Bab 14
Alana mengerjapkan mata berulang-ulang begitu cahaya mentari masuk melewati jendela yang terbuka sempurna. Mengernyit sebentar, bingung mengapa bisa terbuka?
Namun, Alana tak ambil pusing. Ia malah memandang air matanya sendiri di atas bantal tersebut sudah mengering, tapi membekas. Sama halnya dengan tangisan Alana.
Gadis itu berjalan menuju meja rias, Alana terkejut mendapati matanya sembab seperti panda berwarna kehitaman. Pipinya juga lengket dan ditambah rambut yang acak-acakkan membuat Alana mirip orang gila sekarang. Jangankan sekolah, ingin keluar kamar saja Alana tidak mau.
Pandangan Alana teralihkan saat menyadari ada setangkap roti beserta susu cokelat di atas mejanya. Ooh, Alana mengerti sekarang penyeabab jendelanya terbuka. Mungkin Arland atau Sarah yang melakukan.
Siapapun yang berbaik hati, Alana minta maaf. Selera makannya hilang, meskipun tubuhnya saat ini lesu. Sekedar meminum susu pun, Alana tak mau. Padahal, susu cokelat adalah minuman favorite-nya. Ia sama sekali tidak nafsu, apalagi dengan roti berselai kacang yang diberikan padanya.
Alana memutuskan untuk tidur kembali, lagi pula waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Buat apa bangun, jikalau akan hanyut dalam tangisan. Lebih baik menutup mata, melupakan semuanya walau sesaat.
Sebelum memejamkan mata, Alana memilih posisi ternyaman. Benda wajib, jika tanpa guling Alana tidak bisa tidur. Ia lantas mencari di mana benda tersebut, ternyata di bawah kolong kasur. Kebiasaan, Alana memang kalau tidur tidak bisa diam. Memakan tempat dan menjatuhkan barang-barang yang ada di sekitarnya.
Jeritan Alana tertahan, begitu melihat lengan seseorang di bawah kasurnya. Ia menggigit bibir bawah takut, belum mengetahui siapa pemilik tangan tersebut. Takutnya, orang asing jahat yang ingin berbuat macam-macam.
Namun, diam tak melakukan apa-apa malah memperparah keadaan. Lantas, dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya, Alana menggoyang-goyangkan tangan orang itu sambil memjamkan mata.
"Al, ini abang, dek!" Suara berat Arland. Baru lah Alana membuka kelopak matanya, menghela napas lega.
"Ngapain abang di sini?!" sentak Alana dengan suaranya yang parau. Mungkin karena semalaman menangis.
"Sssttt ... abang mau ngajak Alana," beritahu Arland seraya keluar dari tempat persembunyian. Lelaki itu membersihkan sebentar kaus putihnya yang kotor tertempel debu, menatap jengkel adiknya yang pemalas. Pasti karena tak pernah disapu.
Alana terkekeh sebelum bertanya diiringi raut wajah penasaraan. Mulutnya setengah mengaga, tapi Angkasa segera berucap, "Nyusul Angkasa." Seolah bisa membaca pikiran adiknya.
Gadis itu terkejut, "Abang serius?!" Matanya berbinar saking senangnya. Angkasa mengangguk sebagai jawaban, lalu diikuti Alana yang jingkrak-jingkrak tidak jelas di atas kasur. Melebihi kata senang.
"Sssttt...." Arland memukul betis Alana yang bisa dijangkaunya, hingga membuat gadis itu berhenti melakukan aksinya yang seperti anak kecil.
Arland beranjak menuju roti yang Alana anggurkan, "Tapi Alana harus makan dulu." Alana melengos dan menghela napas pasrah. Menerima roti yang disodorkan Arland ke mulutnya, mengunyah malas-malasan.
Arland mengembangkan senyum, bersyukur Alana menggagalkan niat untuk mogok makan. Jika tidak karena keputusannya untuk menyusul Angkasa, mungkin Alana akan mati kelaparan.
"Bang, lo udah tahu semuanya?" Di sela-sela makannya, Alana bertanya serius. Ia heran, mengapa Arland bisa berubah pikiran dalam waktu secepat ini. Padahal, ia sendiri tak memberi tahu.
"Iya, bunda sendiri yang cerita." Mendengar Arland menyahut, Alana tersedak tiba-tiba. Ia berusaha meraih susu yang cukup jauh dari jangkauannya, tapi tidak sampai. Arland mendecak dan turut membantu.
Setelah menghabiskan setengah gelas, Alana kembali mengangkat suara. "Bunda cerita ke lo? Langsung?! Terus, apa reaksi lo denger cerita bunda?" Ia menyerbu dengan pertanyaan antusias.
Arland menyahut dengan nada anarkis, "Iya tadi malam. Gue bilang bunda gak salah, tapi nafsu bunda yang harus dihilangin!"
