Bab 5

Alana mengedipkan matanya berulang kali, belek masih menutupi sebagian penglihatannya. Pandangannya masih kabur, alhasil gadis itu memejamkan kembali matanya. Berusaha mengumpulkan semua kesadarannya dengan penuh.

Setelah dirasa sudah sadar sepenuhnya, gadis itu beranjak dari duduknya. Merengganggkan sejenak otot-otot tangan dan punggungnya. Lalu, matanya mengedar, sedikit memicing mencari keberadaan Angkasa.

Angkasa masih terlelap di lantai, tanpa alas. Alana refleks menoleh pada tempatnya tadi tidur, cukup jauh dari situ, ternyata alas yang ia gunakan adalah sebuah jaket hitam milik Angkasa.

Ternyata Angkasa memiliki jiwa rela berkorban. Di balik semua sifatnya yang keras, hatinya lembut, percayalah. Alana berjalan mendekati kakakknya itu, sebenarnya tak tega membangunkan, namun waktu sudah menunjukkan pukul 05.30. Tak lama mungkin, murid-murid akan berdatangan.

"Ang!" Semua rasa tega, tidak enak, dibuang jauh-jauh oleh Alana. Gadis itu mengguncang kencang tubuh Angkasa dan berteriak tepat di samping telinganya.

Sepulas apa pun manusia tertidur, jika dibangunkanya seperti itu maka akan bangun juga. Tak terkecuali dengan Angkasa, laki-laki yang sednag menjelajahi mimpinya itu seketika mengerjap kaget. Matanya mendelik ke arah Alana denga sedikit kebingungan. Maklum masih 50% kesadarannya.

"Apa-apaan sih Lo?!" bentak Angkasa naik pitam. Sorot matanya berapi-api, menganggap apa yang dilakukan Alana adalah hal tak berperikemanusiaan.

Sementara itu Alana justru berusaha membuat kakaknya itu agar beranjak. Namun bokong Angkasa sepertinya ditempeli lem perekat gaib oleh penghuni kelas saat laki-laki itu tertidur. Nyatanya itu hanyalah pemikiran tak masuk akal seorang Alana yang sedang cemas.

"Ayo ke loker, ganti baju, sekolah," rengek Alana sambil terus menarik-narik lengan Angkasa.

Angkasa mendengus kesal dan menepis kasar tangan adiknya, lalu bangkit tanpa mengucap sepatah kata apa pun. Dia kembali, menjadi seorang Angkasa yang keras. Alana hanya bisa mengunci mulut, dan mengikuti Angkasa dari belakang.

Jalan Angkasa cepat, Alana saja sampai kewalahan mengejarnya. Apalagi kura-kura? Oke, kura-kura tak mungkin melakukan hal bodoh tak bermanfaat seperti itu. Yang jelas, mustahil kura-kura mengikuti Angkasa, bahkan nyamuk pun sepertinya tak berani mendekati laki-laki itu.

"Gue ganti di kelas, Lo di toilet!" teriak Angkasa walaupun jaraknya dan Alana hanya beberapa langkah saja.

"Ada cctv, bego!" sahut Alana tanpa mengalihkan sedikit pun dari buku-buku yang tengah dipersiapkannya.

Eh, kok tumben gak ada sesuatu di loker gue? batin Alana bertanya-tanya.

Untung saja sekolah mereka ada lokernya per murid, jika tidak? Tak bisa dibayangkan betapa ribetnya Angkasa dan Alana yang kini tak memiliki tempat tinggal ke sana ke mari membawa buku dan peralatan sekolah lainnya.

Angkasa tak peduli omongan Alana, yang jelas ia akan mengganti baju di kelas. Titik! Tidak pakai koma. Setelah selesai membereskan pelajaran hari ini, Angkasa bergegas ke kelas.

Namun suara Alana menginterupsinya, "Ang, ada PR Fisika, gue belum lagi." Dengan wajahnya yang panik.

Angkasa yang mendengar itu mendecih pelan, apa waktu dari sunrise sampai sunset tidak cukup? Apa perlu juga mengambil waktu untuk beristirahat? Sungguh keterlaluan para guru di SMA ini, pikirnya.

