil ataupun wajah tengilnya di sana. Beberapa gerakan menandakan Raksa tidak nyaman dalam tidurnya. Tanpa sadar Sasa mulai mengayunkan langkah perlahan mendekat pada Raksa.
"Sa...," ucap Raksa dengan mata yang masih terpejam dengan dahi berkerut serta bola mata yang bergerak gelisah.
Perlahan tangan Sasa membenarkan letak handuk kecil yang sebelumnya digunakan untuk mengompres dahi Raksa, hingga Sasa sedikit terperanjat ketika tidak sengaja punggung tangannya menyentuh langsung kulit Raksa.
"Badan kamu panas banget." Sasa seketika menegakkan tubuhnya, mengedarkan pandangan untuk mencari sebuah benda.
Sebuah kotak P3K yang tertempel pada dinding di atas meja, membuat Sasa sedikit merasa lega. Sasa bergegas membuka dan mencari, berharap menemukan sebuah termometer di sana.
"Maaf." Sasa meringis ketika menurunkan sedikit selimut yang menutupi tubuh Raksa untuk menyelipkan termometer pada sela tangan kanan pria itu.
Hingga beberapa saat, bunyi penanda terdengar dengan tempo cepat. Mata Sasa membulat ketika termometer menampilkan angka 39.8 derajat. Pantas saja tubuh Raksa terasa sangat panas di kulitnya tadi.
Nalurinya tergerak, Sasa mulai mempraktekkan apa yang dulu mamanya sering lakukan ketika ia demam. Gadis yang bahkan masih mengenakan kemeja kerjanya itu menurunkan selimut tebal yang membungkus Raksa, menggantinya dengan selimut yang lebih tipis, yang ia temukan pada rak yang ia lihat sebelumnya. Bertepatan dengan itu, Bu Yuli masuk dengan membawa nampan berisi makanan serta baskom kecil berisi air hangat.
"Biar Sasa bantu, Bu." Sasa yang melihat mama Raksa nampak kesusahan mengambil alih nampan dan meletakkannya ke atas nakas.
"Ya, bangun dulu, Le. Kamu mesti makan dulu. Dari tadi kamu enggak mau makan terus. Ayok, buka matanya sebentar." Bu Yuli menepuk pelan pipi Raksa agar sang putera mau membuka mata.
"Pusing, Ma. Enggak mau," gumam Raksa seraya memalingkan wajahnya.
"Tapi kamu..." Perkataan Bu Yuli terhenti ketika Sasa menepuk lembut pundaknya.
"Biar saja dia nggak mau makan, Bu. Jadi orang lemah banget, baru sakit gini aja enggak mau makan." Sasa sengaja mengeraskan suaranya.
Menyadari jika sang mama tidak sendiri di kamarnya, dahi Raksa mengernyit. Apalagi suara itu sangat familier di telinganya, pemilik suara yang belakangan ini lebih sering menganggu hati dan pikirannya.
"Masih enggak mau makan?" ledek Bu Yuli ketika menyadari perubahan gestur tubuh Raksa saat mendengar suara Sasa.
"Mama tinggal bentar ya, Sa. Papanya Dya bentar lagi pulang. Mama mau siapin makan malam dulu." Bu Yuli menepuk pundak Sasa pelan kemudian beranjak keluar.
***
"Lagi," bujuk Sasa dengan tangan siap menyuapkan sesendok bubur di depan bibir Raksa yang mengatup rapat.
Hanya gelengan lemah yang Raksa berikan sebagai jawaban, perutnya mulai terasa mual ketika telah memakan separuh mangkuk bubur.
"Minum obat kalo gitu, tunggu bentar lagi." Sasa merapikan mangkuk bekas makan Raksa ke atas nakas, mengeluarkan obat penurun demam yang akan diminum Raksa nanti serta menuangkan air putih ke gelas.
"Minum obatnya," titah Sasa pada Raksa yang masih bergeming.
"Enggak usah, bentar lagi juga sembuh," kelit Raksa.
"Ngapain nunggu bentar lagi kalo belum tentu demamnya turun. Udah, nggak usah banyak alesan. Minum obatnya atau aku bilang mama kamu buat bawa ke dokter." Sasa kembali menyodorkan sebutir tablet serta segelas air putih ke hadapan Raksa.
Dengan terpaksa Raksa meminum obatnya, hal yang sedari dulu paling ia benci ketika sakit.
***
Setelah memastikan Raksa beristirahat, Sasa merapikan kembali termometer dan obat penurun demam dalam kotak P3K dengan sedikit berjinjit, namun saat ia akan berbalik tanpa sengaja tangannya menyenggol sebuah agenda hingga terjatuh ke lantai dengan halaman yang terbuka.
Sasa merutuki keteledorannya seraya memungut barang yang terjatuh tadi. Dahinya mengernyit ketika tidak jauh dari buku itu, terdapat sebuah foto. Setelah menegakkan badannya, Sasa malah memilih duduk di kursi depan meja, meletakkan buku agenda di sana namun matanya fokus pada potret yang ia pegang.
"Ini?" gumam Sasa seraya menyentuh wajahnya sendiri.
Hanya sekali lihat, dia bisa mengenali siapa pria yang terlihat sedang tersenyum lepas di foto itu meski wajahnya telah sedikit berubah dewasa sekarang, tapi tidak dengan gadis yang nampak bersandar pada pundak pria itu, wajah gadis itu sekilas mirip dengan dirinya. Sasa terus mengamati foto itu, sesaat kemudian berinisiatif melihat apa yang tertulis di balik kertas foto itu.
"16 September 2014"
Pundak ini akan selalu ada untuk menjadi tempat ternyaman bagimu bersandar.
Deg!
Harusnya membaca tulisan itu tidak akan memberikan efek apa pun pada Sasa. Dia tidak menyukai raksa bukan? Tapi kenapa dadanya berdetak tidak berarturan setelah membacanya.
"Aku kenapa?" Sasa bergumam menyentuh dadanya sendiri.
Dengan tergesa ia menyelipkan asal foto yang semula dia pegang ketika menyadari tidak seharusnya dia membuka privasi Raksa. Dia harus segera keluar dari sini.
Tanpa berpamitan pada si pemilik kamar, Sasa bergegas keluar dari sana. Hatinya tidak menentu, hingga ketika Bu Yuli mengajaknya makan malam bersama, tak sedikitpun ia menoleh. Fokusnya hanya ingin segera berada dalam kamarnya sendiri.
...
Ada yang masih baca? Kalian yang udah gak sabar nunggu lanjutannya, bisa mampir ke Dream atau KbmApp ya. Terima kasih ❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top