7
Hara tampak bosan menunggu kedatangan gurunya yang terbilang terlambat. Sudah tiga menit lewat, tumben sekali Bu Sonya belum menampakkan batang hidungnya. Hingga membuat Hara jengah. Ia bukan anak penggila belajar, tetapi lebih baik melewati ketegangan menghadapi pengajar yang killer dari pada mendengar kebisingan murid-murid di kelas.
Bisa dipastikan, mereka asik bergosip menyelami masalah orang dan berlagak menjadi hakim yang seakan paling benar. Hara tidak suka itu.
Selang tujuh menit kemudian, wanita bermuka menor dengan gincu semerah darah di bibirnya melenggang masuk. Suara ketukan sepatu menginterupsi seisi kelas. Mendadak senyap, keriuhan tak lagi terdengar melainkan atensi siswa-siswi beralih ke depan kelas.
“Pagi, semua. Maaf, Ibu sedikit terlambat. Ada urusan sebentar di kantor,” sapa Bu Sonya dan langsung to the point menyuruh murid-murid membuka buku paket. “Oke, kita lanjutkan pelajaran minggu kemarin. Kalian buka halaman dua belas.”
Semua anak melakukan sesuai perintah gurunya, kecuali Hara. Dengan gusar, ia mengobrak-abrik isi tas, kolong meja. Hingga gerak-gerik Hara mengundang perhatian seorang yang duduk di sampingnya.
“Yang tidak bawa buku maju ke depan.”
Jantung Hara seketika berhenti. Sekarang ia gugup setengah mati. Deru napasnya semakin cepat bersama bulir keringat yang mendadak bermunculan di keningnya.
Siswi itu jadi panas dingin kala menatap ke arah Bu Sonya yang menyisir pandangan pada murid-muridnya. Ia tahu guru Geografi tersebut tidak akan mungkin memberikan toleransi. Bahkan semua anak pun paham, bagaimana tegasnya Bu Sonya kalau menemukan pelanggaran.
Helaan napas keluar dari celah bibir Hara. Dengan berat hati ia memutuskan untuk maju ke
depan. Meski, sebenarnya gadis itu lumayan was-was menerima hukuman.
Dengan meremas jemari tangan, Hara baru akan bangkit. Namun, tersentak saat sebuah buku berukuran besar nan tebal jatuh di pangkuannya. Membuat Hara mencerna situasi yang ada. Belum sempat ia berucap, siswa barusan lebih dulu berderap ke depan.
“Baik kalau ti—“
“Saya tidak bawa buku, Bu.”
“Kamu lagi,” tegur Bu Sonya dengan muka keruh. Wanita itu sudah hapal dengan Gazy karena beberapa pelanggaran yang pernah cowok tersebut lakukan. “Berdiri di depan.”
“Iya, Bu.”
Gazy mengangguk santai seolah itu bukanlah kejadian yang besar. Dia harus berdiri di depan kelas sampai pelajaran selesai. Beda halnya dengan Hara yang masih melongo karena aksi sok jagoan Gazy padanya. Mau tak mau, ia menerima buku paket tersebut. Kalau sudah begini Hara merasa tak enak hati.
Ia tak menyangka sama sekali kalau Gazy akan melakukan hal tidak terduga barusan. Berkat anak itu, ia jadi terbebas dari hukuman. Namun, rumor jelek tentang Gazy semakin merebak di mata siswa-siswi yang lain sekarang.
^0^
“Hei. Tunggu.”
“Iya?” Alula menoleh ketika Hara memanggilnya. Kini gadis itu berhenti dan masih menunggu kelanjutan.
“Kamu … tadi.”
Hara menggelang sesaat. Berusahan menetralisir kegagapan yang membuatnya susah bicara. Buru-buru Hara menyelesaikan kalimat.
“Ada yang mau aku tanyakan.”
“Boleh. Tapi kita makan dulu, ayo ke kantin.”
“Hee, tunggu. Jangan menarikku seenaknya,” pekik Hara kencang, lantara sudah diseret tanpa permisi oleh Alula.
Ia melupakan hal penting, kalau siswi ini lumayan susah ditebak. Namun, pada akhirnya Hara pasrah saja ketika dirinya dibawa menyusuri koridor kelas, dan bermuara di kantin sekolah.
“Nah, ayo dimakan. Aku udah laper banget. Setelah itu baru bicara.” Alula mengomando sekali tarikan napas dengan kalimat lumayan panjang.
Kening Hara makin mengerut saat melihat Alula menyantap makan siangnya. Dia benar-benar seperti orang tidak makan tiga hari. Lihatlah, bagaimana siswi itu memakan nasi ayam dengan sendokan penuh hingga menggembungkan mulut mungilnya. Layaknya orang kesetanan, dia makan tanpa jeda kecuali meneguk minum.
Sementara Hara hanya memesan segelas minuman dingin. Padahal Alula sudah menawarinya untuk membeli makanan apa pun, dan siap mentraktir Hara. Sayang, ia tidak tertarik sama sekali. Ada hal yang lebih membuat dirinya kepo. Selain karena tidak lapar, ia juga sedang mengirit, demi manambah celengan kodok di rumahnya. Menjalani perubahan hidup dengan kekurangan membuat Hara harus beradaptasi.
“Kenyang.”
Hara mendelikkan kedua bola matanya, mengerjap beberapa kali saat Alula sendawa lumayan keras.
