Bab 19
Mereka bungkam dan saling tatap. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring. Suasana makan malam ini didominasi oleh keluhan-keluhan manja yang keluar dari mulut si wanita. Ranti, namanya. Perebut suami orang atau biasa disebut pelakor.
"Pah, palaku pusing, mual udah tiga hari ini." Ranti menatap suaminya--Bimo yang berada di hadapannya, meminta kepahaman dari pria paruh baya tersebut. Sementara itu, di samping Bimo ada Angkasa yang sejak tadi memilih diam.
Bimo berpikir sejenak, lalu tak lama pria itu tersenyum ceria. Tampak kebahagiaan yang tiada tara sambil memekikkan kata, "Hamil!" Penuh keyakinan dalam melontarkan satu kata tersebut.
Angkasa yang tengah mengunyah steak barbeque lantas tersedak, segera terburu-buru meraih segelas air mineral yang tak jauh dari jangkauannya. Jelas Angkasa kaget, laki-laki itu akan mempunyai adik. Entah kabar baik atau buruk bagi Angkasa, intinya Angkasa tak bisa menutupi keterkejutannya.
"Kamu kenapa, Ang? Senang ya punya adik baru?" tanya Bimo sambil mengacak rambut Angkasa di sebelahnya.
Angkasa menelan ludahnya kasar, menjawab dengan satu anggukkan kepala yang ragu. Lalu bangkit, dirasa perutnya sudah kenyang. Lelaki itu hanya memperlihatkan senyuman saja sebagai tanda pamit dan berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai 2.
Balkon, tujuan utama Angkasa naik. Semilir angin menyambut Angkasa, angin Bali lebih sejuk daripada di Jakarta. Pemandangan Kota Wisata tersebut membuat Angkasa termenung beberapa detik, menghirup gas oksigen dalam-dalam.
Membicarakan sosok adik, Angkasa teringat betul sosok Alana yang terpaut jarak cukup jauh dari dirinya kini berpijak. Jakarta-Bali, 1.171 KM. Dua kota yang bertolak belakang. Jika di Jakarta, para turis bekerja. Sedangkan di Bali, para turis berwisata. Pada dasarnya, sama-sama berat untuk hidup di dua kota itu.
"Alana, andai lo tahu berita ini. Mungkin lo udah jingkrak-jingkrak gak jelas, lo kan pengin adik perempuan."
Memang belum tentu anak yang ada di perut Ranti bergender perempuan, tapi intinya Alana pasti senang memiliki adik. Namun, kanyataan harus ditelan dalam-dalam. Alana memilih bunda daripada papah. Tak mungkin berpindah begitu saja hanya karena lahirnya seorang bayi.
"Alana, lo lagi ngapain? Gue pengin cerita banyak sama lo, tentang sekolah baru gue di sini. Ceweknya cakep-cakep gila, sopan-sopan lagi."
Biar saja, angin yang mendengar. Angkasa menjeda ucapannya sejenak, menarik napas dalam untuk menyadari kenyataan yang sesungguhnya bahwa bertemu dan bercerita pada Alana adalah hal yang sulit.
"Alana, ternyata rindu gini ya rasanya." Lagi, Angkasa kembali mengangkat suara.
Lelaki itu memajamkan mata sejenak, Angkasa tak mau secengeng ini. Pengin tetap tegar walau hati berkata lelah. Rindu yang menggebu setiap malam, tak akan hilang jika tak menemukan titik temu. Satu-satunya cara adalah ke Jakarta atau Alananya saja yang disuruh ke sini?
Otak Angkasa berpikir matang-matang, memutuskan pilihan yang paling tepat. Konsetrasi berpikirnya terganggu saat seseorang mendekat ke arahnya.
Bimo menyandarkan tubuh ke balkon, berdiri tepat di samping anak keduanya. "Kamu mikirin apa?" Bimo menumpu tangannya di bahu kekar Angkasa, biarpun tumpuannya cukup berat tapi tak membuat Angkasa keberatan.
