Bagian 15

Tiga hari Sasa berada di ibu kota, namun tak sekalipun ia menginjakkan kakinya ke rumah sejak pertama tiba. Baginya, pulang ke rumah sama artinya dengan kemungkinan besar ia akan bersinggungan kembali dengan Tara dan keluarganya, atau bahkan istri Tara. Sasa tak pernah tau jika pernikahan itu tak pernah terjadi.

"Sore, Ma! Eh? Udah boleh pulang emang?" Pria berkemeja hitam dengan lengan yang telah tergulung mengernyit ketika melihat wanita paruh baya yang kini duduk di sofa serta tangan yang telah terlepas dari jarum infus, terlihat Sasa sedang sibuk memasukkan keperluan mamanya dalam tas.

"Iya, Alhamdulillah udah boleh." Ratih tersenyum menyambut pria muda yang sudah tiga hari selalu menyempatkan diri mengunjunginya.

"Heh Raksasa! Sejak kapan Mamaku jadi Mama kamu? Ngapain lagi ke sini?" ketus Sasa.

"Sejak aku ketemu kamu. Lagian Mama nggak keberatan kok. Ya kan Ma?" Raksa menjawab acuh pada Sasa, lalu melihat pada Ratih untuk mendapat dukungan.

"Iya, gak apa." Ratih tersenyum ketika mendapati wajah Sasa yang semakin tertekuk.

"Tuh denger kan? Udah siap?" tanya Raksa.

"Siap?" Sasa tak mengerti dengan ucapan Raksa yang terdengar ambigu.

"Ck, pulang. Kalo ke pelaminan ntar aja kalo kamu udah cinta." celetuk Raksa mendekatkan kursi roda, kemudian membantu Ratih berpindah. Setelahnya, pria itu beralih pada tas yang telah selesai Sasa kemasi.

"Mbak Sasa, Mbak udah urus administrasinya duluan ya tadi?" Raja yang baru saja masuk terlihat bingung.

"Ha? Belum. Kan Mbak tadi minta tolong ke kamu buat urus administrasinya pas Mbak bantuin Mama ganti baju?" Sasa mengernyitkan dahinya.

"Loh? Tapi kata adminnya, administrasi atas nama Bude udah dilunasin. Terus kalo bukan Mbak, yang ngurus siapa kalo gitu?" Perkataan Raja membuat Ratih dan Sasa terkejut, keduanya lantas menatap ke arah Raksa. Namun Raksa menunjukkan respon dengan mengangkat kedua tangannya, ia sendiri saja baru tahu jika Ratih diperbolehkan pulang hari ini.

"Sumpah, aku enggak tau." Raksa menunjukkan jari telunjuk serta jari tengah yang membentuk huruf V. Ia benar-benar tidak tahu siapa yang telah mengurus administrasinya.

"Petugasnya bilang nggak Ja, siapa yang udah lunasin?" Raksa bertanya pada Raja, namun hanya gelengan serta bahu laki-laki itu yang terangkat sebagai jawaban.

"Gimana ini? Siapa yang diem-diem udah ngurusin administrasinya Mama kalo gitu?" Sasa mengedarkan pandangan pada orang-orang dalam ruangan. Namun sunyi, tidak ada yang bisa menjawab.

"Lebih baik kita pulang dulu, Biar Mama bisa cepet istirahat. Nanti aku bantu cari tahu siapa orangnya." Raksa memecah keheningan.

Mereka akhirnya memutuskan pulang meski banyak pertanyaan muncul di benak masing-masing. Dan saat mobil Raksa menjauh, tak jauh dari tempat mobil Raksa semula terparkir, sepasang mata tak lepas memandang pada mobil yang telah membawa keluarga itu pulang ke rumah.

"Mas, apa ini nggak berlebihan? Mas Bima nggak takut apa kalo mereka tersinggung pas tahu sebenernya Ma Bima yang udah urus semua?" Suara Mika menyadarkan Tara.

"Enggak apa-apa. Lagian Tante Ratih udah kayak ibu kita sendiri. Kamu inget kan, Tante Ratih sama suaminya selalu ada waktu keluarga kita kesusahan." Tanpa menunggu respon Mika, Tara berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat semula mobil Raksa terparkir.

Biarkan hanya mereka berdua yang tau apa yang sudah Tara lakukan kali ini. Tara tulus melakukannya, tanpa embel-embel apapun.

***

"Jadi, mau langsung balik? Jam berapa keretanya?" Raksa bertanya ketika mereka berkumpul di ruang keluarga rumah Sasa setelah makan malam.

