Bab 15

Alana menyusuri koridor dengan bersemangat, ia bertekad untuk kembali seperti dulu. Rajin, sekolah adalah prioritas nomor satu. Menurutnya, jika pintar bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Termasuk menyatukan bunda dan papah lagi di Jakarta. Hal yang kecil kemungkinan terjadi, justru menjadi harapan besar tersendiri bagi Alana.

Langkahnya diiringi senandung kecil dari bibir mungil gadis itu. Sesekali memejamkan mata untuk lebih menikmati alunan lagu dari sumbatan earphone putih yang ada di telinganya. Ini dirinya, bahkan Alana bertekad untuk tidak memudarkan senyum atas apa yang menimpanya baru-baru ini. Dengan masalah, ia diajarkan kedewasaan dan kekuatan.

Beberapa meter dari pintu kelas, langkahnya terhenti. Mendapati selembar kertas yang ditempel di mading oleh anak jurnalistik. Ada foto Angkasa di sana, Alana lantas menerobos kerumunan yang cukup ramai itu. Iya benar, matanya tidak salah.

HOT NEWS

ANGKASA BIRU SAMUDERA kelas X IPS Satu, dikeluarkan atau drop out dari sekolah! Tahu kan, Angkasa yang mana? Itu loh, yang suka cari masalah.

Ini potret Angkasa

Sekian, salam hangat dari anak jurnal.

Alana segera mencopot selembaran tersebut dengan kasar, tak peduli dilihat banyaknya orang yang berada di sekelilingnya. Bukan karena malu, hanya saja Alana tak terima kakaknya diperlakukan seperti itu. Kalau saja Angkasa tahu, bisa beku si pelaku.

"Apa sih kok dicopot?!" Salah satu anak jurnal yang ada di sana, bertanya emosi pada Alana yang ingin berlalu.

Lalu, terdengar bisik-bisik dari para anak yang menyaksikan. Alana memejamkan matanya sejenak, menahan agar air mata tak menetes di tengah-tengah keramaian seperti ini. Ia menjawab dengan bibir bergetar, "Kalau mau pajang sesuatu, mikir dulu."

Setelah itu, Alana meremas-remas selembaran yang masih ada di tangannya. Berlari kencang menuju toilet di ujung koridor, sambil menangis tentunya. Dalam sana, tiada satu pun orang yang menyaksikan. Alana bebas melakukan apa saja, berbicara pada dinding, menumpahkan segala emosinya yang tertahan.

Ia terduduk di lantai, menangkap lututnya dan menelungkupkan wajah di dalamnya. Nyaris tak mengeluarkan suara, tapi isakan justru lebih menampakkan kesedihan. Tekad yang sudah bulat, seakan hancur kembali. Alana benci sekolah, benci teman-temannya yang tak ada satu pun peduli.

"Kenapa harus aku, Bang Angkasa, dan Bang Arland yang dapat ini semua? Kenapa kita yang dipilih...." lirihnya, sambil menatap kosong dinding di hadapannya. Berbicara pada dinding adalah hal yang baru-baru ini Alana lakukan, karena selain dinding Alana tak tahu ingin pada siapa. Karena mereka yang bertanya, sekedar ingin tahu tanpa membantu.

"Karena lo istimewa!" Suara bariton laki-laki sukses membuat Alana mengerjap kaget. Ia langsung menutup penglihatannya menggunakan telapak tangan. Alana tak mengenal percis suara tersebut, tapi tak asing lagi di pendengarannya.

Derap langkah kaki mendekat, tanpa melihat Alana yakin siswa itu berjongkok untuk menyamai posisinya saat ini. Namun, siapa? Alana dirundung rasa penasaran. Perlahan, ia mengintip lewat celah kedua telapak tangannya, mengingat-ngingat sebentar.

"Ini gue Galaksi, lo ingat kan?" tanya Galaksi, ooh Alana baru ingat. Ia lantas menurunkan telapak tangannya dan mengangguk untuk menjawab pertanyaan musuh terbesar kakaknya itu, Galaksi.

"Kenapa lo ada di sini, kan ini toilet perempuan?" Alana mengernyitkan dahi sambil terus was-was takut Galaksi berbuat macam-macam padanya.

Galaksi menangkap perubahan nyata yang tertera di wajah gadis itu, cemas seperti orang ketakutan. "Jangan takut, gue di sini mau bantu lo," ucap Galaksi tulus, sambil menatap Alana nanar. Sehingga melenyapkan semua pikiran buruk yang ada di benak Alana dalam waktu sekejap.