Alana meringis kecil, Arland selalu saja kalau berbicara pakai urat dan kuah. Kan selera makannya jadi down, lantas gadis itu bangkit dan berjalan menuju toilet. Berniat mencuci muka dan menyikat gigi, tidak untuk membersihkan badan. Alana pemalas, apalagi jika menyangkut mandi.
Sambil menunggu Alana, Arland yang merasa bosan tergerak untuk memainkan ponsel adiknya itu. Tidak dikunci, lelaki itu langsung membuka aplikasi chating yang sering digunakan Alana, whatsapp.
Kontak Bang Angkasa paling atas, anehnya ditambahi embel-embel eemoticon love warna hitam. Arland tahu, mereka berdua pernah terjebak adik-kakak zone. Saat itu, Arland menegur mereka tegas. Akhirnya Angkasa berpindah hati.
Kepada seorang gadis yang notabenenya adalah pacar Arland, tak lain tak bukan adalah Putri. Itu alasan mengapa Arland membenci Angkasa, adiknya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu Arland justru bersyukur. Tahu kan, Putri bukan perempuan baik-baik.
Alana :
Angkasa
Bang, dmn?
Angkasa :
Di sini
Alana :
Serius, nyet'_'
Bang arland udh sdr
Nyariin lo
Angkasa :
Wait me
OTW.
Alana :
Capslock kepencet gajah ya
Gc, lama auto sentil jantung
Arland ingat, itu hari di mana dirinya kecelakaan karena balap motor bersama Galaksi. Musuh terbesar Angkasa di sekolah, Arland sengaja memancing Angkasa bertengkar. Karena Arland ingin balas dendam, ingin melihat adiknya dikeluarkan dari sekolah.
Perlahan, setetes air mata jatuh. Jika ada sosok Angkasa di depannya saat ini, Arland rela meminta maaf ribuan kali. Arland sadar, tak seharusnya melakukan adiknya sekejam itu. Arland terlalu egois, bahkan saat kondisi terpuruk pun dirinya sebagai yang tertua tak melakukan apa-apa. Malah Angkasa yang banting tulang jadi kuli.
"Bang Arland! Apa sih bu--eh, abang nangis?" Alana segera menghampiri Arland yang terduduk di tepi ranjang dengan bahu berguncang hebat.
"Gak ada gunanya nangis karena menyesal, Bang. Semua udah berlalu, Alana yakin Angksa maafin abang." Alana tersenyum agar Arland tak lagi bersedih.
"Sekarang yang terpenting, kita susul mereka lebih dulu. Tapi...." Arland menoleh dengan satu alis terangkat, karena terselip nada gelisah dari adiknya itu.
"Tapi, apa setega itu kita ninggalin bunda di sini? Apa abang udah merasa gak berdosa, gak takut durhaka?" tanya Alana, baru sadar masih ada alasan untuk bertahan. Namun juga, ada alasan yang mendominasi, rindunya pada Angkasa. Ia tak bisa menahan.
Arland termenung, bingung memilih bunda atau papah. Dua-duanya Arland benci, tapi dua-duanya juga Arland sayang. Pilihan mana hang paling tepat? Semua keputusan ada di tangannya, masing-masing memiliki konsekuensi yang tidak main-main.
Bunda atau papah?
Lama Arland berpikir, supaya matang. Alana yang sudah tak sabar, kemudian bertanya, "Gimana?" Sebuah pertanyaan yang sulit untuk Arland jawab.
"Tetap di sini, samping bunda."
Alana bangkit seraya menggebrak meja belajarnya, matanya nyalang menatap Arland. "DASAR LABIL!" Lalu, gadis itu menyerbu tas selempang yang digantung di dinding secara kasar.
"Al, berikap lebih dewasa bisa gak sih?" Arland tak berniat mengejar Alana yang sudah bersiap-siap meloncati jendela. Namun, perkataannya berhasil membuat Alana tersadar dengan sendirinya.
"Sebelum ngatain orang labil, coba intropeksi diri dulu. Lo udah bener belum?" Lelaki itu kini mendekat, mencekal lengan Alana lembut.
Mereka adu pandang lekat. Arland menjelajahi bola mata hitam legam milik adiknya, ternyata menampakkan kesedihan yang amat dalam. "Kita gak bisa merubah Takdir, tapi kita bisa mutusin pilihan yang tepat. So, ikutin kata-kata abang ya, sayang."
Bagai dihipnotis, Alana menganggguk setuju. Mungkin takdirnya memang seperti ini, jauh dari sosok Angkasa. Ia percaya, cepat atau lambat semua akan membaik.
"Alana janji, gak akan ninggalin abang. Hidup kayak dulu lagi, walaupun tanpa Bang Angkasa."
Angkasa bukan oksigen, tanpanya Alana akan tetap hidup. Mulai detik ini, ia bertekad untuk move on, semangat!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top