Bagian 21

"Sa!"

Suara panggilan disertai ketukan pintu mengusik Sasa yang hampir terlelap setelah Isya. Menyerah dengan ketukan yang semakin intens, Sasa memilih segera beranjak untuk membuka pintu.

"Hm?" hanya gumamam dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka ketika ia membuka pintu kamarnya.

"Eh, Tumben jam segini udah mau tidur?" Rea mengernyit, bahkan waktu Isya baru terlewat lima belas menit.

"Kenapa?" Sasa bertanya ketika sudah berhasil mengumpulkan kesadarannya.

"Ponsel kamu mati ya?"

"Ha? Kenapa emang?" Sasa segera berbalik mencari ponsel yang entah ia letakkan di mana sebelumnya.

"Tante tadi nelpon aku, khawatir. Kamu nggak bisa ditelepon dari sore tadi, " jelas Rea seraya mengikuti Sasa masuk kamar.

"Apalagi kata Bu Yuli, setelah ada cowok yang ke sini ketemu kamu, kamu nggak keluar kamar lagi habis ngasih buket coklat ke beliau," lanjut Rea dengan masih mengamati Sasa yang kini tengah mengorek isi tas kerjanya.

Dapat!

Sasa segera mengecek ponselnya yang memang benar dalam keadaan mati, menyambar kabel charger untuk bisa mengisi daya kembali ponselnya, kantuknya seketika hilang.

"Aku nggak pegang ponsel dari sampai kamar tadi." Sasa duduk selonjor di samping ranjangnya, bersandar di sana dan menghela napas sendu.

"Kok malah jadi melow sih?" Rea menyadari perubahan Sasa.

"Dia ... datang." Sasa tak perlu menutupi apapun dari Rea, ia tau Rea tak akan pernah mengumbar rahasia pada siapapun tanpa ijinnya.

"Ha?" Rea yang semula ikut bersandar di sebelah Sasa seketika menegakkan duduknya dan menghadap sepenuhnya pada sahabatnya.

"Minta kesempatan, tapi ... itu nggak mungkin kan?" cicit Sasa seraya tersenyum masam.

"Pak Bima? Ke sini? Kesempatan? Tunggu deh Sa, kesempatan gimana maksudnya?" Rea masih mencoba mencerna ucapan Sasa.

"Kesempatan buat perbaiki semua, katanya. Tapi buat apa? Dia kan udah nikah." Sasa menghirup udara dalam lalu menengadahkan kepalanya. Masih ada rasa sesak ketika mengingat Tara sudah milik orang lain.

"Loh? Emang jadi nikah? Bukannya kata kamu dia kecelakaan pas hari pernikahannya?" Rea mengernyit bingung.

"Nggak ada alasan lain buat dia batalin juga, Re. Sepakat menikah, bukankah karena mereka sama-sama serius?" Pikiran Sasa menerawang, entah kenapa disuasana seperti ini ia malah ingat dengan Raksa. Kenapa jadi Raksa? Sialan!

Sasa menegakkan duduknya, mengusap pelan wajah untuk mengenyahkan pikirannya yang entah kenapa malah mengingat pria sengklek itu.

"Belum tentu juga kali, Sa. Jadi orang jangan suka ngambil kesimpulan sendiri ah. Coba tanyain dulu, nggak mungkin kalo dia udah nikah terus ke sini minta kesempatan, gila aja, kurang kerjaan itu namanya." Rea gemas dengan sifat sahabatnya yang satu ini, sering suka mengambil kesimpulan sendiri tanpa bertanya lebih dulu.

Sasa beranjak, mengambil jaketnya kemudian menyambar dompet yang tergeletak di nakas dan berjalan menuju pintu.

"Eh! Mau kemana? Katanya ngantuk." Rea reflek ikut beranjak mengekor pada Sasa.

"Mau cari udara, biar fresh."

"Aku ikut." Rea bergegas mengunci pintu kamarnya sendiri, niatnya sedari awal memang berniat mengajak Sasa keluar mencari makan malam.

