Bab 13

Alana turun dari mobil bundanya, melambaikan tangan kanannya ke udara tanda perpisahan. Ia mengembangkan senyum yang dipaksakan. Setelah menyadari mobil bunda yang sudah tak terlihat, gadis itu menghela napas lega.

Lalu, ia mengedar memastikan tidak ada yang melihatnya ingin bolos. Beruntung Alana bisa mengatur waktu untuk bangun lebih cepat, jadi sekarang paling ada beberapa murid saja yang datang. Itu pun bukan teman sekelas Alana, ia bisa kabur sekarang.

Langkahnya cepat menuju jalan raya yang dilalui angkot. Ia bertekad untuk mengunjungi Angkasa lagi, Alana sudah tak ada semangat untuk belajar. Di depan bunda, Alana bersikap biasa saja padahal jauh di lubuk hatinya, Alana kesepian. Alana tak bisa terlepas dari kakak keduanya itu, Angkasa.

Matanya berbinar begitu ada angkot yang lewat, lantas Alana segera menaikinya. Sepanjang perjalanan yang Alana lakukan hanya lah merapalkan doa agar bisa bertemu Angkasa. Itu keinginannya yang sempat disampaikan ke bunda, tapi bunda malah seolah tak acuh. Menurut Alana, bunda sudah tidak peduli lagi dengan anak keduanya itu.

"Terminal, bang!" ucap Alana bersiap turun saat mobil berhenti.

Ia langsung berlari kecil ke warung Putri dengan antusias. Putri yang sedang berdiri dangan beberapa kopi hitam di atas nampan lantas mengembangkan senyumnya.

"Kak Putri!" pekik Alana.

Putri langsung menempelkan jari telunjuk ke bibirnya, mengode Alana untuk tidak berucap kencang-kencang. Alana terkekeh sebentar sebelum menjelaskan tujuan kedatangannya.

"Abang udah ke sini atau belum, Kak?" tanya Alana setengah berbisik.

"Belum, udah dua hari gak ke sini. Kata kuli lain sih, dia dipecat." Putri berucap dengan nada memelan disertai raut wajah turut prihatin.

Alana terdiam, menunduk meratapi sepasang sepatu sekolahnya. Feeling-nya selalu benar, Angkasa pasti kenapa-kenapa. Putri mengelus bahu Alana, mencoba menenagkan adik mantan pacarnya yang terpuruk itu. Bagi Putri, Alana sudah dianggap keluarga sendiri.

"Sabar ya, sayang." Putri membawa Alana ke dekapannya begitu sadar Alana mulai menangis.

"Alana sayang Bang Angkasa, gak mau dia kenapa-kenapa." Alana mencoba berbicara mengutarakan suara hatinya, ia yakin hanya Putri yang mengerti bagaimana perasaannya saat ini. Karena bunda maupun Bang Arland, sama sekali tak menghiraukan ucapannya.

Isakan Putri mulai menyertai, beradu dengan tangisan Alana yang sudah pecah daritadi. Tetesan air mata Putri, membasahi rambut Alana yang ada di bawahnya. Mereka terus menangis tanpa sadar ada tangisan baru yang ikutan-ikutan.

"Raja nangis, Kak Putri liat dulu ya." Putri melepaskan pelukannya, mengahapus air mata Alana sebentar, satu usapan saja. Lalu melenggang menuju anaknya yang ada di dalam warung.

Alana berjalan menuju bangku panjang yang terbuat dari kayu beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Menjatuhkan bokongnya di sana dan mengedarkan pandangan. Pusing melihat banyaknya orang di terminal, tapi Alana harap ada Angkasa salah satunya.

Tiba-tiba Alana teringat sesuatu, ia kan masih memiliki kontak Angkasa. Mengapa tidak menelponnya saja? Barangkali diangkat.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi....

Tutt ... tutt ... tutt....

Alana mendengus kesal, ia coba sekali lagi tetap sama. "Abang di mana?" lirih Alana sambil menatap foto mereka bertiga yang djadikan wallpaper. Wajah berseri penuh kebahagiaan. Satu tahun yang lalu, sebelum semuanya terjadi.

Andai Alana bisa memutar waktu, mungkin ia akan menghentikan di titik itu. Titik di mana keluarganya belum terpecah seperti sekarang, dan rumah adalah tempat mereka pulang. Bukan tempat angker untuk bertengkar dan adu argumen.

Namun, tidak bisa. Tuhan lah Sang Skenario Takdir yang terbaik bagi setiap umat-Nya. Alana yakin, di balik segala macam cobaan silih berganti, ada hikmahnya. Salah satunya, mengajarkan Alana untuk lebih kuat menjalani kehidupan.

"Hehe, Angkasa emang pengin beda sendiri ya dari dulu. Yang lain gak pakai kacamata, dia pakai. Yang lain meletin lidah, dia ketawa."

Alana menoleh, tak sadar akan kehadiran Putri secara tiba-tiba di sampingnya. Ia mengusap kasar air mata yang kembali menetes, beruntung tak sederas tadi.

"Iya, Bang Angkasa emang gitu. Sekarang aja, pengin pisah sendiri."

Putri merangkul Alana, tersenyum penuh arti. "Dia cuma mau mandiri, nanti juga pulang kok," ucapnya meyakinkan.

