Bab 22
Sarah menggigit kuku jarinya cemas, hal yang sama dilakukan oleh Arland. Angkasa sejak tadi mundar-mandir seperti setrika, bingung apa yang harus dilakukan. Mereka bertiga khawatir dengan Alana, di mana gadis itu berada dan sedang apa dia di sana.
Sudah 20 jam Alana melarikan diri, Sarah berniat selesai magrib segera ke kantor polisi untuk lapor. Ya, dari isya malam kemarin sampai sekarang tepatnya pukul 15.00 WIB terhitung 20 jam.
"Udah, Bun. Jangan cemas," ucap Arland menenangkan Sarah. Bukannya tenang, Sarah justru bertambah gelisah. Bahkan tanda-tanda akan menangis.
Angkasa menimpali, berusaha meyakinkan lewat tatapannya, "Alana gak sendiri, Tuhan gak pernah tidur, Bun." Namun, Sarah tak kunjung tenang malah meneteskan air mata. Merasa gagal menjadi ibu yang benar.
Arland menempelkan kepala bunda ke dada bidangnya, layaknya mendiamkan tangis anak kecil sambil ssttt-ssttt tidak jelas. Angkasa bergegas meraih kunci motor di atas nakas, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lelaki itu melenggang keluar.
Biarpun hujan turun membasahi bumi, Alana bersikeras mencari Alana. Sampai ke ujung dunia pun tak akan menyerah, rela sakit-sakittan demi mendapati adiknya itu. Pengorbanan yang tak sebanding dengan apa yang Angkasa lakukan dulu. Suka membentak, menampar, dan hal-hal lain yang pasti membuat Alana sedih.
Itu Angkasa yang dulu, sosok temperamental. Lalu, setiap Angkasa tampak frustasi Alana selalu hadir. Meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, memberi tatapan puppy eyes kala dirinya ingin bertarung di sekolah. Memohon untuk tidak melampiaskan beban hidup pada hal tak senonoh tersebut.
Kini, dunia terasa berbalik. Alana yang perlu sandaran, gadis itu sudah rapuh. Amat rapuh dibanding kakak-kakaknya yang lain. Tahu kan, perempuan lebih perasa, apalagi sosok seperti Alana itu. Melankolis di setiap keadaan.
Percaya, jika Alana tersenyum. Senyuman tersebut adalah palsu. Dan orang yang membuat senyuman itu, tak lain tak bukan orang spesial di hidup Alana. Ya, Angkasa dan Galaksi. Hanya dua manusia berinisal A dan G itu yang mampu merubah dunia Alana dari kelabu menjadi pelangi.
Tatkala Angkasa pergi, Galaksi menggantikan. Jadi, kalau Galaksi ikut pergi, apa jadinya Alana? Fondasi-fondasi yang menenggakkan tubuhnya seolah runtuh dalam sekejap. Alana tumbang.
Angkasa berkeliaran di jalan yang sama, tak jauh dari rumah sakit tempat terakhir Alana menampakkan diri. Air-air yang turun semakin deras, membuat pandangan Angkasa mengabur. Pantas, toh kaca helmnya belum diturunkan. Ooh iya, jangan pikir Angkasa pakai jas hujan. Tidak sama sekali, cuma pelindung kepala saja agar tak pusing.
Tinnnn
"Jangan pelan-pelan Mas, bawa motornya!" teriak seseorang dari balik kaca mobil.
"Suka-suka gue dong, njing!" sahut Angkasa bernada tinggi, malah dia yang paling emosi di sini.
Hingga cipratan dari mobil tersebut membasahi celana bahan yang kenakannya bagian kiri. Kotor, parahnya lagi celananya berwarna putih. Kelihatan sekali percikan-percikan air hujan yang bercampur dengan tanah, jadi cokelat.
Angkasa bergumam kasar dan menepikan motornya di sebuah warung pinggir jalan. Menjatuhkan bokong di kursi yang disediakan, mencium aroma kopi hitam milik orang di sebelahnya jadi ingin ngopi juga. Sekaligus udut, selama di Bali mana bisa menikmati benda panjang itu. Sebatang pun tak pernah, toh selalu diawasi oleh Ranti. Si ribet tukang ngeluh dan ngadu, begitu Angkasa menjuluki wanita tersebut.
