Bab 21

Senja begitu elok, hingga mereka bisa me-refresh pikiran masing-masing. Biarpun sempat hujan, tapi fenomena yang satu ini tetap terlihat menghiasi cakrawala langit Jakarta di sore ini. Banyak orang melalukan hal yang sama, entah sendiri ataupun ditemani pasangan.

Danau cincin, menikmati keindahan senja pertama kali di sana. Kesan yang Alana rasakan sangat tenang, begitpun dengan dua anak laki-laki yang mengapitnya. Angkasa dan Arland sedari tadi tak mengeluarkan suara, tapi Alana bisa melihat bibir kakak-kakaknya itu bergumam kagum.

Alana meraih lengan mereka, menyelipkan jari jemarinya di lengan berurat milik Angkasa dan Arland. Sama-sama kasar, mereka pernah bekerja di waktu yang berbeda. Bekerja untuk membiayai hidupnya, Alana merasa tidak enak.

"Maafin Alana ya, Bang." Ucapan maaf yang tulus meluncur dari bibir mungil Alana, lantas mereka menoleh secara serempak mengernyit bingung.

"Buat apa?" tanya Angkasa, mewakili pertanyaan yang sama dari Arland. Namun, Alana tak langsung menjawab malah semakin mendramatiskan suasana dengan menundukkan kepala. Bermain-main dengan pantulan wajahnya di permukaan air.

Sampai di detik kesekian Arland menimpali, "Jangan bilang lo nangis." Arland berusaha mengangkat kepala Alana, tapi dengan sigap Angkasa menggagalkan niat lelaki itu. Bukan berarti Angkasa cemburu, hanya saja Angkasa tak mau Arland memanjakan Alana yang menurutnya cengeng pakai banget.

Angkasa memang tak suka Alana meneteskan air mata, bahkan benci. Karena menurut Angkasa, menangis hanya untuk orang-orang lemah. Titik terlemah makhluk hidup, Angkasa bersikeras agar Alana tak sampai pada hal itu.

"Gak ada gunanya lo nangis, mau sampai nangis darah juga. Percuma buang-buang air mata," ucap Angkasa sarkatis dan ketus sambil melempar bebatuan ke dalam danau.

"Siapa yang nangis sih!" bentak Alana sambil menunjukkan wajahnya, memang tak ada air mata yang keluar, tapi mata tersebut sudah merah paling tidak sebentar lagi akan membludak seluruh isinya.

"Udan jangan ribut, gak tau gue pusing apa?!" Tak kalah emosi, Arland pun tampak marah. Setelah itu, tak terdengar lagi suara dari mulut Alana dan Angkasa, sama-sama bungkam dengan apa yang kakaknya lontarkan. Terdengar berat penuh beban-benan kehidupan.

Suasana pun berubah menjadi hening, kala mentari mulai kembali ke peraduannya. Adzan Magrib mulai menggema se-Jakarta dan sekitarnya, memantul di tiap atap rumah penduduk. Suara yang mampu membangkitkan nyawa Arland dari kerapuhannya, diikuti gerakan yang sama oleh Alana dan Angkasa.

Mereka bertiga berjalan beriringan, tak membawa kendaraan apapun. Padahal jarak danau dan kediaman rumah bunda cukup jauh, tapi tak ada satupun dari mereka yang mengeluh letih.

"Salatnya di rumah aja ya, jamaah bertiga," ucap Arland mendapat anggukkan dari yang besangkutan.

Akhirnya mereka sampai, mematung sejenak di ambang pintu saat rumah tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, lampu pun padam. Sebenarnya, pada ke mana mereka?

Tok ... tok ... tok....

Arland mencoba mengetuk pintu, Alana sibuk mencari keberadaan kunci yang biasanya ditaruh di bawah keset. Sementara itu, Angkasa tak berkutik mendapati pesan yang masuk ke ponselnya. Pesan dari Ranti, mengabarkan sesuatu.

Buruk.

Bahkan, amat buruk.

***

Kecepatan langkah Alana tak bisa menyamai dua kakaknya itu, napasnya sampai terengah-engah. Tiba-tiba saja, Alana menabrak seseorang yang berlawanan arah. Sebelum menerima teguran, dengan cepat gadia itu mengungkapkan permintaan maaf.

"Ma--maaf, gak sengaja buru-buru soalnya." Terdengar seperti lirihan apalagi sambil menundukkan kepala.

"Alana?!" kaget orang itu, lantas Alana mendongak spontan. Saat itu juga matanya berkontak dengan mata Galaksi.

"Lo ke mana aja?" tanya Alana dengan nada penasaran, lalu mengajak Galaksi duduk. Sekaligus rehat sejenak karena sudah berlari-larian daritadi.