“Kamu mau nanya apa? Oiya aku lupa janjiku kemarin. Maaf ya, akan kuceritakan sekarang.”
“Ah … tentang itu, bisa sekalian kamu ceritakan padaku,” ucap Hara ragu, “kamu tau tadi yang dia lakukan padaku?”
Alula mengingat deretan kejadian sebelumnya. Iris gelapnya bergarak-gerak dengan bibir mengerucut.
“Yang mana?”
Percuma. Sepertinya jalan terbaik adalah terus terang karena Alula begitu payah untuk menjadi orang yang peka. Dia tidak paham maksud Hara.
“Gazy yang dihukum.”
“Aha, aku ingat. Dia memang suka melakukannya,” jawabnya sambil terkekah sendiri.
“Aku mau tau di mana dia sekarang. Bagaimana pun, aku ingin berterima kasih padanya.”
“Dia udah pulang. Setelah bel istirahat berbunyi, ia langsung membolos kabur ke luar sekolah.”
“Apa!?” Hara terperanjat mendengar penuturan Alula. Sungguh preman sekolah! Itulah pikiran yang ada di kepala Hara saat ini. “Ke mana dia pergi?”
Gelengan kepala Alula, menandakan kalau dia pun tidak tahu. Kini Hara diam. Bingung mau berkata apa lagi, sampai suara Alula menarik indranya untuk mendengarkan cewek itu.
“Kamu jangan khawatir tentang hukuman tadi. Gazy memang nggak pernah bawa buku-buku miliknya. Semua dia taruh di laci meja. Bahkan, dia sendiri pun nggak minat buat belajar.”
“Kenapa?” tanya Hara heran. “Kalo malas belajar, buat apa dia pergi ke sekolah?”
“Kamu. Karna kamu.”
“Hah!” Hara melongo, “aku nggak salah denger?”
“Nggak. Dia sendiri yang bilang, tapi aku nggak tau apa alasannya,” tutur Alula seraya menghela napas. “Makanya, dia sering ngasih kamu pocky dan minta satu hal kan. Aku pikir nggak ada salahnya nerima dia buat jadi teman.”
Yang benar saja. Apa semudah itu percaya pada orang lain. Terlebih cowok bernama Gazy amat
mencurigakan. Tidak ada bedanya seperti anak nakal yang sering Hara liat di gang samping sekolah. Kumpulan siswa-siswa pembuat onar.
Tunggu … bukankah sekarang juga ia tengah berbincang dengan siswi aneh? Hara jadi berpikir dan memutar otak. Takdir benar-benar membawanya untuk masuk dalam kehidupan orang lain.
“Apa kalian udah kenal lama?”
“Belum. Baru beberapa minggu.”
“Kenapa kamu begitu percaya padanya?”
“Entahlah,” ujarnya seraya mengedikkan bahu.
Dia sendiri aja nggak punya alasan. Dasar cewek polos. Hara jadi khawatir sendiri memandangi Alula.
“Tapi kupikir dia bener-bener baik. Dia juga satu-satunya anak yang mau jadi temanku. Apa kamu mau berteman denganku juga?”
Hara menggeleng menanggapi Alula. Kepalanya hanya refleks saja. Ia terbiasa menolak sebuah hubungan, dan tak mau berakhir sakit lagi.
“Oke, jangan-buru-buru. Tapi kamu perlu pertimbangin lagi ajakan Gazy. Kupikir dia punya alasan tersendiri, dan aku akan menceritakan satu kebenaran. Rahasia besar dari rumor yang beredar di sekolah kita, tentang Gazy.”
Menganggukkan kepala. Hara menyimak dengan saksama. Kedua tangannya terlipat di atas meja, begitu rapi. Seolah ia tengah memperhatikan omongan Alula seperti gurunya yang mengajar. Sudah tabiat Hara memang begitu.
Gazy memang cowok yang terkenal karena gosip di belakangnya. Setiap anak di angkatan tahun ini mengomentari sosok tersebut. Tidak ada yang tahu pasti dari mana rumor jelek tentang masa lalu lelaki itu begitu melejit. Bahkan di kalangan murid-murid tiap harinya. Sampai-sampai membuat Hara bosan mendengar berita yang sama setiap menapakkan kaki di sekolah.
Namun, seketika angin berubah haluan menerpa Hara begitu kencang. Ia tidak mau percaya atau berlebihan. Tetapi penuturan Alula sedikit menggoyang kesadarannya untuk berhenti berpikiran buruk terhadap Gazy.
Cowok itu bukanlah seorang yang anarkis. Walau benar, terkadang suka berkelahi. Tetapi, tidak lain adalah demi membela seorang gadis. Ya, Hara pikir ini pastilah pacarnya. Sampai lelaki itu rela mendapatkan skorsing seminggu lebih. Lantaran telah mengantarkan lawannya ke rumah sakit, akibat patah tulang.
Siswa itu terlibat perkelahian sengit sampai berakhir buruk. Malah cerita tersebut terkubur dibalik fitnah lain yang menutupi fakta yang sesungguhnya.
Siapa yang tidak ngeri ketika mendengar itu. Seukuran anak SMP telah berbuat nekad, bahkan menjadi momok menakutkan bagi orang di sekitarnya. Tidak heran bahwa ia mendapat cap merah di sekolah. Lantaran fakta tersebut.
Orang lain memang suka menjadikan bahan perbincangan ketika menemui kejelekan di diri seorang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top