Bagian 13
Suara bel sebagai penanda kereta telah tiba, membuyarkan lamunan seseorang yang sedari tadi duduk di kursi peron stasiun dengan memeluk tas ranselnya.
"Ayok, udah dateng tuh."
"Ha?" Sasa yang belum menyadari situasi terlihat bingung.
"Keretanya udah dateng, ayo naik." Raksa menarik pelan tangan Sasa.
Sasa menurut, tak sedikitpun menolak atau mengelak genggaman Raksa di tangannya. Pikirannya terlalu kacau semenjak ia mendapat telepon dari sepupunya yang memberi tahu jika sang mama masuk rumah sakit karena kecelakaan. Segera mungkin Sasa mengurus ijin pada kantor tempatnya bekerja. Ia pegawai baru, akan lebih susah jika ia mengajukan cuti. Raksa yang waktu itu sedang berada di dekat Sasa berinisiatif meminjam tanda pengenal Sasa untuk memesan tiket kereta menuju Jakarta, kebetulan ia juga berencana kembali ke kota itu setelah akhir pekan selesai.
"Mana ransel kamu?"
Sasa melepas dan mengulurkan tas ranselnya pada Raksa untuk di letakkan di atas rak bagasi kereta, kemudian menempatkan diri pada kursinya.
"Kamu tenang aja, semoga Mama kamu nggak kenapa-kenapa." Raksa menangkan dan hanya diberi anggukan oleh Sasa.
***
Setelah menempuh waktu hampir sepuluh jam, kereta tiba di stasiun Pasar Senen. Tak butuh waktu lama bagi Sasa dan Raksa untuk mendapatkan taksi yang mengantar mereka menuju rumah sakit.
"Kamu langsung pulang aja. Aku bisa sendiri," ucap Sasa ketika taksi telah sampai di pelataran rumah sakit.
Alih-alih mendengarkan ucapan Sasa, Raksa malah ikut menjejakkan kakinya di sana, membayar ongkos taksi kemudian dengan santai menarik gadis itu menuju meja informasi agar menanyakan keberadaan ruang rawat sang mama.
"Mbak, pasien atas nama Ibu Ratih Andini yang kemarin kecelakaan di mana ya? Saya anaknya." Sasa berusaha tenang, meski jantungbya berdebar tak karuan. Hanya mama yang dia punya, ia tak ingin terjadi hal buruk pada orang tua satu-satunya yang dia punya.
"Cataleya 1, Mbak naik lift saja ke lantai tiga, keluar belok kanan. Ruangan paling ujung. Tapi maaf, hanya satu orang saja yang bisa masuk ya, Mbak, mengingat ini diluar jam besuk. Suaminya tolong tunggu di luar saja." Petugas jaga mengarahkan.
"Makasih kamu udah temenin aku, sebaiknya kamu pulang saja. Nggak bisa masuk juga. Aku duluan ya." Sasa berdiri di hadapan Raksa, meminta pria itu pulang agar segera bisa istirahat.
" Yaudah, sana. Semoga Mama kamu cepet sehat." Raksa memperhatikan Sasa hingga gadis itu menghilang di balik kotak besi.
***
"Mbak?" Raja -sepupu Sasa-bangun dari sofa ketika melihat Sasa sampai di ruang rawat bude-nya.
"Kok bisa kecelakaan, Ja?" Sasa menghampiri ranjang sang mama dimana mamanya tengah beristirahat, duduk di bangku dan menanyakan kronologinya pada laki-laki delapan belas tahun itu.
"Bude mau pulang dari toko tadi Mbak. Raja minta Bude nunggu di seberang aja karena Bude masih ngunci pintu, apalagi hujan juga baru reda, pas mau Raja samperin, tau-tau ada motor kenceng gitu kepleset trus kena Bude yang lagi nungguin Raja nyebrang." jelas Raja.
"Terus kata dokter apa tadi?" Sasa mengamati tangan kanan sang mama yang di pasang bidai dengan sling.
"Dokter bilang tulang di pergelangan tangan Bude patah, sama kaki nya keseleo. Selebihnya luka kecil, Alhamdulillah gak ada cidera di kepala karena Bude jatuhnya ke samping tadi. Pergelangan tangannya buat nahan," imbuh Raja.
"Syukurlah", gumam Sasa setalah mengetahui kondisi sang mama.
"Yaudah, kamu balik dulu aja. Udah mau shubuh, sekalian langsung pulang. Makasih banyak ya Ja udah jagain Mama."
"Iya, Mbak. Budhe kan udah kayak ibu aku sendiri. Kalo gitu, aku pulang dulu ya, Mbak. Nanti aku ke sini agak siangan soalnya ada ujian." Raja mengambil jaket serta kunci motor yang tersimpan di sofa, kemudian keluar setelah berpamitan pada Sasa.
