Bagian 1

Aroma tanah basah masih tercium pekat saat seorang gadis terlihat duduk termenung dalam kamarnya dengan menatap kosong sebuah benda usang yang tidak sengaja kembali ia temukan. Sebuah bingkai sederhana dalam pegangannya memperlihatkan dengan jelas potret dua anak kecil perempuan dan satu remaja sedang tersenyum lepas menatap kamera yang membidiknya.

Foto itu pula yang menyimpan salah satu cerita bagaimana dulu dirinya sangat dekat dengan pria itu dan keluarganya. Benda itulah satu-satunya kenangan yang tersisa setelah semalam Sasa memutuskan untuk mengosongkan semua isi galeri ponselnya dari foto seorang Bimantara Putra. Baginya, menyimpan foto-foto pria itu lebih lama hanya akan menyebabkan luka baru bagi Sasa.

Gerimis yang sejak tadi mengguyur bumi seolah mengerti betapa remuk hati Sasa kini. Tidak ada lagi harapan untuk dirinya dan cintanya bersanding dengan pria yang ia harapkan bisa bersamanya selama ini, semenjak ia menerima kartu undangan itu dua minggu yang lalu, sejak saat itu pula semua juga telah berakhir bagi hatinya.

Tidak ada yang ingin Sasa lakukan pagi ini, bahkan hanya sekedar bersiap untuk datang ke acara Tara saja dirinya enggan. Sasa tidak akan sanggup membayangakan apa yang akan hatinya rasakan nanti bila ia datang ke tempat itu.

"Sa, ada yang mau ketemu." Suara panggilan serta kepala Ratih yang nampak menyembul dari balik pintu kamar menyadarkan Sasa dari lamunannya. Dengan tergesa Sasa masukkan benda yang sejak tadi ia pegang kembali dalam kardus usang di kolong ranjang.

"Siapa, Ma?" Sasa bangkit dan berjalan menghampiri sang mama yang masih setia berdiri di depan pintu.

"Si Mika." Mendengar nama bungsu tetangganya disebut, membuat Sasa seketika mengerutkan dahinya. Ada apa anak tetangga sebelahnya itu kemari saat ada acara penting keluarga yang seharusnya gadis itu hadiri? Tidak mau terlalu larut dalam pikirannya, Sasa berjalan menyusul sang mama yang lebih dulu melangkah keluar untuk membuat minuman terlebih dahulu.

"Mika?" Sasa berdiri dengan dahi berkerut ketika mendapati tetangga sebelah rumah yang harusnya ada ditengah acara akad nikah Tara malah berada di rumahnya dengan penampilan yang jauh dari kata baik dengan mata yang memerah dan berkaca-kaca.

"Mbak Sasa!" Gadis belia itu langsung menubruk tubuh Sasa, memeluk erat kemudian badannya terasa bergetar seiring isakan yang mulai terdengar.

"Kenapa? Ayo duduk dulu, biar kamu sedikit tenang." Sasa menuntun Mika yang masih memeluknya untuk duduk, tangannya dengan lembut mengusap punggung Mika agar gadis itu merasa sedikit lebih tenang.

"Mas ... Mas Bima kecelakaan." Mika berkata tanpa sedikitpun merubah posisinya, bahkan dekapannya pada Sasa semakin erat terasa.

Kecelakaan? Bagaimana bisa? Bukankah seharusnya pria itu berada di tempat yang akan digunakan untuk acara pernikahannya sejak semalam? Banyak pertanyaan berkelebat di pikiran Sasa, namun tidak ada satu pun yang terlontar dari bibir gadis itu.

"Anterin Mika ke sana, Mbak. Mama tadi langsung pingsan di rumah, Papa udah ke rumah sakit duluan. Mika enggak tau lagi mesti gimana Mbak, Mika bingung. Keluarga yang lain ikut nyusul Papa," jelas Mika susah payah dengan kepala yang semakin tenggelam di pundak Sasa.

"Ta ... Tapi," Sasa gamang. Pasalnya, ia sendiri harus bergegas pergi ke stasiun, beberapa jam adalah jadwal keretanya berangkat.

"Loh, kenapa ini?" Ratih yang semula membawa nampan minuman dari arah dapur terkejut mendapati Mika yang sudah dalam keadaan menangis di pelukan putrinya.

