Bab 17

Hujan lumayan deras mengguyur Ibu Kota sore ini. Waktu tepat di mana anak-anak sekolah pulang, hingga akhirnya Alana harus menerima kenyataan bahwa menunggu bukan lah hal yang menyenangkan. Semakin lama, semakin bertambah debit air yang turun ke muka bumi.

Banyak anak-anak yang dijemput oleh orang tuannya, segelintir saja yang senasib dengan Alana. Ia duduk termenung di sebuah bangku yang ada di koridor bawah sambil menumpu dagunya. Matanya sayu, jelas menampakkan kesedihan yang teramat dalam.

Semua berlalu begitu cepat, sampai Alana tak sempat meminta maaf pada orang yang ia anggap salah, Bimo. Entah bagaimana caranya mengungkapkan permintaan maaf tersebut, tapi pada intinya sekarang yang terpenting adalah mendoakan mereka. Mereka yang membuat keluarga baru.

"Papah kok jemputnya lama sih?"

"Iya sayang, tadi macet."

Seakan ada yang mengiris bawamg di samping Alana, mata gadis itu perih melihat seorang siswi yang dijemput ayahnya. Pemandangan yang amat menyakitkan bagi Alana, lantas ia mengalihkan pandang. Tak kuat menyaksikan itu semua.

"Alana." Sebuah suara yang familier memanggil namanya, Alana menoleh ke sumber suara.

"Lo belum pulang?" tanya lelaki itu seraya menjatuhkan bokong di samping Alana.

Alana menggeleng sebagai jawaban, menunduk untuk menyeka air matanya yang sempat turun. Galaksi selalu datang dengan tatapan iba, memperburuk suasana. Yang dilakukan Galaksi di luar nalar Alana, benar-benar sukses membuat gadis itu tebengong.

"Permisi, Om. Boleh jangan bicara di sini, teman saya lagi sedih." Kalimat yang meluncur dari mulut Galaksi tepat di depan pria paruh baya itu bersama putrinya.

Jelas mereka keheranan, tapi tak lama melirik Alana yang terduduk di sana. Mengangguk paham, si pria segera menaiki motornya. Di waktu yang sama, putrinya pun selesai memakai jas hujan. Mereka melenggang pergi, meninggalkan kepulan asap yang langsung lenyap dibasuh air hujan.

Setelah itu, Galaksi berbalik dan merekahkan senyumnya. Alana terdiam beberapa detik menatap senyuman tersebut, sebuah senyuman penawar luka. "Makasih," ucap Alana spechelss.

Galaksi mengacungkan jempol dan kembali duduk ke tempat semula. Merogoh ranselnya, seperti mencari sesuatu di dalamnya. "Gue kalau lagi sedih, numpahin di sini sepuasnya." Galaksi menyerahkan selampe biru muda yang dibawanya, dan belum sempat digunakannya juga hari ini. Masih bersih.

"Nanti kena ingus, gimana?" tanya Alana polos, memang kalau menangis bukan hanya air dari matanya saja yang keluar, bahkan dari hidung lebih banyak.

Galaksi terkekeh, "Gak pa-pa, kan bisa dicuci." Belum selesai, Galaksi mengambil sesuatu lagi. Kali ini, berhasil membuat Alana berbinar dan langsung merebut spontan.

Namun, beberapa detik kemudian Alana menyadari benda yang ada di tangannya adalah mainan anak-anak. Ia tertipu sebelumnya dan baru ingat kalau itu kecrekan bayi. "Ini punya siapa?" tanya gadis itu spontan.

Terdengar embusan napas kasar. Galaksi memejamkan mata sejenak, tak kuasa menjawab pertanyaan yang Alana lontarkan. Akan tetapi, bibir ini memaksa. Menyebut nama, "Jonshon."

Alana mengernyitkan dahi, dilanda rasa penasaran ia bertanya lagi, "Siapa lo?" Tak melihat kondisi, padahal Galaksi sudah ingin menangis. Meskipun tampak ditahan-tahan.

"Adik gue," sahut Galaksi membuka kelopak matanya utuh. Masih ada lanjutannya, "yang udah meninggal satu tahun lalu."

Lalu, diiringi suara tangis laki-laki. Galaksi sudah tak malu menangis di depan umum, lagi pula hanya Alana yang menyaksikan. Bukan masalah yang harus ditutup-tutupi, karena bagi Galaksi memendam ini sendirian justru membuatnya terus terjebak dalam fase depresi.

"Sabar ya, lo boleh cerita kalau mau." Alana mengusap bahu Galaksi, turut berduka cita. Ternyata, dalam semesta ini bukan hanya Alana yang tertimpa cobaan. Bahkan, jauh lebih berat daripada dirinya. Ditinggal adik untuk selama-lamanya.

Galaksi membenarkan letak duduk, menyerong ke arah Alana. Tanda-tanda akan bercerita, Alana siap menjadi pendengar yang baik. Beri waktu sedikit agar Galaksi mengelap air mata dan hidungnya. Sudah, Galaksi mulai mengangkat suara.