"Nanti jam sepuluh. Aku pegawai baru, dikasih ijin tiga hari buat jagain Mama aja aku udah bersyukur. Kesannya aku kayak anak durhaka yang malah mentingin kerjaan dibanding ngrawat Mama yang lagi sakit, ya." Sasa menjawab lesu setelah melihat pada jam tangannya, masih tiga jam lagi.

"Kamu ngomong apa sih, Sa. Mama kan udah nggak apa-apa. Lagian ada Raja di sini. Kamu udah terikat kontrak, jadi lakuin kerjaan kamu dengan baik. Mama selalu dukung kamu." Tangan kiri Ratih membelai rambut Sasa untuk menenangkan puterinya.

"Kalau ragu, kamu tenang aja. Aku bakalan nengokin Mama tiap hari. Trus tiap akhir minggu aku kasih laporan ke kamu. Gimana?" Raksa mencoba mencairkan suasana.

"Gegayaan. Kerjaan sendiri aja terbengkalai, sok-sokan mau bantu jagain Mama," cibir Sasa.

"Mbak ... Mas, kalian buru ke KUA gih, dari tadi Raja liat nggak ada akur-akurnya." Raja yang sedari tadi hanya jadi pendengar, mulai bersuara.

"Apa?!"

"Ayok!"

Respon Sasa dan Raksa yang hampir bersamaan. Mendengar ketidakkompakan jawaban keduanya sontak membuat Ratih dan Raja tertawa.

"Mau berangkat kapan? Bareng aku aja sekalian. Searah." Raksa menawarkan diri.

"Kamu pulang aja sana. Aku bisa naik taksi." ketus Sasa.

"Sama Raksa aja, Sa. Mama lebih tenang. Buruan siap-siap." titah sang mama.

"Turutin kata Bude, Mbak. Raja nggak bisa anter. Udah malam nggak aman kalo pergi sendirian." imbuh Raja.

Dengan berat hati Sasa menuruti keinginan sang mama. Saat baru satu langkah beranjak, bel berbunyi. Sasa segera memutar langkahnya menuju arah pintu untuk melihat siapa yang berkunjung malam-malam.

Ceklek

Saat pintu terbuka sempurna, sebuah senyum dari orang di depannya sukses menjungkir balikkan mood Sasa.

Dia?

"Mama kamu udah pulang, Sa?" Suara seorang lainnya menyadarkan Sasa dari rasa terkejutnya.

"Oh, ada di dalam Tante. Silahkan masuk." Sasa menggeser badannya, agar si tamu masuk.

"Duduk dulu, Om ... Tante ... Mika ... Mas Tara. Sasa panggil Mama dulu." cicit Sasa ketika menyebutkan nama orang terakhir.

Tak selang berapa lama, Ratih muncul dengan Raksa yang mendorong kursi rodanya. Sementara Sasa menyusul dengan nampan yang berisi minuman.

"Mbak," Risa segera bangkit menghampiri Ratih. Kemudian mengalirlah cerita kenapa Ratih bisa sampai terluka seperti itu.

"Oh ya, ini ... Siapa, Mbak? Kayaknya aku baru belum pernah lihat." Risa menunjuk ke arah Raksa yang sedari tadi duduk tenang setelah membantu Ratih memdorong kursi rodanya.

"Oh, ini ....,"

"Saya Raksa, Tante." Raksa memperkenalkan dirinya sendiri, di sisi lain Sasa merapal doa agar kali ini Raksa menjaga bicaranya.

"Oh, Raksa. Keponakan Mbak Ratih ya?" Risa menebak.

"Bukan, Tante. Saya...,"

"Temen Sasa, Tante. Kebetulan berengan pas berangkat ke sini." Sasa segera menjawab sebelum Raksa kembali membuat ulah.

Saat tahu Raksa akan membuka mulut lagi, Sasa segera menginjak kaki Raksa yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk, melirik Raksa dengan tajam agar Raksa diam.

Berhasil, Raksa menuruti keinginan Sasa. Dari apa yang Raksa lihat sedari tadi, Tara beberapa kali mencuri pandang pada Sasa, begitu pula sebaliknya. Sikap Sasa yang terlihat seperti tidak nyaman, membuat Raksa merasa seperti ada sesuatu antara keduanya. Apa mungkin sebenarnya dua orang di dekatnya itu adalah mantan kekasih? Jika iya, sepertinya Raksa mempunyai saingan untuk mendapatkan cinta Sasa. Raksa tak akan menyerah, sebelum Sasa sendiri yang memintanya.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top