"Ayo bangun!" Galaksi bangkit lalu mengulurkan tangan, tersenyum meyakinkan Alana bahwa masih ada orang yang peduli. Tulus membantu, tak hanya sekedar ingin tahu seperti orang-orang pada umumnya.

Alana meraih uluran tangan itu, membalas senyuman Galaksi. Ia kembali bangkit dari keterpurukan, selalu ada harapan untuk memulai hidup. Hidup yang lebih baik, sekalipun bersama orang yang baru dikenalnya.

Mereka menyusuri koridor, jelas menciptakan tanda tanya bagi sebagian orang yang kerjaannya mengurusi hidup orang lain. Tukang gosip yang merangkap menjadi anak jurnalistik. Alana menunduk malu, ia tak bisa berkutik saat Galaksi menggandengnya menuju kelas. Ooh iya, perlu dirasakan, aroma farfum Galaksi sama dengan Angkasa.

"Perhatian semua!" seru Galaksi di ambang pintu kelas Alana. Mengheningkan cipta kelas bernuansa hijau tersebut selama beberapa saat sebelum lelaki itu kembali melanjutkan ucapannya.

"Kalau ada yang berani macam-macam sama dia, gak segan-segan gue jadiin santapan makan siang!" lanjut Galaksi mengancam, mengedarkan tatapan nyalangnya ke arah penghuni kelas yang mulai terlihat gemetar.

Para anak tersebut mengangguk patuh secara serempak, Galaksi mengacungkan jempolnya ke udara. Lalu, melempar senyuman penyemangat ke Alana yang mematung di tempat. Alana tak sempat membalas senyuman itu, tapi dalam hati ia mengucap syukur dan tenang.

Seperti biasa, kerjaan Alana setiap hari Kamis tiba. Jadwal piket, ia lantas berjalan menuju almari peralatan yang berada di pojok kelas. Sebelumnya menaruh ransel terlebih dahulu. Tiba-tiba saja, seseorang memyeletuk dari belakang. Alana menoleh spontan.

"Al, mending lo gak usah piket. Nanti kita dinyokai-nyokai sama pelindung baru lo itu, siapa namanya?" Siswi berkuncir kuda itu meminta tanggapan dari teman-temannya.

"Galak! Galaksi maksudnya," sahut yang lain. Kemudian ada lagi yang menimpali,"Iya, kita gak mau dimarahin si cogan galak."

Alana terdiam, menggeleng tak setuju. Tersenyum tipis mendengar teman-teman satu jadwalnya yang masing-masing sudah memegang peralatan kebersihan. Ia kembali ke niat awal, ingin menyapu lantai kelas yang lumayan kotor. Tiga anak tersebut menghela napas kasar. Alana kan pendiam yang keras kepala.

Setelah kerjaan selesai, Alana melangkahkan kaki ke balkon. Ia sengaja ke sana, untuk mendapat angin yang lewat karena keringat sudah membasahi penuh dahinya saat ini. Sekilas Alana melirik arjoli putih yang melingkar manis di pergelangan tangannya, masih ada 5 menit lagi sebelum bel masuk berbunyi.

Alana tersentak begitu sesuatu dingin menyentuh punggung tangannya, dengan cepat gadis itu menoleh. "Eh elo, ngagetin aja," ucap Alana mendapati Galaksi yang datang kembali. Tatapannya teralihkan pada sebotol susu cokelat yang disodorkan Galaksi padanya.

"Buat lo, Angkasa bilang lo suka susu cokelat." Setelah Alana menerima, Galaksi berbalik berniat pergi karena bel sebentar lagi akan bebrunyi. Kelas lelaki itu ada di lantai 3, butuh waktu untuk sampai ke sana.

Alana mencekal Galaksi. "Lo disuruh Abang buat ngelakuin ini semua?" tanyanya. Galaksi mengangguk sebagai jawaban dan mengiringi dengan senyuman yang lagi-lagi terukir.

Bibir lelaki itu menjelaskan lebih rinci, "Kita gak musuhan lagi, Angkasa nitip lo ke gue. Mulai sekarang, apapun urusan lo...." Galaksi menjeda sebentar ucapannya yang bernada posessive di telinga Alana yang mendengar.

"Itu urusan gue dan tanggungjawab gue, Alana Ratu Putri."







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top