Bab 25

Bali adalah destinasi paling populer yang ada di Indonesia. Terkenal di kalangan turis mancanegara maupun lokal dengan keindahan pantainya yang tiada tara. Menyajikan tempat-tempat favorite untuk berlibur. Dan pastinya, tidak akan pernah menyesal untuk ke sana.

Seperti yang Alana rasakan, gadis itu amat senang bisa menginjakkan kaki di tanah Bali. Bukan kali pertama, lantas kesannya tak jauh beda. Dia berlari mendahului dua laki-laki yang bertelanjang dada, Angkasa dan Arland. Tak sabar bermain air dan pasir.

"Abang, sunblock Alana mana?!" teriak Alana, tapi tak digubris oleh Angkaaa maupun Arland. Mungkin suaranya tidak sampai karena jaraknya terbilang jauh.

Dengan malas Alana menghampiri mereka, merebut kasar sesuatu yang berada di genggaman tangan Angkasa. "Conge banget sih kalian," oceh Alana sambil menumpahkan sedikit di atas permukaan kulitnya.

"Alay banget sih lo," komentar Arland, sombong. Toh kulit Arland kan paling putih di antara mereka bertiga, Alana pun yang perempuan kalah.

Alana menatap sinis abangnya yang satu itu, malas menyahut dan memutuskan untuk segera pergi. Namun, Angkasa yang sedari tadi diam tiba-tiba mencekal lengan gadis itu. Tatapan sayu yang Angkasa berikan, membuat Alana mengertukan dahi kebingungan.

"Hati-hati," ucap Angkasa pelan. Seolah Alana akan pergi jauh dan berbahaya, tatkala diperlakukan seperti itu Alana hanya bisa mengiyakan.

Angkasa sedang tidak mood ke sana, lebih memilih berjemur di tepi pantai. Sekaligus mengawasi Alana dari kejauhan. Arland sendiri mengikuti jejak Alana dari belakang, mengajak gadis itu untuk bermain kejar-kejaran.

"Rasain nih!" Alana meraup air menggunakan kedua telapak tangannya, mengguyur tepat di atas kepala Arland meskipun harus sedikit jinjit. Air itu tak sengaja mengalir dan masuk ke mulut Arland, lantas Arland mendecih pelan keasinan.

Bukan Alana yang patut disebut lebay, nyatanya Arland. Lihat saja, lelaki itu langsung berbalik dan menepi meninggalkan Alana sendirian. Mungkin ingin kumur-kumur menggunakan air mineral agar rasa asinnya hilang.

Sementara itu, Alana berselanjar kaki. Seluas mata memandang, ombak hari ini terlihat damai. Tidak ada tanda-tanda akan tinggi, beberapa turis juga mulai berselancar di atasnya. Pemandangan yang menarik perhatian Alana.

"Bang, Alana pengin selancar!" ucap Alana, menoleh ke arah mereka yang sama-sama asik berjemur. Tuh, tidak dengar lagi. "Kupingnya pada belum dikorek apa?" gumam Alana sambil bangkit.

Setelah berdiri di tengah mereka, Alana tak mengucapkan apa-apa. Menunggu mereka sadar akan kehadirannya, tapi sayang sama sekali tak dihiraukan oleh dua laki-laki tersebut. Sampai akhirnya Alana menggeplak perut mereka secara bersamaan, tidak merasa bersalah.

Sontak mereka tersentak kaget dan bangun. Melempar tatapan nyalang masing-masing ke arah Alana yang pura-pura melihat langit, menyebalkan sekali.

Tawa Angkasa pecah begitu perut Arland menampakkan bekas kemerah-merahan. "Sensitif banget kayak pantat bayi, Bang!" ucap Angkasa dengan nada sarkatis.

Alana ikutan tertawa, tapi terhenti saat ditatap tidak enak oleh Arland. "Gak usah ketawa deh lo," cibir Arland sambil menutup perutnya itu. Iya juga sih, sensitif banget kulitnya.

Drttt

Ponsel di saku celana pendek Angkasa bergetar hebat segera berhenti begitu sang empunya ponsel menyapu layar dan mengangkat telepon yang masuk.

"Kalian cepat pulang, keberangkatan pesawatnya dipercepat."