Galaksi tak langsung menjawab, malah menarik napas panjang. Terlihat raut-raut wajah kesedihan, sebenarnya ada apa ini? Alana memohon dalam hati, semoga apa yang tidak diinginkan tidak terjadi.

"Maafin gue ya, Al. Gue bakal tinggal di Australia selamanya." Lalu, terdengar suara hati yang patah. Alana tak bisa menahan tangis, dia langsung berlinang air mata tepat setelah Galaksi berucap demikian.

Sebagaimana suasana yang tercipta, Galaksi mencoba menenangkan Alana. Biarpun dekat hanya hitungan jari dalam satuan 24 jam, tapi seperti sudah ada rasa nyaman yang tercipta saat menjaga gadis itu.

Lelaki itu pun membawa Alana ke dalam dekapnya, Alana tak berkutik. Merasa sedang memeluk Angkasa, rasanya sama. Membuat nyaman. Namun, lagi-lagi Alana harus merelakan orang yang ia sayang pergi. Bukan sebentar, bahkan untuk selamanya.

"Udah jangan nangis, Alana gak boleh sedih. Nanti, kalau udah lulus gue balik lagi kok. Dengan Galaksi yang baru, buat Alana yang kuat."

Baru saja Galaksi mengucap janji, di detik Alana merasa kecewa. Sehingga, Alana menghentikan tangisnya secara paksa, mencari celah kebohongan pada bola mata elang tersebut. Tidak ada yang Alana temukan selain ketentraman. Tajam tapi meneduhkan.

"Kalau lo lagi kangen gue, lo peluk aja boneka ini." Galaksi menyerahkan gantungan kecil, berbentuk bayi yang imut dan menggemaskan. Tidak tahu, mungkin Galaksi sudah mempersiapkan ini dari dalam saku hoodie hijau lumutnya.

Alana menyeka air matanya, beralih memainkan benda merah muda yang diberikan Galaksi. Terkekeh kecil saking gemasnya. Sementara itu, Galaksi tersenyum lega sambil mengacak rambut Alana tak kalah gemas.

Bagi Galaksi, Alana itu boneka antik. Dalam artian bukan untuk dipermainkan, tapi dijaga. Baik-baik agar tak lecet sedikit pun. Aplagi meneteskan air mata, Galaksi takan tinggal diam. Kecuali dalam hal ini, Galaksi tak mungkin menyakiti dirinya sendiri karena akan meninggalkan Alana.

"Lo kenapa di rumah sakit?" tanya Galaksi, khawatir.

Alana menepuk jidatnya, segera bangkit dan menarik lengan Galaksi. Berlari menyusuri lorong rumah sakit yang cukup sepi ini, sampai akhirnya berhenti tepat di depan sebuah ruangan.

ICU.

Terdengar suara tangis yang keluar dari mulut Ranti, isakan kecil juga keluar dari mulut Sarah. Di sisi lain, dua laki-laki hanya bisa menundukkan kepala. Malu jika menangis di sini, tidak sesuai dengan wajah mereka.

Alana melirih, "Papah." Mengintip di sela-sela kaca, terlihat Bimo di dalam tengah di kerumuni orang-orang berpakaian putih. Seorang dokter dan beberapa suster.

Galaksi menuntun Alana untuk duduk di samping kakak-kakaknya. Angaksa yang menyadari keberadaan Galaksi, menyunggingkan senyum tipis.

"Asma papah kambuh, inhalernya ketinggalan di Bali." Tanpa diminta Angkasa menjelaskan. Alana dan Galaksi yang baru datang mengangguk paham.

Kemudian tak ada lagi percakapan, tiba-tiba Galaksi bangkit. Malam semakin larut, ada sesuatu yang perlu dipersiapkan. "Gue pamit ya," ucap Galaksi.

Alana terkesiap kaget, hingga menciptakan keheranan dari Angkasa. "Besok juga ketemu, bucin banget lo, Al." Pantas, Angkasa belum mengetahui jika Galaksi ingin pindah.

Dengan nada tak enak Galaksi menjelakan, hati-hati takut Angkasa marah. "Hmm, gue bakal pindah ke Australia."

Angkasa bangkit dan menyipitkan mata curiga. "Serius?" tanyanya memastikan.

"IYA, SEMUA AJA PERGI! TINGGALIN ALANA SENDIRI...." Tanpa bisa diduga oleh mereka yang ada di sana, Alana berlari secepat mungkin. Entah berantah ke mana, yang jelas mereka semua merasa bersalah.

Tidak ada yang mengejar.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top