Bagian 12
Ketegangan malam ini terjadi di ruang keluarga, dua pasang paruh baya ikut berkumpul di antara putera dan puteri mereka.
"Saya benar-benar minta maaf atas semua yang terjadi, Om, Tante. Bima nggak bisa lanjutin semua ini. Sebulan ini kami udah coba buat perbaiki hubungan kami kembali. Tapi, dari awal mungkin memang tidak seharusnya begini. Saya menyayangi Kiara, tapi sebagai sahabat. Tidak ada cinta yang saya rasakan selama ini. Saya nggak ingin Kiara terjebak dalam ikatan yang berawal dari keterpaksaan. Kiara berhak bahagia, dan saya nggak bisa memberikannya. Saya harap Kiara menemukan seseorang yang jauh lebih baik dari saya. Sekali lagi, saya minta maaf."
Di hadapan para orang tua, Tara menundukkan kepalanya dalam. Bukan ia tak berusaha, nyatanya dari awal menerima rencana pernikahan sampai sebulan ini ia mencoba memperbaiki semua, tapi semakin ia mencoba, nyatanya hati dan pikirannya semakin membawanya pada sosok Sasa.
Tara sebenarnya tahu jika Kiara mencintainya, tapi dia juga tidak ingin membawa Kiara masuk kembali dalam hidupnya jika hati dan pikirannya saja bukan untuk gadis itu.
"Om jujur sangat kecewa sama sikap kamu, Bima. Seharusnya dari awal kamu menolak bukan malah bertindak sejauh ini. Om hargai keputusan kamu. Memang benar kalau sesuatu yang di awali dengan keterpaksaan pasti tidak akan baik, tapi akan lebih baik jika kamu jujur dari awal. Kami lebih baik menanggung malu daripada Kiara tidak bahagia nantinya. Bagaimana dengan kamu Kiara?" Papa Kiara melihat pada puterinya yang masih setia menunduk sejak keluarga Tara datang ke rumahnya.
Menghirup napas dalam, Kiara kuatkan diri menatap ke arah papanya kemudian melihat pada keluarga Tara.
"Kasih aku kesempatan sekali lagi buat bisa dapetin hati kamu, Mas." Ucapan Kiara sontak membuat seisi ruangan menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa wanita itu masih berharap pada Tara, sementara penolakan sudah terang-terangan Tara utarakan di hadapan semua orang.
"Apa maksud kamu, Kiara?" Mama Kiara memandang dengan raut tak terbaca. Ia sudah cukup menahan emosinya sedari pengakuan Tara, kini puterinya malah semakin menjatuhkan harga diri dengan meminta kesempatan pada pria yang sudah jelas menolaknya.
"Kiara tulus cinta sama Mas Bima, Ma. Bahkan sebelum adanya perjodohan ini. Kiara akan lakuin apa aja biar Mas Bima kasih Kiara kesempatan." Kiara menatap penuh harap agar sang mama mendukungnya.
"Sebaiknya kalian bicara berdua," ucap Hendra pada Tara dan kemudian diangguki oleh puteranya.
"Kita bicara," Tara bangkit menunggu Kiara yang kini membawanya menuju taman belakang di samping kolam renang.
Keduanya duduk pada bangku kayu yang berhadapan, namun tak ada salah satu dari mereka yang memulai pembicaraan.
"Mas," Kiara sedikit ragu, namun ia harus mengungkapkan keinginannya.
"Kenapa kamu malah minta kesempatan, Ra? Ini hanya akan nyakitin kamu." Tara berusaha bersikap tenang.
"Aku udah bilang, aku cinta sama kamu, Mas. Dan aku akan lakuin apa aja biar kamu juga bisa cinta sama aku." Kiara menangkup telapak tangan Tara yang semula berada di atas meja yang menyekat mereka.
"Kamu udah lakuin itu, tapi maaf, Ra. Meski ini bakal nyakitin kamu, tapi aku harus jujur demi kebaikan kita berdua. Sampai sekarang aku nggak ada perasaan cinta sama kamu. Maaf." Tara melepas pelan tangannya dari tangkupan Kiara.
Bulir bening luruh dari mata Kiara, ia tahu Tara akan mengatakan ini. Tapi apa yang salah dengan cintanya? Dia hanya ingin bersama dengan Tara meski hanya dia yang cinta sepihak nantinya.