"Hah? Jamber, Pah?"

"Empat sore."

Tuttt ... tutt ... tutt....

Angkasa menelan ludah kasar, diusapnya wajah gusar. Alana dan Arland yang menyaksikan lantas digeroyoti rasa penasaran. Sampai akhirnya ponsel tadi kembali bergetar, masih dari pemanggil yang sama.

"Ayo cepat, makan dan mandi perlu waktu."

Lelaki bernama Angkasa dengan bodohnya menegangguk sebagai sahutan. Hingga, panggilan diputus secara sepihak oleh Ranti di sebrang sana. Kali ini, wajah Angkasa menampakkan kesedihan.

"Ayo pulang," ucapnya lembut, menarik lengan Alana.

***

Hanya bermodalkan selembar tissue yang dilipat menjadi dua bagian, tak mampu menghentikan tangis Alana yang pecah. Berbagai cara sudah dilakukan oleh Angkasa dan Arland, tapi sama sekali tak berakibat apa-apa. Bahkan, sekarang sudah ada tiga ice cream di pangkuan Alana.

"Al, dilihat banyak orang masa gak malu?" Arland berlutut, berusaha melihat wajah Alana yang tengah menunduk.

Alana menggeleng, menyeka kasar air matanya. Sebelum itu, menepis terlebih dulu tissue yang digunakan Angkasa. Dia benar-benar tak mau mendapat perlakuan apapun lagi dari lelaki itu, Angkasa tentu saja. Untuk kali ini, Alana benci Angkasa.

"Kenapa lo marahnya ke gue sih?" Lama-kelamaan, Angkasa tersulut emosi. Mulutnya sampai berbusa membujuk Alana menghentikan tangis, tapi tak dihiraukan sama sekali.

Berhenti. Semua terdiam begitu si gadis mendongak dan memperlihatkan senyum smrik bagai psikopat. Hanya saja, dengan tatapan mata yang masih sayu, tidak tajam seperti orang marah.

"Kenapa, lo masih nanya kenapa?" Alana memelankan suara, mirip ASMR. "Karena lo itu munafik, pura-pura gak sakit sama kata kehilangan," lanjutnya, tegas.

Bagaikan ada sebuah tombak yang menancap tepat ke relung hati Angkasa, ucapan yang tak memeleset barang sesenti pun. Membuat seluruh alat gerak di tubuhnya tak berfungsi dalam detik bersamaan.

Munafik. Cocok sekali memang. Jadi, selama ini Angkasa tidak sadar kalau dirinya munafik.

"Maafin gue, Al." Entah permintaan maaf yang keberapa kali sepanjang hidup Alana, telinganya sudah tuli mendengar kata itu. Dilontarkan oleh orang yang sama, dengan kesalahan yang berbeda.

Tiba-tiba Alana bangkit, menarik napas panjang. Memakai ransel yang tadi dijadikan sandaran punggungnya, beralih menatap Arland yang ikut berdiri. Wajah datar tak berekspresi, "Sekarang."

Sekarang, selamat tinggal.

Sebagai salam perpisahan, Arland sempat menepuk bahu Angkasa. Mengajak ber-high five ria ala lelaki, kemudian berbalik badan dan melenggang pergi. Sementara itu, Alana tak berani menoleh ke arah Angkasa.

Gadis itu merasa tak bersalah, meninggalkan seseorang yang diam-diam menangisi kepergiannya. Lihat saja, si munafik meneteskan air mata. Asli atau palsu, intinya Alana sudah tidak peduli. Perlu digaris bawahi, tidak peduli.

Isakan tersebut perlahan tak terdengar, karena terkikis oleh jarak. Pesawat sebentar lagi akan take off, beberapa menit lagi. Para penumpang mulai menaiki kendaraan udara itu, salah satunya Alana.

Hati Alana menjerit sakit, amat terasa.

Tangan kanannya mulai melambai, gerakan spontan yang Alana sendiri tidak bisa mencegahnya. Di sana, Angkasa tampak tersenyum ikhlas. Indah sekali, melebihi pelangi walau dari jarak sejauh ini.

Dalam hitungan detik, pesawat lepas landas. Satu ... dua ... bye.








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top