***
"Lho, Sa. Kamu kok ada di sini?" Ratih terkejut begitu membuka mata Sasa lah yang menunggunya.
"Iya, Ma. Kemarin Raja ngabarin Sasa, jadi langsung ke sini. Sasa khawatir." Sasa memeluk perut mamanya dari samping.
"Udah, Mama nggak kenapa-kenapa. Cuma luka kecil gini." Ratih terkekeh namun sesaat kemudian sebuah ringisan muncul ketika rasa nyeri kembali terasa.
"Tuh, kayak gitu dibilang luka kecil." Sasa bangkit menyesuaikan tinggi bed dengan memutar tuas agar posisi mamanya sedikit nyaman, kemudian mendorong overbed table yang berisi sarapan mendekat pada sang mama.
"Mama sarapan dulu ya, habis itu diminum obatnya."
Sasa dengan telaten menyuapi sang mama hingga semangkuk bubur tandas. Kemudian beberapa menit setelahnya, baru ia membantu sang mama meminum obat yang telah disiapkan sebelumnya.
Tok ... Tok ... Tok....
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian keduanya, hingga beberapa saat seorang pria muncul dengan senyum canggung.
"Pagi," sapa pria itu pada keduanya.
"Kamu?" Sasa tak percaya. Pria ini sepertinya tak mendengar apa yang tadi ia katakan. Terlihat dari pakaian yang masih sama serta ransel yang masih melekat di salah satu pundaknya, namun wajahnya terlihat sedikit lebih segar.
"Aku bawain sarapan buat kamu. Kemarin kamu sama sekali belum makan apa-apa." Raksa mengangsurkan sebuah plastik hitam berisi makanan pada Sasa.
"Kenapa...," ucapan Sasa terlebih dulu disela sang mama yang sejak tadi memperhatikan interaksi keduanya.
"Ini siapa, Sa?"
"Ini...,"
"Raksa, Tante." Lagi ucapan Sasa kembali disela ketika dirinya belum selesai bicara.
"Anak ibu kos, kebetulan barengan kemarin dari Jogja, Ma." Sasa buru-buru menjelaskan sebelum "lambe Raksa" bicara yang tidak-tidak pada mamanya.
"Sini duduk, Nak. " Tak menghiraukan penjelasan Sasa, Ratih malah meminta Raksa duduk di bangku sebelahnya.
"Makasih udah nemenin Sasa sampe sini ya," ucap Ratih pada Raksa yang telah mendudukkan diri.
"Udah kewajiban saya buat calon is ... Awh!" Belum selesai Raksa bicara sebuah pukulan lumayan keras bersarang di pundaknya.
"Sakit tau, Sa. Dosa tau sama calon begitu." Raksa mengusap pundak kanannya yang terasa panas akibat pukulan Sasa.
"Calon? Calon suami? Kalian?" Ratih dibuat bingung dengan tingkah keduanya.
"Enggak, Ma. Jangan dengerin dia!" Sasa melambaikan kedua tangannya di depan dada berharap sang mama tidak mengambil hati perkataan Raksa.
"Loh, kok enggak sih, Sa? Boleh kan Tante?" Raksa pura-pura memasang wajah memelas.
"Jadi yang bener yang mana?" Ratih terkekeh melihat keduanya.
"Enggak!"
"Iya!"
Jawab keduanya secara tak sengaja bersamaan. Hal itu membuat Ratih yang semula bingung berubah tertawa lepas. Keduanya benar-benar seperti kucing dan tikus.
"Udah-udah, Raksa dari sampai sini tadi, belum pulang sama sekali ya?" Ratih mengamati penampilan Raksa. Celana jeans panjang, kaos hitam polos yang dibalut jaket hijau army yang tak di kancing, serta ransel yang kini tergeletak di samping kaki anak muda itu.
"Mau nungguin Sasa, sekalian juga mau jengukin Tante. Soalnya kalo pulang dulu, udah pegang kerjaan jadi nggak bisa kemana-mana kalo hari senin gini." Raksa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ini enggak apa-apa jadi ninggalin kerjaan?" Ratih melirik pada Sasa yang kini duduk di sofa mengamati keduanya.
"Enggak kok, buat calon mertua apa sih yang enggak." Kelakar Raksa.
"Sembarangan kamu!" Sasa menyahuti dari tempatnya duduk.
"Kalian sarapan dulu aja, Mama jadi ngantuk habis minum obat. Sa, ajak Raksa makan." Ratih mencoba membenarkan posisinya, namun dengan sigap Raksa berdiri dan menyetel ranjang agar Ratih bisa istirahat dengan nyaman.
Tanpa mereka sadari, sedari tadi seseorang telah mengamati mereka dari kaca pintu dengan berbagai pertanyaan yang berputar di kepalanya.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top