"Alana, Pah." Angkasa menyahut dengan jujur dan bernada pelan. Mirip seperti lirihan.
Bimo mengangguk paham, ditepuknya bahu Angkasa beberapa kali. Dengan mantap pria paruh baya itu berucap, "Kita silahturahmi ke sana besok. Papah akan pesan online tiketnya." Mendapati Bimo ingin berlalu, Angkasa segera menggagalkan niat papahnya.
"Papah serius?!" tanya Angkasa dengan mata berbinar dan mendapat anggukan dari papahnya. Angkasa lompat-lompat girang setelah kepergian Bimo, berkali-kali mengucapkan kata, "Yesssss!"
Angkasa segera menyiapkan baramg-barang yang akan dibawanya ke Jakarta, Angkasa pun memasukkan yang penting-penting saja. Seperti peralatan mandi, baju beberapa pasang, dan tak lupa ada kado untuk Alana. Anggap saja oleh-oleh yang sudah dibentuk sedemikian rupa jauh-jauh hari oleh lelaki itu.
Kado manis untuk Alana, begitu Angkasa menyebutnya. Tak seperti biasanya yang rela begadang untuk menunggu kantuk datang, malam ini Angkasa memaksakan untuk tidur. Tak lupa mematikan lampu dan menarik selimut.
Esok yang indah.
***
Dalam hal mengerjakan PR, Alana semangat '45. Kecuali PR sejarah yang ada di hadapannya ini, Alana mengantuk bukan main. Bukannya apa-apa, ia malas mengingat masa lalu. Lagian, bukankah seharusnya masa lalu dilupakan? Tidak dihapal apalagi dirangkum dan tulis kembali.
Seperti sekarang, Alana disuruh merangkum sejarah kerajaan-kerjaan Hindu-Budha dan Islam di Nusantara. Berpuluh halaman harus dirangkum dalam waktu satu malam. Memang keterlaluan guru yang memberikan, tak berperikemanusiaan.
Mata Alana sudah 5 watt, tak kuasa lagi menahan kantuk yang berat. Lantas, dalam hitungan detik gadis itu terlelap di kelilingi buku-buku tebal.
Ceklek
Pintu terbuka, seseorang masuk dan langsung menjatuhkan bokongnya di tepi ranjang. Arland meraih beberapa buku yang dijadikan alas oleh kepala adiknya, karana posisi Alana yang tengkurap. Takut ngiler, kan kasihan Alana kalau tahu bukunya basah.
Mungkin, tidur Alana belum pulas. Ia menyadari keberadaan Arland dan membuka penuh kelopak matanya, hingga Arland terlonjak kaget ke belakang.
"Alana belum tidur?" tanya Arland sambil menyinglirkan poni yang menutupi sebagian wajah Alana. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban, tapi diiringi menguap.
"Tidur gih, besok kan sekolah." Arland menarik selimut untuk adiknya, Alana yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam tanpa mengucapkan apa-apa. Padahal, hati Alana sudah menjerit ingin mengungkapkan besok malas masuk.
Lalu, Arland beranjak keluar. Alana bangkit, duduk termenung sendirian. Jam yang terpajang dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rasa kantuknya hilang dalam sekejap karena pikirannya tiba-tiba dihantui oleh sosok Angkasa yang sekilas terlintas dalam benaknya.
"Ada waktunya buat ketemu, sabar. Cara satu-satunya cuma itu," monolog Alana untuk dirinya sendiri. Tamparan yang menyadarkan Alana agar tak terbayang Angkasa terus-menerus setiap malamnya.
Alana menarik napas panjang, kemudian mengembuskan secara perlahan. Membaringkan tubuhnya kembali ke atas ranjang, bersiap menghadapi hari esok. Tak lupa merapalkan doa sebagaimana doa mau tidur. Dan membisikkan harapan, semoga esok menjadi hari yang baik.
Tuhan Maha Mendengar, Semesta akan turut membantu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top