"Mas, aku mohon." Isakan kecil mulai terdengar.
"Maaf kalau aku udah nyakitin kamu, Ra. Tapi kamu pantas dapetin cinta yang sama tulusnya dengan perasaan kamu, dan itu bukan aku, Ra." Tara telah memikirkan hal ini matang-matang, ia tak lagi bisa membohongi dirinya sendiri.
"Mas Bima ...," Tangisan Kiara semakin menyayat. Gadis itu lupa jika terlalu mencintai seseorang, pun harus siap dengan luka dan kekecewaan yang akan dirasakan.
"Kita bisa memulai dari awal, Ra. Sebagai teman, itu akan lebih baik. Kalaupun tidak bisa, aku nggak akan lagi muncul biar kamu nggak semakin terluka karena aku. Jaga diri kamu baik-baik, Ra." Tara beranjak mendekat pada Kiara yang kini terisak dengan kepala tertunduk, mengusap kepala gadis itu pelan dan berlalu tanpa lagi menengok ke belakang.
Tara tahu jika hal ini sangat menyakiti perasaan Kiara, tapi ia juga tak ingin memberikan sebuah harapan palsu jika hubungan keduanya dipaksakan berlanjut dengan ikatan sakral. Kiara tak akan bahagia.
***
"Setelah ini apa yang mau Mas lakuin?" Risa menemui Tara yang langsung masuk ke kamarnya sepulang dari tempat Kiara.
"Tadi siang Bima dapat surat mutasi, Ma. Bima belum kasih tau Mama sama Papa karena ingin selesaiin semuanya dulu. Mungkin ini jawaban Tuhan buat Bima untuk memulai semua dari awal." Tangan Bima yang tengah mengemasi pakaian terhenti, dan memilih duduk di samping sang mama.
"Kamu udah merasa tenang sekarang?" Risa menatap lembut puteranya. Semenjak kecelakaan itu, Risa merasa jika sang putera sedang memikirkan suatu hal, namun ia tak berusaha mencari tahu. Hanya menunggu Tara siap bercerita padanya, dan sekarang mungkin saatnya Tara mengatakan semua padanya.
"Belum, Ma. Bima lega ketika hubungan Bima dengan Kiara audah jelas sekarang. Tapi Bima belum bisa tenang sampai bisa menemukan dimana Sasa."
"Sasa?" Risa mengernyitkan dahinya. Kenapa Bima malah menyebut nama puteri sang tetangga?
"Bima ... Sasa ... Bima udah nolak perasaan Sasa, Ma. Bima yakin Sasa ngejauh juga karena Bima yang jadi penyebabnya,"Tara berujar dengan nada lesu.
"Jadi?"
"Iya, Ma. Bima baru sadar kalo Bima suka sama Sasa." Bima menjelaskan ketika tau maksud ucapan mamanya.
Pantas saja ketika mereka bertemu, Ratih selalu mengalihkan pembicaraan ketika dia menanyakan keberadaan tempat kerja Sasa, wanita itu hanya menjawab jika Sasa baik-baik saja. Ratih yang kini mengasuh salah satu keponakannya yang yatim menjadi sedikit tertutup sejak kepergian Sasa ke luar kota.
Risa yang kini mengerti situasi yang anaknya hadapi, berdiri seraya menepuk pelan pundak Tara.
"Jangan sedih, Mas. Kalau Sasa emang jodoh kamu, pasti kalian akan ketemu entah gimana caranya. Perbaiki diri kamu, Nak. Jangan sampai hal ini bikin kamu terhambat. Ingat, kalau jodoh nggak akan kemana, sejauh apapun jarak menghalangi, kalau jodoh pasti dipertemukan. Mau sedekat apapun, kalau bukan jodoh juga nggak bisa dipaksakan." Risa tersenyum lembut, mengacak rambut puteranya yang kini semakin dewasa.
Jika Sasa takdir putranya, ia harap kebahagiaan akan melingkupi keduanya. Namun, jika akhirnya bukan dengan Sasa, ia hanya bisa berharap jika keduanya akan bertemu dengan jodoh terbaik mereka kelak. Risa merapal harap dalam hati.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top