"Mbak, kopi sama rokok filter sebatang, ya!" pesan Angkasa setengah berteriak karena jarak si Mbak cukup jauh dari dirinya. Meskipun begitu, tetap tak didengar malah terlihat asyik mengobrol dengan pembeli lain. Nyatanya, suara hujan lebih tinggi daripada suara Angkasa. Terkalahkan.
Si pembeli menoleh ke arah Angkasa, lantas si Mbak tadi mengikuti gerakan yang sama. Sumpah, Angkasa terkejut bukan main begitupun si Mbak alias Alana. Dengan sigap Angkasa bangkit, haruskah Angkasa marah atau iba? Bagaimana dua perasaan itu terjadi dalam waktu bersamaan, yang diputuskan untuk diam.
"Maafin Alana, Bang." Alana menahan isak, takut terdengar dan dimarahi oleh pemilik warung yang sedang ada di dalam. Buat apa Alana minta maaf? Gadis itu pun tak mengerti mengapa kata itu yang terlontar.
"Lo gak pantes bilang gitu, harusnya kita. Kita yang selalu buat lo nangis, maaafin kita." Angkasa memeluk Alana spontan, beberapa pembeli yang melihat keki berjamaah.
"Ayo, pulang. Semua sayang Alana, balik ke rumah, ya?" Pelan-pelan Angkasa merayu Alana untuk pulang, takut adiknya itu tidak mau. Kan, bagi anak broken home rumah itu bukan tempat pulang. Justru tempat yang membuat (mereka) semakin tertekan.
Benar?
Namun, rupanya Alana menyingkirkan tanggapan (mereka). Gadis itu mengangguk diiringi senyuman. Ingat, palsu.
***
"Lo gak kangen gue, Al?" Sudah lima kali pertanyaan yang sama diulang oleh Angkasa. Alana sampai malas mendengarnya, dijawab enggak ya enggak. Titik gak pakai koma!
"Jangan bohong deh, dosanya berat." Lagi, Angkasa kembali mengangkat suara. Alana lantas mendorong bahu kakaknya itu kesal, seolah tak mau diganggu kefokusannya menatap bintang.
Angkasa menyerah? Bukan Angkasa namanya. "Lo gak kangen gue, Al?" Kali ini sambil mengedip-ngedipkan mata jahil. Alana menyibakkan lengan baju, siap mendorong kakaknya lebih keras daripada tadi.
Bisa dibaca, Angkasa menggelitiki pinggang Alana. Melebihi kecepatan niat Alana yang ingin mendorong.
Tadinya ingin marah karena kesal sekali, sekarang malah cekikikan karena geli. Dasar siapa? Dasar Alana.
Setelah capai, mereka berhenti dengan sendirinya. Alana menjatuhkan bokong secara kasar ke rerumputan yang dia pijaki, tak peduli kalau ada tai kucing atau apalah. Angkasa tetap berdiri, sehingga Alana menarik kasar kakaknya itu.
"Apa sih, fans?" tanya Angkasa, Alana memutar bola mata malas.
"Bang, gue mau ngomong serius!" ucap Alana sesuai kata terakhir yang diucapnya, wajahnya pun menampakkan keseriusan bahkan kelewat. Dua rius, mungkin.
Sambil menunggu Alana menjelaskan, Angkasa masuk dan mendalami bola mata adiknya itu. Hal yang sudah lama tak dilakukan, menjelajahi untuk membaca perasaan dan pikirian. Tidak di setiap orang Angkasa mampu, hanya pada Alana. Karena menurutnya, Alana masih amat lugu macam balita.
Alana sengaja mengulur waktu, balas dendam supaya Angkasa kesal. Akan tetapi nyatanya, malah terbawa suasana yang tercipta.
Apa iya semua perempuan di muka bumi ini seperti Alana? Mudah baper walau hanya ditatap begitu saja. Padahal sudah tahu, si penatap adalah kakaknya sendiri. Kadang perasaan selucu itu.
"Jangan pergi ya, tinggal lagi di Jakarta." Kalimat meluncur bebas, penuh permohonan.
Haruskah Angkasa menjawab sekarang atau nanti?
Nanti saja, melatih kesabaran.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top