***

"Cewek, dari mana nih malem-malem baru pulang." Sambutan tak diharapkan menyapa ketika keduanya melewati teras rumah utama menuju kamar. Mereka langsung mengenali pemilik suara meskipun terhalang keremangan cahaya lampu.

"Mas Dya? Ngagetin aja!" sungut Rea, lain hal dengan Sasa yang hanya diam tak berniat menyapa.

"Dari mana?" Raksa mendekat pada keduanya.

"Jalan-jalan ke depan. Kita masuk dulu ya, Mas," Rea menjawab singkat setelah Sasa memberi kode dengan tarikan pelan di tangannya tanda gadis itu sedang tak ingin basa-basi dengan pria di depan mereka.

"Tunggu bentar," Raksa melirik sekilas pada Sasa kemudian berbalik dalam rumah, beberapa saat kemudian kembali dengan sebuah benda di tangannya, "nih, kemarin aku ke rumah, awalnya mau di paketin sama Mama."

Sasa mengernyit, bukan karena benda yang Raksa ulurkan, melainkan karena pria itu sering ke rumahnya hanya untuk menemui sang Mama. Waktu mamanya sakit dan Sasa harus kembali ke Yogjakarta setelahnya, Raksa pernah berkata jika ia akan membantu Sasa untuk jaga mamanya dan ternyata pria itu benar-benar menepati ucapannya.

"Makasih," ucap Sasa singkat setelah benda itu berpindah ke tangannya.

"Sama-sama, Mama cuma nitip bilang kamu kudu jaga kesehatan." Raksa menyampaikan pesan mama Sasa.

"Iya. Mm, kami balik ke kamar dulu." Sasa bergegas menarik lengan Rea yang sedari tadi mengamati keduany.

"Sa, Mas Dya serius kayaknya." Rea berkata ketika mereka sudah ada di depan pintu kamar Sasa.

"Apanya?" Sasa masuk dan meletakkan benda yang ia belum tahu apa isinya ke atas nakas.

"Dia sering ketemu Tante, padahal kamu kan di sini." Rea ikut masuk.

"Ngaco kamu." Sasa duduk bersila setelah melepaskan jaketnya, mengambil benda berbentuk kotak yang ukurannya tidak terlalu besar.

"Yah, secara dia strateginya oke. Deketin emaknya dulu, baru anaknya. Cowok yang bener tuh gitu Sa, ijin dulu, bukan malah deketin anaknya duluan trus udah ajak jalan kemana-mana baru kenalan sama orang tuanya." Rea mulai mengeluarkan argumennya namun ketika tak ada respon dari Sasa, Rea melihat pada Sasa yang kini tengah mematung dengan kotak yang telah terbuka.

"Kenapa, Sa?" Rea bingung dengan reaksi Sasa.

Tak ada jawaban, hanya Sasa yang sedang memandang kosong pada sebuah buku agenda kecil berwarna hitam yang terbuka dan entah apa isinya.

"Dia ...," gumam Sasa pelan.

"Dia siapa?" Rea semakin heran dibuatnya.

"Re, bisa tinggalin aku sendiri dulu?" Bukan menjawab pertanyaan Rea, Sasa malah meminta Sahabatnya itu meninggalkan kamarnya.

Mengerti situasi, Rea memilih menuruti keinginan Sasa. Bukan waktu yang tepat jika dia bertanya apapun pada Sasa saat ini, nanti pasti gadis itu akan bercerita sendiri jika waktunya sudah pas menurutnya.

Sepeninggal Rea, Sasa menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Buku agenda yang baru ia buka bagian depannya, menunjukkan siapa pemiliknya, kini tergeletak begitu saja tanpa ingin ia buka halaman-halaman selanjutnya.

Kenapa saat ia mulai bisa memulai hidup barunya pria itu datang lagi? Tak cukupkah dulu dirinya menelan kekecewaan mendalam karena harapan kosong yang pria itu beri? Sasa terlalu takut, jika ia kembali berharap dan dihempaskan seperti dulu.

...







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top