"Kalau gak ngerjain, dihu-" Alana tak melanjutkan ucapannya, matanya tertuju lurus pada seorang siswi yang gelagatnya sedang mencari sesuatu. Sumpah, pagi banget datengnya. Masih sekitar satu jam setengah lagi bel baru berbunyi, memang anak rajin dan niat.

Siswa tampan nan jangkung itu menatap Angkasa dan Alana secara bergantian. Mulutnya tak juga menjelaskan apa yang sedang dicarinya, dan itu membuat Alana gemas sendiri.

"Lo cari apa? Ada yang bisa kita bantu?" tanya Alana.

Mulut siswa ber-name tag Bagaskara itu setengah menganga, namun si Angkasa tanpa sopannya memotong dengan datarnya. 

"Kita? Lo aja kali gue enggak," Nyatanya omongannya hanya tertuju pada Alana yang kini justru kesal sendiri terhadap kakaknya itu.

Lagi-lagi ucapan Bagas tertahan oleh pamitnya Angkasa, "Nanti temuin gue di kantin, Al!" Seraya berbalik dan berlari menuju kelas, si keras kepala yang tidak bisa diberitahu. Sudah tahu ada cctv, tapi masih saja nekat.

Kini seluruh pandangan Alana tertuju pada Bagas yang berdiri tepat di hadapannya. Keduanya hanya bisa diam, tak ada yang bersedia memulai pembicaraan.

"Hmm...." Alana berdehem cukup keras, berhasil membuat Bagas yang semula sempat tertunduk kini menengadah dan raut wajahnya meminta penjelasan. Seharusnya Alana yang seperti itu.

"Lo nyari apa?" tanya Alana.

Bagas masih tak membuka mulutnya, sedang berpikir sesuatu. Laki-laki itu memperdalam tatapannya terhadap Alana yang membuat gadis itu menelan salivanya.

"Apa?" Alana mengulang pertanyaannya. Ia mengalihkan pandangan dengan berpura-pura mengecek buku-buku di dekapannya.
Sambil menunggu Bagas menjawab, Alana masih menghindari tatapan laki-laki itu.

Tiba-tiba saja, sebatang cokelat yang dililit pita softpink ada begitu saja di atas buku-buku Alana. Siapa lagi kalau bukan Bagas yang menaruh. Alana jelas kebingungan, tangannya meraih cokelat itu dan mengacungkannya di udara.

"Buat Lo, gue si mister B. Pengagum rahasia Lo selama ini," Bagas menjawab semua pertanyaan yang bersarang di benak Alana sebulan terakhir ini.

Alana menurunkan cokelat itu, ia bingung ingin berkata apa untuk menyahut pernyataan Bagas barusan. Di saat Alana sedang dilanda kebingungan, tiba-tiba saja Angkasa muncul dan menarik begitu saja lengan Alana.

Alana menjerit kesakitan, "Aww!" Matanya memohon agar Angkasa melepaskan genggamannya yang kasar seperti ini. Tapi, entah apa tujuannya Angkasa tetap mencekal Alana, bahkan tak sedikit pun melonggarkan.

"Lepas!" bentak Bagas.

Hening beberapa detik, semuanya terpaku akan bentakan Bagas. Angkasa tersenyum ke arah Bagas, senyuman yang lebih tepat disebut seringaian. Sementara Alana, gadis itu sedang merasakan debaran dadanya yang tak karuan. Takut Angkasa berbuat macam-macam.

"Gue peringatin ke Lo, jangan deketin adek gue lagi, ok?!" Angkasa melepaskan sejenak cekalannya dari lengan Alana, "kalau mau hidup Lo baik-baik aja, bro." lanjutnya.

Alana tak mempedulikan tangannya yang kini sudah terlepas namun memerah. Yang ia perhatikan kini ekspresi wajah dua orang laki-laki di hadapannya.

"Teruntuk Angkasa yang terhormat, kakak dari Alana. Apa hak anda mengancam seperti itu? Anda bukan Tuhan! Hidup saya akan baik-baik saja atau tidak itu semua di tangan Tuhan, so jangan mengancam! Bray."