Alana mengangguk, walaupun tak tahu ucapan Putri benar atau tidak. Ia harap begitu, Angkasa akan pulang. Kembali bersamanya, di sampingnya, menjalani kehidupan baru dalam naungan bunda. Di rumah bunda yang tak sebesar dulu tanpa kepala keluarga.

Drttt

Alana terkesiap, membaca nama yang tertera di layar ponsel membuatnya menelan ludah kasar. Bang Arland menelpon.

"Hallo? Al! Lo di mana? Lo bolos sekolah ya?"

Alana menggigit bibir bawahnya takut, belum juga menyahut pertanyaan Arland di sebrang sana.

"Alana jawab atau abang hukum pas pulang?!"

"I--iya, Alana bolos nyari Bang Angkasa."

Terdengar decakan dari mulut Arland, Alana memejamkan mata. Ia tak bisa membayangkan semarah apa Arland padanya nanti.

"Di mana?!"

"Terminal, Bang."

Tutt ... tutt ... tutt....

Lalu, panggilan dimatikan sepihak oleh Arland. Ia pasrah, mungkin Tuhan tidak mengizinkannya bertemu dengan Angkasa hari ini. Angkasa, di mana pun berada, Alana rindu ingin bertemu. Mungkin esok atau hari-hari berikutnya.

***

Alana menahan sakit saat Arland menyeretnya masuk ke rumah. Ia sudah meronta-ronta meminta dilepaskan, tapi Arland seolah tuli. Tak mendengar apa yang adiknya sendiri lontarkan.

"Bang, sakit!" sentak Alana menyadari pergelangan tangannya yang mulai memerah dicekal Arland. Kali ini, Arland melepaskan secara perlahan. Terdiam sebentar memandang adiknya yang kesakitan.

"Maaf, Al." Arland terduduk di sofa dan menundukkan kepala. Lirihannya berhasil menarik simpati Alana untuk ikut duduk.

"Kok, abang yang nangis?" tanya Alana heran. Pasalnya yang kesakitan kan dia, mengapa jadi Arland yang terisak begini?

Arland mendongak, menggeleng dan tersenyum di depan adiknya. Senyum palsu yang amat dipaksakan. Miris, ada apalagi ini?

Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan pandangan kakak beradik tersebut, di ambang pintu berdiri seseorang. Alana langsung berhambur untuk memeluk bunda, bunda membalas pelukan Alana.

"Kamu kok bolos sayang, cerita ke bunda. Kenapa Alana bolos?" Bunda membelai rambut putri bungsunya dengan lembut, sama sekali tidak terselip nada marah dalam diri wanita itu.

"Al--Alana pengin ketemu Bang Angkasa." Lalu, tercipta tangisan yang berpadu dalam waktu bersamaan, bagikan paduan suara. Dari Alana, Arland, dan Bunda Sarah.

Sampai akhirnya tangis mereka terhenti, Alana mengangkat suara, "Alana gak mau Bang Angkasa menderita." Tulus sekali Alana ucapkan.

Dengan langkah yang gemetar, Arland mendekat. Lelaki itu menyodorkan kertas di tangannya pada Alana, sontak saja Alana mengerutkan dahi bingung.

Dear Alana,

Maaf, abang harus ikut papah. Jangan cari abang lagi, Alana jaga bunda terus. Ada Bang Arland, Alana harus nurut sama dia.

Alana meremas surat itu dengan penub kekesalan dan amarah yang bergejolak dalam dirinya, ia kecewa dengan Angkasa. Mungkin perasaan Arland dan bunda pun tak jauh beda saat ini. Namun, mereka mengungkapkannya dalam tangisan. Meskipun bukan solusi tentunya.

"Dan lo mau tau mereka di mana?"

Arland tersenyum miris melihat Alana mengangguk.

"Di Bali, liburan asyik-asyikkan. Foya-foya buang uang. Lupain kita yang ada di sini!"

Alana memejamkan mata begitu Arland berucap tepat di depan wajahnya, seperti melampiaskan segelanya pada gadis itu.

"Sekarang, setelah tahu semua ini. Apa lo bakal nangisin dia lagi, Al? Sayang lagi sama manusia busuk itu, iya?!"

Sarah menenangkan Arland yang meluap-luap. Emosi seorang remaja laki-laki memang lebih ganas daripada perempuan. Bisa saja kan Arland kelewatan sampai memukul Alana sebagai pelampiasan? Iya.

"Jawab, Al. Kalau diam aja, berarti lo pilih mereka."

Alana diam saja, itu artinya....

"Alana netral, bunda juga salah dari awal."

Sarah yang mendegar, tak merespon apa-apa. Menyadari memang awal semua permasalahan bermula darinya sendiri.

"Alana udah tahu semuanya, Bang Angkasa yang cerita."

"Bunda lebih jahat daripada papah!"

Setelah itu, Alana berbalik dan berlari menuju kamarnya. Membanting pintu dengan keras, kembali menangis. Lagi dan lagi, memang sepertinya hidup Alana selalu bernuansa kesedihan.

Tidak! Percaya lah, semua akan berlalu cepat atau lambat. Roda kehidupan senantiasa berputar, sabar jalani di titik terendah. Selama belum menyentuh tanah, semua bisa terjadi.


























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top