"Dari dulu, Jonshon tinggal sama oma di Australia. Bunda bilang, dia lahir di sana dan jadi kewarganegaraan Australia."

"Jonshon kena Sindrom Jakob, Al. Kita semua belum tahu sebelumnya."

Sindrom Jacob merupakan kelainan genetik yang disebabkan oleh kelainan kromosom XY. Pada penderita sindrom Jacob, jumlah kromosom sebanyak 47 atau melebihi jumlah normal. Gangguan yang terjadi pada penderita sindrom Jacob adalah gangguan fungsi kognitif, berupa gangguan belajar, keterlambatan bicara, dan gangguan dalam bahasa.   

"Oma salah ngurus dia, Jonshon dimasukkin ke sekolah umum. Ya, lo tahu lah apa yang terjadi, dia kena bullying setiap hari. Tanpa oma tahu, Jonshon diam-diam depresi di kamar."

"Suka nyakitin diri sendiri, sampai akhirnya semua itu terbongkar. Jonshon mengakhiri hidupnya sendiri, dengan cara yang enggak wajar."

"Gantung diri."

Jantung Alana memburu, mendengar tiap kalimat yang Galaksi ucapkan dengan nada penuh penekanan. Sementara itu, Galaksi meraih cekrekan yang tergeletak begitu saja di pangkuan Alana.

"Ini mainan kesayangan Jonshon, oma bilang dia mainin ini sampai akhir hayanya. Sepuluh tahun."

Dibuat merinding, Alana mencengkeram tangan Galaksi tanpa sengaja. Galaksi yang menyadari Alana ketakutan, membiarkan gadis itu. Walaupun sakit, pegangan Alana terlalu kuat.

"Ada di belakang lo sekarang," bisik Galaksi.

Deg

Alana berhambur ke pelukan Galaksi, menyembunyikan wajahnya ke dalam dada bidang lelaki ini yang mematung seketika. Kemudian, terdengar detakan jantung yang saling berpacu hebat. Dua-duanya, sama-sama berdebar. Alana sadar, tapi tak kunjung melepas pelukannya. Zona nyaman, pelukan Galaksi.

Mereka berkontak mata selama beberapa detik, hingga akhirnya Alana yang memutuskan itu semua. Alana tak mau semakin dalam, hingga mencapai titik paling meyakinkan. Bahwa ia, mencintai Galaksi.

"Maaf, gue harus pulang." Dengan terburu-buru Alana bangkit, menerobos gerimis hujan. Padahal, Alana tahu apa akibatnya. Kepalanya akan pusing, tapi kali ini ia tak peduli.

Sial, setiap angkutan umum yang lewat sudah penuh. Ada satu yang berhenti di depan Alana, sama saja tak ada celah kosong untuk duduk. Kecuali, Alana menggeleng cepat. Di samping supir, tak masalah jika lelaki belasan tahun itu tak merokok.

"Enggak, Bang!" bentak Alana begitu angkot di depannya belum juga jalan.

"Itu belakang, Neng!" Abang supir juga ikut ngegas, toh menawari seorang siswa yang tengah berjalan kemari.

Alana harus apa? Siswa tersebut adalah Galaksi. Merasa naik pilihan yang tepat, gadis itu terpaksa.

"Bang, saya kan mau naik," ucap Galaksi sambil melirik Alana, sengaja sepertinya.

"Iya sih Neng, plin-plan. Udah berdua, gaskeun!" sahut si supir.

Alana melotot tajam, tapi tak ada hak juga untuk membantah. Akhirnya, ia duduk bersebelahan dengan Galaksi di atas jok yang terbilang pas-pasan. Dalam perjalanan, hanya keheningan yang menerpa dan dihiasi kepulan asap dari sebatang rokok milik supir tersebut.

"Bang, depan kiri."

Alana tak berkutik saat Galaksi mengajaknya turun. Bahkan, menarik pergelangan tangannya untuk segera keluar. Lelaki itu memberi uang pas untuk biaya dua anak sekolah.

"Kok turun di sini?!" Alana marah, langsung tersulut emosi.

"Lo gak suka asap rokok kan, emang bahaya." Galaksi mulai melangkahkan kaki di atas trotoar. Merentangkan kedua tangan, menjaga keseimbangan.

Alana yang kesal lantas mendorong lelaki itu. Melakukan aksi yang sama dengan yang Galaksi lakukan.

"Nanti besok, cerita-cerita lagi ya!" seru Galaksi antusias, memang memendam semuanya malah memperburuk keadaan. Banyak yang mengatakan, diam bukan lah solusi.

"Enggak!" tolak Alana mentah-mentah. Tersenyum lebar melanjutkan, "enggak salah lagi!"

Perlahan, bahagia itu datang. Seperti sekarang, Alana merasa bahagia di samping Galaksi. Namun, Alana harus pandai-pandai menjaga perasaannya agar tak kelewat batas.














Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top