Waktu seakan berhenti setelah Bagas berucap seperti itu. Alana merasakan tubuhnya yang melemas, disandarkannya tubuh itu di dinding di belakangnya. Ucapan Bagas tadi adalah pancingan singa jantan yang siap mengamuk.

"Gue kakaknya dia! Gue berhak jaga dia dari cowok semacem Lo yang mau nyakitin dia! Puas Lo!" Kini, Angkasa maju selengkah mendekati Bagas.

"Dan Lo, gue tahu Lo siapa! Lo anak pelakor, anak tante Mitha!" lanjut Angkasa lagi. Matanya nyalang, dikepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

Alana tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia memutuskan untuk terduduk di lantai dan menelungkupkan wajahnya di antara lutut-lutut kakinya. Mengeluarkan semua tangisan yang memaksa keluar sejak tadi.

Bugh!

Hanya satu, satu saja sudah cukup. Tapi, rasakanlah sensasinya. Langsung membuat darah mengalir di sudut bibir Bagas. Bagas tak ada niatan membalas dengan pukulan juga, cukup tatapan membunuh miliknya saja yang membalas tatapan nyalang Angkasa.

Hiks...

"Kak, gue mohon berhenti. Bagas, gue mohon pergi. Tuhan, Alana mohon kuatkan Alana," lirih Alana seraya menatap Angkasa dan Bagas satu per satu, sebelum di kalimat terakhirnya memjamkan mata dan meneteskan sebulir air mata penutup tangisnya.

Tuhan berkehendak, Alana tiba-tiba saja tak sadarkan diri. Dua orang laki-laki itu saling pandang satu sama lain, lalu dengan gerakan cepat bersamaan memopong tubuh Alana menuju UKS di lantai dasar.

Angkasa terlihat panik, dibukanya pintu UKS yang kebetulan sudah dibuka kuncinya oleh ketua PMR yang berada di dalam. Kak Isti selaku ketua PMR menghentikan aktifitasnya sejenak, beralih pada pasiennya pagi ini, Alana.

"Kenapa? Pingsan?" tanya Kak Isti seraya mendekat dan berdiri di samping bankar UKS.

Angkasa dan Bagas mengangguk bersamaan dan Angkasa, berpindah ke samping Bagas. Dengan kesukarelaannya, dan menuntut kewajibannya, Kak Isti membantu menyadarkan Alana.

Gadis cantik berhijab syar'i itu berusaha membangunkan Alana dengan cara menyibak-nyibakkan minyak angin di hidung pasiennya. Tak lama Alana sadar, wajahnya masih pucat pasi.

Kak Isti segera memberi teh hangat dan menyuruh Alana meminumnya. Alana berterima kasih dengan sedikit lemas. Ditatapnya kini kedua laki-laki yang mematung di hadapannya.

"Pulang, gue pengin pulang, Ang," rengek Alana yang mungkin sudah lupa tak mempunyai tempat tinggal.

"Pulang ke mana, Al?" Angkasa nampak frustasi dengan semua ini. Diacaknya rambutnya frustasi.

Sedangkan Bagas kini menunduk, merasa bersalah dengan semua yang dilakukan ibunya. Merusak kehidupan kakak beradik di hadapannya ini, dan yang jelas menghancurkan semuanya. Kecuali rencana pernikahan Bimo dan Mita dalam waktu dekat.

"Gue bisa ngasih kalian tempat tinggal," tawar Bagas, "apartement om gue gak jauh dari sini, mau?" Bagas meminta kemauan Angkasa, ia memohon Angkasa untuk mengagguk lewat tatapannya itu.

Dengan ragu, kepala Angkasa mengangguk. Alana tersenyum lega, ternyata kakaknya tidak bodoh untuk menyia-nyiakan kesempatan emas di depan mata.

"Ma-makasih," terbata-bata, ragu, dan gengsi Angkasa mengucapkan kata itu.

"Sama-sama," pelan, dingin, dan hati-hati Bagas menyahut ucapan Angkasa.

Hati Alana tenang sekali, rasanya pikiran yang terus-terusan memikirkan tempat tinggal lenyap seketika. Sekarang muncul lagi dalam benaknya, apa Angkasa mau melepasnya untuk Bagas?








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top