Bab 6
Alana merebahkan tubuhnya, membentuk bintang besar di atas kasur empuk nan luas. Sementara itu Angkasa sejenak menghilangkan penat di atas sofa, menjulurkan kedua kakinya yang terasa pegal-pegal.
AC sudah menyala, namun keringat sisa lari pagi tadi masih mengalir di pelipis keduanya. Alana tak beranjak sedikit pun begitu melihat Angkasa menghabiskan penuh segelas air galon dan duduk di sampingnya.
Bau keringat Angkasa, asam, Alana refleks menutup hidungnya itu. Padahal dirinya sendiri pun belum mandi dan pastinya berbau sama dengan Angkasa setelah lari 3 putaran mengelilingi apartemen besar ini.
"Bau!" Karena sudah tak tahan dengan bau yang menyengat, Alana mendorong keras tubuh Angkasa hingga terjerembap ke lantai. Setelah melihat itu air mukanya yang asam seketika langsung dihiasi kebahagiaan.
"Adek laknat!" Hanya umpatan itulah yang membalas perlakuan Alana. Laki-laki itu tak ada niatan membalas, mungkin karena masih capai. Alana pun menghela nafas lega.
Tok... tok... tok....
Alana dan Angkasa saling tatap, isyarat mata mereka sama-sama bertanya siapa-yang-ngetok-pintu namun kedua mulutnya tak ada yang menjawab pertanyaan itu.
Cukup lama berpikir akan membukakan atau tidak, akhirnya kedua kaki Angkasa memutuskan untuk melangkah. Alana hanya bisa menunggu di tepi ranjang dengan perasaan takut.
Ceklek
Pintu perlahan terbuka, menampilkan dua orang bertubuh besar dab berpakaian serba hitam. Sepertinya orang suruhan karena salah satu dari mereka membawa secarcik kertas di tangannya.
"Cari siapa?" tanya Angkasa, tangan kanannya masih menempel di kenop pintu, waspada jikalau mereka orang jahat jadi bisa langsung menutup pintu dengan cepat.
Alana yang merasa penasaran, bangkit dari duduknya. Berjalan ke samping Angkasa, ralat setelah melihat dua orang di luar sana ia mundur beberapa langkah dan berdiri di belakang kakaknya.
Pria yang membawa secarcik kertas itu menyahut, "Saya mencari Angkasa dan Alana, apa benar kalian?"
Kakak beradik itu bersamaan nengangguk, tangan kiri Angkasa menggenggam tangan Alana. Dan kini tangan kanan laki-laki itu sudah bersiap-siap ingin membanting pintu dan menguncinya dengan rapat.
Alana merasakan degup jantungnya yang mencepat, mata indahnya kini mulai berkaca-kaca saking takutnya. Tapi genggaman Angkasa memberi sedikit ketenangan bagi dirinya. Menyadarkan Alana bahwa ia bersama Angkasa, jadi tidak boleh takut.
"Ikut saya," Masih pria itu yang berbicara. Pria satunya lagi yang sudah melihat perubahan mimik wajah Alana lantas mulai mendekat.
"Enggak!" berontak Alana begitu tangannya ditarik paksa dengan kencang.
Angkasa berusaha mengeluarkan pria tersebut agar ia bisa membanting pintu dan aman di dalam, namun tenaganya tak kuat. Adiknya kini diseret paksa oleh pria itu dan berjalan keluar.
"Akan saya laporkan kalian ke polisi!" ancam Angkasa yang masih berdiri di ambang pintu. Kedua pria itu nampak tersenyum setelah mendengar ancaman Angkasa.
"Kami polisinya, Nak," Angkasa dan Alana sama-sama tak bisa menutupi keterkejutannya. Bahkan saat ini, rasanya setengah nyawa Alana melayang, wajah gadis itu semakin pucat pasi.
Angkasa lelah dengan semua ini, kenapa cobaan datang bertubi-tubi? Apa Tuhan tak mengizinkannya hidup sehari saja tanpa masalah?
"Sebelumnya siapa yang melaporkan kita?" tanya Angkasa, ia pasrah dan mulai berjalan keluar.
