Bagian 10
Sebelum lanjut, aku mau absen dulu nih. Yang silent reader mana aja nih? Tunjukkan pesona kalian. 😁😁😁😁
Makasih udah mampir baca. 💟💟💟
.
.
Semilir angin kali ini terasa menyesakkan bagi gadis yang kini duduk bersandar pada jendela kamarnya. Sejak semalam hujan masih saja mengguyur di luar jendela, menyisakan rintik-rintik air pagi ini. Harusnya hari ini dia kembali mengunjungi calon suaminya -ah, masih bisakah dia menyebutnya seperti itu?- namun ia urungkan niat itu sejak Tara tak menunjukkan sikap apapun sejak peristiwa tempo hari.
Kiara berbohong jika hari ini dirinya akan bekerja, nyatanya sejak beberapa hari sebelum hari pernikahannya, Kiara diam-diam telah lebih dulu mengajukan resign untuk fokus mengurus keluarganya. Hal yang sebenarnya sangat berat baginya ketika karirnya tengah berada di titik pencapaian teratasnya, namun demi Tara yang sejak awal menginginkan istri yang selalu ada untuknya kapan pun, Kiara rela melepaskan semua itu. Niatnya memberi kejutan pada Tara harus ia telan kembali seiring batalnya acara pernikahan mereka.
"Ra," panggilan dari sang Mama membuat Kiara menengok ke samping.
Hanya senyum kecil serta tubuh yang sedikit digeser agar mamanya bisa ikut duduk di sampingnya.
"Masih mikirin Bima?" Pertanyaan yang hanya dibalas dengan senyum kecut serta embusan napas pelan Kiara.
"Sebaiknya jangan biarkan berlarut, selesaikan dengan kepala dingin. Mama tahu pasti kamu kecewa, bahkan lebih dari rasa kecewa yang Mama sama Papa rasakan. Apapun nanti, pikirkan semua untuk kebaikan kalian." Sang mama beranjak, ia tahu jika puterinya butuh waktu sendiri untuk memikirkan keputusan terbaik.
"Aku cinta kamu, Mas. Aku diem-diem nunggu kamu selama ini. Aku juga udah ngorbanin karir aku biar bisa sepenuhnya buat kamu, tapi kenapa malah dia yang dapetin hati kamu?" Gumam Kiara memandang lurus ke depan seakan ada Tara di antara rintik hujan yang tersisa.
***
"Mas, Mbak Ara nggak ke sini?" tanya Mika yang kini duduk di samping Tara setelah melepas sepatunya serta meletakkan ransel di sembarang tempat. Remaja itu melihat ke sekeliling mencari keberadaan Kiara yang tak ia jumpai.
Beberapa hari ia melihat Kiara yang masih mau merawat kakaknya, setelah apa yang tempo hari Tara lakukan dengan meninggalkan gadis itu tepat di hari pernikahan mereka. Namun kali ini, gadis itu tak lagi terlihat.
"Enggak." Hanya jawaban singkat Tara yang fokus menatap layar laptop di pangkuannya.
"Kenapa?" Mika terlihat heran.
" Nggak kenapa-kenapa. Kiara bilang dia masuk kerja hari ini." Tara tak sedikit pun mengalihkan pandangannya.
"Kerja? Bukannya....," Mika membeo.
"Bukannya apa?" Suara Tara mengagetkan Mika yang sejenak mengingat sesuatu.
"Eh? Nggak pa-pa, Mas. Mika mau ganti baju dulu, gerah banget." Gadis itu dengan cepat beranjak, menyambar ransel yang semula ia letakkan di sembarang tempat kemudian naik ke lantai dua dimana kamarnya berada.
Mika mengunci pintu di depannya dan melemparkan diri ke atas ranjang, berbaring menatap langit-langit kamarnya. Sebenarnya ia ingin mengatakan sesuatupada kakaknya tadi, namun segera ia urungkan ketika mengingat ia sudah terlanjur berjanji pada Kiara.
Seminggu sebelum rencana pernikahan, Kiara mengatakan padanya jika calon istri kakaknya itu telah resign dari kantor demi bisa mengabdi sepenuhnya pada Tara. Tapi, Kiara juga meminta Mika berjanji untuk tidak memberi tahu siapapun karena gadis itu sendiri yang akan memberitahu Tara. Kiara mengatakan jika hal itu adalah salah satu kejutan pernikahan untuk Tara.