"Kata Mika barusan, Mas Tara kecelakaan, Ma." lirih suara Sasa menjawab pertanyaan sang mama.

"Apa? Bener itu Mika? Bagaimana bisa? Terus gimana keadaannya sekarang?" Ratih terburu-buru meletakkan nampan di atas meja kemudian bergegas mendekat pada Mika dan Sasa yang kini telah duduk masih saling memeluk, dengan Mika mulai terlihat tenang.

"Mika juga enggak tau, Tante. Semalam itu Mas Bima udah berangkat ke sana, tapi nggak ada yang tahu kalau tadi subuh Mas Bima mendadak pergi. Dan ... dan Papa tadi pas mau berangkat malah dapet telepon dari polisi yang bilang kalau Mas Bima kecelakaan," jelas Mika dibarengi dengan isakan kecil yang kembali terdengar.

"Sebaiknya kamu minum dulu, Mika." Setelah Mika selesai minum dan terlihat kembali tenang, Ratih melanjutkan ucapannya, "Ayo, Tante antar Mika pulang. Kita lihat kondisi Mama Mika dulu di rumah, setelah itu biar Sasa antar Mika ke rumah sakit nanti."

Setelah melihat anggukan Mika, Ratih menuntun gadis itu keluar untuk menuju kediaman Mika yang berada di sebelah rumah mereka diikuti Sasa yang diam-diam merasa semakin gusar.

***

"Bagaimana keadaan Mas Bima, Pa?" Mika yang baru tiba di rumah sakit langsung menghampiri sang papa yang duduk di kursi tunggu depan ruang perawatan.

Tadi begitu dirinya sadar, Risa meminta Mika untuk segera pergi ke rumah sakit memastikan keadaan Bima. Entah apa yang ada di pikiran Bima sampai pergi meninggalkan tempat acara sebelum akad nikah terjadi. Yang pasti rasa khawatir Mika lebih dominan sekarang, biarlah nanti kakaknya yang menjelaskan sendiri apa alasannya sampai berbuat sejauh ini.

"Bima belum sadar. Dokter bilang benturan di kepalanya cukup keras, masih perlu observasi lebih lanjut. Doakan saja kakakmu tidak kenapa-kenapa." Papa Bima --Hendra-- menghela napas berat. Ia tak yakin dengan luka seperti itu, Bima bisa dikatakan baik-baik saja.

"Permisi Pak, keluarga Bapak Bimantara?" Seorang petugas pria berseragam cokelat menghampiri mereka.

"Iya, ada apa Pak?" Suara Mika menyahut.

"Saya menemukan ini di genggaman Pak Bima sebelum beliau tidak sadarkan diri." Pria itu menyerahkan sebuah benda yang tampak kumal pada Mika.

"Terima kasih, Pak."

Sesaat setelah petugas itu pergi, Mika nampak mengernyitkan dahi melihat benda yang kini berada di tangannya. Sebuah kertas yang terdapat sedikit bercak darah pada beberapa bagian. Namun yang membuat Mika membelalakkan mata adalah saat netranya menangkap sebuah nama dalam kertas itu. Ada apa sebenarnya?

Melihat Mika yang terlarut dalam pikirannya, membuat seseorang yang sejak tadi berdiri gelisah memberanikan diri mendekat pada ayah dan anak yang berada tak jauh darinya. Sebenarnya ia tak ingin berada disini, namun sang mama-lahyang meminta dia mengantar Mika ke tempat ini.

"Om Hendra ... Mika, Semoga Mas Tara segera membaik. Sasa pamit dulu." Tanpa menunggu jawaban keduanya, Sasa beranjak berusaha segera menjauh, tak ingin hatinya goyah untuk tetap tinggal dan melupakan mimpinya. Setidaknya jika bukan cinta Tara, ia berhasil menggapai impiannya menjadi seseorang yang bisa membuat orangtuanya bangga.

"Mbak Sasa," panggilan Mika membuat Sasa menghentikan langkahnya, namun tak membuatnya membalikkan badan ke arah gadis itu.

"Ini punya Mbak Sasa." Mika yang telah berdiri tepat di samping Sasa mengulurkan benda yang dipegangnya sedari tadi.

Sasa bergeming, tak menerima benda yang diulurkan Mika padanya. Pertanyaan kini kembali muncul, "Benda itu, kenapa ada pada Mas Tara?"

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top