Polisi tak menjawab, pendengarannya mendadak tuli layaknya teman yang dipintai contekan pada saat ulangan. Dan itu membuat Angkasa geram, wajahnya merah padam.
Angkasa dan Alana mengikuti kedua polisi itu masuk ke mobil. Bukan mobil polisi yang berbunyi seperti ambulance pada umumnya, namun mobil sedan hitam biasa. Dan itu cukup membuat Angkasa sedikit curiga.
"Apa kalian berpura-pura menjadi polisi?" tanya Angkasa memecah keheningan. Alana menoleh, mendelik ke arah kakaknya itu. Yang ia takut, salah satu polisi akan menembakkan pistolnya karena pertanyaan konyol yang dilontarkan Angkasa tadi.
"Diam berarti iya," Angkasa tersenyum miring. Laki-laki itu mendekatkan mulutnya ke telinga Alana, membisik sesuatu, namun dengan volume standar, "Mereka bisu, Al."
Alana refleks memukul punggung tangan Angkasa yang bisa-bisanya bersikap bodoh sekarang. Matanya mengawasi mulut Angkasa yang sewaktu-waktu akan berucap lagi, nanti bisa langsung ia sumpel dengan ponselnya.
Mulut Angkasa setengah terbuka, Alana memasukkan ponselnya yang sialnya tidak muat. Alhasil membuat tawa Angkasa pecah. Tawa Angkasa otomatis memicu keheranan kedua polisi yang duduk di depan itu dan menoleh tanpa dikomando.
"Bisa diam?!" bentak yang menyopir.
Angkasa menggeleng sebagai jawaban, tubuh Alana semakin melemas mendengar bentakan itu dan semakin gatal ingin mencakar kakaknya.
"Ang, gak usah nyari mati. Mereka punya pistol, kita gak punya apa-apa," ucap Alana saat polisi itu sudah kembali menghadap depan.
Baru mendengar adiknya berucap Angkasa diam. Memalingkan wajahnya ke samping, menatap luar jendela. Sudah sampai, mobil berhenti tepat di depan kantor polisi. Kini Angkasa menelan salivanya, lalu menoleh pada Alana.
"Jangan takut, ada abang," Itulah kalimat yang menguatkan mental Alana untuk masuk.
***
Keringat Alana bercucur deras, semetara yang bisa Angkasa lakukan hanyalah menggenggam tangan adiknya yang ketakutan itu. Sebenarnya, kalau tidak salah ngapain takut? Benar, kan?
"Ibu kalian, mencari keberadaan kalian berdua," beritahu polisi itu dengan tegas.
Angkasa tersenyum miris.
"Sekarang pulanglah, dia sangat mengkhawatirkanmu," Polisi berwajah ganas itu mendadak bernada lembut. Seruannya menamparkan hati Angkasa.
Alana menahan tangisnya, ia cengkram kuat baju Angkasa di sebelahnya. Angkasa yang menyadari itu menoleh dan meminta jawaban adiknya.
"Pulang," ucap Alana seraya mengangguk mantap. Lalu menyeka sebulir air matanya yang sufah turun. Sebelum lebih banyak dan semakin deras, dengan kepekaaanya, Angkasa bangkit.
"Terima kasih, Pak. Kami akan pulang," pamit Angkasa dengan sopan. Lalu menyalami tangan polisi itu dan diikuti gerakan yang sama oleh Alana.
Kakak beradik itu segera keluar. Angkasa terus menggenggam Alana, bahkan ketika Alana ingin menggaruk tangan kirinya yang gatal pun tak diizinkan oleh laki-laki itu. Refleks Alana mendengus, keluar sifat possesiv kakaknya.
"Lepas, Ang!" pinta Alana melirik sekilas tangannya.
Angkasa menggeleng sebagai jawaban. Setelah tepat di tepi jalan, tangan kanan Angkasa melambai, menyetop angkutan umum yang kebetulan lewat.
"Naik!" suruh Angkasa terdengar seperti bentakan di telinga Alana. Namun Alana sudah biasa.
