Bab 26
Hujannya awet, sudah sekitar dua jam membasahi bumi. Tidak bosan-bosannya Alana memandangi melalui jendela kamarnya. Masih sama, ditemani secangkir teh yang mulai mendingin. Ada pula sebuah buku diary asthetic yang di atasnya dipenuhi tulisan.
Ternyata, diam-diam ada yang memberi kenang-kenangan tanpa sepengetahuannya. Siapa lagi kalau bukan Angkasa pelakunya. Tiba-tiba sudah ada di selipan baju saja saat Alana membersekan koper tadi pagi.
Alana tercengang dengan rentetan huruf yang ditulis abangnya, tidak diduga sama sekali.
Dear Alana,
Mungkin selama ini banyak kesalahan yang gak bisa diceritain satu per satu. Bisa sampai setebel mantra Harry Potter kali, hehe.
Gue gak bisa nulis puitis anjir, megang pulpen aja tangan gue gemeter. Hmm, boleh gue langsung ke intinya?
Minta maaf ya, gue yang dulu pernah nampar lo, selalu jadiin lo pelampiasan kapan pun dan di mana pun. Lo malu gak sih punya abang kayak gue? Pernah nyesel gak?
Gue sendiri juga ngerasa gue gak berguna sama sekali di dunia ini. Bisanya cuma nyakitin orang, bikin lo nangis. Kelebihan gue tuh berantem, berantem, dan berantem.
Weh gila udah sampai 4 peragraf aja, calon-calon penulis nih. Udah deh, gak usah senyam-senyum ada cabe tuh nyelip.
Alana, gue sayang sama lo.
your brother
-ttd Angkasa.
Kalimat terakhir yang selalu Alana ingat, memang tidak nyambung dari yang lain. Akan tetapi, itu yang membekas. Sudah ketujuh kalinya Alana membaca surat dari Angkasa dan di setiap selesai membaca Alana selalu bercermin.
Adakah cabai di sela-sela giginya?
Bodoh memang, padahal Angkasa kan sebatas mencairkan suasana. Kini Alana mulai letih, beranjak dari meja belajar ke lemari yang ada cerminnya membutuhkan tenaga. Sejenak, Alana mengembuskan napas kasar.
Waktu semakin sore, karena hujan tidak mungkin terlihat penampakkan senja. Sia-sia Alana menunggu, tapi hujan juga tidak bisa disalahkan. Hujan anugerah, pemberian dari Tuhan.
Lantas, Alana memutuskan untuk mandi. Dari pagi sampai sore ini sama sekali belum menginjakkan kaki di toilet, serius. Selain bucin, Alana juga pemalas dalam urusan bersih-bersih.
Ditutupnya buku tersebut, sebelum menyimpannya di antara buku-buku pelajaran. Mengganjal, menaruh di tempat lain sepertinya lebih cocok. Hmm ... di mana ya? Matanya mengedar, jatuh tepat di atas lemari. Iya benar agar tidak dijangkau oleh siapa pun.
Alana berjinjit sedikit, derita bertubuh pendek memang seperti itu. Lalu beranjak menuju toilet, menjalankan niatnya untuk membersihkan tubuh. Menghabiskan waktu beberapa menit di dalam sana, membuat seseorang yang berada di luar harus menunggu.
Arland sudah mengetuk beberapa kali, pintu dikunci rapat. Lelaki itu ingin memberi kabar gembira untuk adiknya, dengan menunjukkan bukti amplop cokelat yang berada dalam genggamannya.
Ceklek
Embusan napas lega Alana lakukan, beruntung dia sudah memakai pakaian sempurna. "Ada apa, Bang?" tanya gadis itu, beralih menatap sesuatu yang disembunyikan Arland di balik punggungnya.
Taraaaa!!!
"Abang diterima kerja di kantor!" pekik Araland, semangat.
Alana tersenyum tipis, dia takut kehilangan satu-satunya orang yang dia sayang. Untuk ke depannya Arland mungkin kurang memperhatikannya lagi. "Jangan lupain gue ya, Bang," pinta Alana, memohon.
Suasana berubah menjadi hening, Arland mencerna ucapan adiknya. Dan dengan tulus menjawab, "Enggak akan." Mari, pegang janji seorang Arland.
"Dulu janji itu utang, tapi sekarang gak lebih dari kalimat penenang. Apa betul?" Alana mengusap perlahan setetes air mata yang meluncur di pipinya. Tidak langsung mengklaim bahwa Arland bullshit, tapi memberi pernyataan yang berujung pertanyaan agar Arland menjawab sendiri.
Arland menggeleng mantap dan amat meyakinkan lewat tatapannya itu. Alana pun mau tidak mau percaya, mengacungkan jempolnya ke udara. "Oke, Alana mau rebahan, dah...." Alana membanting pintu kasar, tak mempedulikan keberadaan Arland yang masih ada setia di posisinya.
Rebahan, memang passion-nya cuma itu. Menerawang langit kamar sambil berangan-angan. Kali ini disertai isakan-isakan kecil dan diselimuti suasana sedih.
Mungkin, di luaran sana banyak anak yang beruntung. Tertawa bersama di ruang keluarga setiap malam, senda gurau menceritakan hari bahagia yang dijalani. Masing-masing punya cerita yang siap dijadikan bahan omongan, tidak habis karena sambung-menyambung.
Sesederhana itu impian Alana. Namun, sangat disayangkan tidak akan bisa tercapai. Keluarganya sudah hancur, berpisah jadi dua bagian. Yang satu di Jakarta, satu lagi di Bali. Bahkan, salah satu dari keduanya membangun keluarga baru.
Tidak, Alana sama sekali tidak menyesal telah memilih bunda asal Alana masih bisa hidup di dunia. Dunia yang "katanya" dipenuhi beragam warna. Hmm, nyatanya sampai saat ini Alana belum menemukan bukti dari omongan tersebut. Toh yang Alana temukan hanya lah, hitam, putih, dan abu-abu.
Sampai datangnya cinta pun, dunia Alana malah tambah gelap. Lagian, siapa suruh hatinya jatuh pada orang yang tidak tepat? Angkasa kan kakak kandungnya sendiri, mana boleh punya rasa yang lebih.
Baru-baru ini, datang seseorang yang berhasil menggeser sedikit posisi Angkasa di hatinya. Sayang, Takdir tak bisa ditebak. Orang itu harus berpamitan dalam waktu lama. Galaksi, kini ada di deretan orang-orang yang Alana sayangi tapi juga Alana benci.
Selain dua orang laki-laki tadi, ada juga yang perempuan. Namanya Putri, konteksnya tak jauh berbeda dari yang lain. Sama-sama pergi. Hanya ucapan terima kasih yang belum sempat Alana lontarkan, semoga saja Putri mendengarnya sekarang.
Tidak akan kacau tanpa mereka. Bunda dan papah, bernama Sarah dan Bimo. Jikalau bunda tidak selingkuh diam-diam, papah tidak mungkin tergoda oleh si jalang. Ranti, pengin menyantet saja orang itu.
Sekian orang-orang yang menghiasi masa kelam Alana, semoga saja masih dalam lindungan Tuhan yang Maha Kuasa. Pada kesempatan terakhir, izinkan Alana mengucap sesuatu.
"Terima kasih kalian."
•TAMAT•
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top