"Ah, Ternyata masalah orang dewasa itu rumit." Mika bangkit, ia putuskan untuk tidak ikut campur dengan permasalahan kakaknya. Adik Tara itu hanya berharap jika kakaknya akan menemukan pendamping yang terbaik kelak, entah dengan siapapun nantinya.
***
Di tempat berbeda, di lobi kantor Sasa tengah menunggu hujan yang kini nampak semakin deras. Hujan sepertinya tak meloloskan keinginannya untuk pulang ke kos tepat waktu. Dengan masih menggenggam posel yang sejak tadi ia gunakan memesan ojek online, kembali ia melihat pada pergelangan jam tangannya, sudah hampir satu jam ia menunggu, tapi tak ada satu pun driver yang menerima orderannya. Untuk memesan taksi, Sasa harus berpikir berkali-kali mengingat ia harus berhemat sampai waktunya gajian nanti.
"Duh, tambah sepi." Sasa melihat ke sekeliling yang kini hanya menyisakan beberapa orang yang sedang menunggu, sama sepertinya.
Langit semakin gelap, mengingat waktu yang lebih dari lewat maghrib. Jika seperti ini terus, bisa-bisa dirinya tidur di kantor hanya karena tidak bisa pulang. Tapi, kalau nekat menggunakan taksi, ia harus semakin perihatin dalam keuangan lagi agar bisa bertahan sampai hari gajian.
"Ck, kapan redanya?" Sasa bergumam sambil menunduk menatap ujung sepatunya bingung harus melakukan apa, mau menerobos hujan pun dia juga tidak berani karena tak membawa payung atau jas hujan. Ingatkan dia agar membawa salah satu dari benda itu besok.
"Nanti kalau sudah habis hujannya." Sebuah suara dari samping membuatnya sedikit terperanjat.
"Ngagetin tau nggak." Sungut Sasa serta berusaha menetralkan ekspresinya.
"Apa susahnya buat ngasih tau sih?" Raksa mengabaikan gerutuan Sasa, meletakkan payung basah yang sejak tadi di pegangnya ke samping kemudian dengan santai duduk di sebelah Sasa.
"Aku udah bilang bisa pulang sendiri." Sasa menggeser sedikit duduknya. Ia tak nyaman duduk sedekat ini dengan Raksa.
"Ck, Keras kepala. Ayo pulang." Raksa bangkit, tanpa permisi Raksa menyandang tas Sasa di pundak kanannya, membuka payung yang semula berada di sampingnya kemudian menarik pelan tangan Sasa agar bangkit mengikutinya.
Sadar dengan apa yang telah Raksa lakukan, Sasa menarik tangannya hingga terlepas dari pegangan Raksa, berhenti dan memandang punggung Raksa yang satu langkah di depannya dengan tatapan tak suka.
"Nggak usah pegang-pegang bisa?" Sasa menekan setiap ucapannya.
Raksa menaikkan sebelah alisnya kemudian berbalik menghadap pada Sasa yang menghentikan langkah.
"Kenapa?"
"Aku bisa jalan sendiri." Sasa kemudian berjalan cepat mendahului Raksa.
Raksa diam-diam tersenyum memperhatikan tingkah Sasa, gadis yang sejak awal bertemu tanpa sadar telah berhasil mencuri perhatiannya.
Langkah Sasa terhenti ketika beberapa tetes air hujan nembasahi dirinya, sialnya ia lupa membawa payung serta menanyakan dimana kendaraan Raksa berada. Tak berapa lama, sebuah genggaman hangat membungkus telapak tangannya mengajaknya melangkah menerobos derasnya hujan. Sasa tak dapat mencerna apa yang terjadi, hingga dirinya kini telah duduk di samping kursi kemudi serta mobil minibus berwarna hitam yang mereka tumpangi kini melesat membelah jalanan yang basah mengantarkan mereka pulang.
"Anggap saja latihan pulang di jemput suami." Setelah sekian lama berada dalam keheningan, celetukan Raksa sukses menyeret kesadaran Sasa kembali dan sontak membuat Sasa menatap horor pria yang kini kembali fokus ke arah jalan.
Raksa gila!!!!! Batin Sasa menjerit.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top