"Ini mau ke mana? Angkot jurusan apa, Ang?" tanya Alana, jujur ini kali pertama ia merasakan yang namanya naik angkutan umum. Biasanya jika berpergian ia diantar Sarah--ibunya, Angkasa namun harus dibujuk dulu atau taxi online.
Angkasa tak menggubris, laki-laki itu sibuk mengamati jalanan Ibu Kota yang mulai padat. Waktunya makan siang. Lalu ia mendecak kesal dan menoleh pada Alana.
"Apa?" Angkasa berbalik tanya, mungkin tadi tak begitu mendengar jelas pertanyaan adiknya.
"Mau ke mana?" Alana menopang dagunya, setelah mengucapkan itu ia mengerucutkan bibirnya.
"Pulang," jawab laki-laki itu. Ambigu, antara pulang ke apartemen atau pulang ke rumah.
"Ke?" tanya Alana lagi, berharap Angkasa menjawab 'rumah' namun air wajah kakaknya yang asam itu membuatnya mendesah.
"Apartemen," Angkasa menjeda, "habis itu ke rumah." Diiringi lekukan yang membuat Alana terpaku. Sebuah senyuman tulus seorang Angkasa yang dijamin membuat semua orang yang melihatnya akan sport jantung. Tak terkecuali dengan Alana.
Alana tertegun, ia menelan air ludahnya. Kakaknya ini memang tampan, tapi sayang tak bisa ia miliki. Ada sebuah dinding pembatas antara keduanya, apa pun tak bisa menembus, sekali pun itu cinta.
"Bang, bang kiri!" teriak Angkasa yang spontan mengagetkan Alana yang sedang melamun memikirkan perasaannya.
"Berhenti mikirin gue ya? Sayang," Demi apa pun si Angkasa ada-ada saja, ia berbisik dan langsung membuat darah Alana berdesir, mengumpul menjadi satu di kedua pipinya.
***
"Ang, Lo gak takut?" tanya Alana ragu. Ia membetulkan ransel punggungnya yang berat itu, lalu menatap rumah besar nan luas di hadapannya. Rumah yang dulu sempat menciptakan keharmonisan keluarga kecil pada umumnya. Dan pada akhirnya runtuh saat ini.
"Manusia-manusia kuat itu kita... jiwa-jiwa yang kuat itu kita...." Angkasa malah bernyanyi untuk menjawab pertanyaan Alana. Ingin rasanya Alana menyadarkan bahwa ini bukan waktunya bercanda.
Belum sempat kedua manusia kuat itu masuk, pintu tiba-tiba terbuka. Menampilkan wanita tua renta yang berjalan menggunakan tongkat di tangannya. Rambutnya nyaris seluruhnya berwarna putih, tinggal beberapa helai saja. Matanya menyorot dengan teduh.
"Ca-cari siapa, Nak?" tanyanya seraya mendekat. Ucapannya sedikit terbata, yang membuat Alana iba.
"Pemilik rumah ini, Sarah Paramita," sahut Angkasa.
"Dia sudah pi-pindah, uhuk! Rumah ini dijual dan dibeli oleh sa-saya, uhuk!" Nenek itu nampak sakit-sakitan.
Baru Angkasa ingin bertanya lagi lebih detail, namun gelengan Alana mengiterupsinya. Alana berpikir, jika kakaknya terus bertanya dan nenek itu terus menjawab, akan memperparah kondisi nenek itu. Batuk itu berat, menderita.
Kemudian Alana menarik Angkasa untuk pergi keluar. Meraka berhenti, saling tatap satu sama lain. Ingin rasanya Angkasa berteriak sekencang-kencangnya akan takdirnya yang seperti ini. Laki-laki itu frustasi dan menendang batu-batu kerikil di depan kakinya.
"Manusia kuat, pasti sabar. So, Lo kuat atau sok kuat, Ang?" ledek Alana.
"Gue kuat, gue manusia kuat!" sahut Angkasa sedikit menaikkan volume suaranya tak terima atas ledekkan Alana.
Alana mengacungkan jempolnya seraya memamerkan gigi-gigi putihnya, Angkasa pun membalas dengan cubitan gemas di hidung gadis itu. Pemandangan yang menggemaskan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top