Bab 12

Tanpa Angkasa, rasanya ada yang mengganjal di kehidupan Alana. Gadis itu cemas, takut, rindu semuanya menjadi satu. Membuatnya hanya bisa diam dan melamun di segala tempat. Seperti sekarang contohnya, di kelas saat KBM mengajar pun Alana malah menatap guru dengan pandangan kosong.

"Alana!" Si pemilik nama mengerjap, memperhatikan se kelilingnya. Tertanya Bu Ester yang bersuara, mengagetkan saja.

"Iya, Bu?" tanya Alana, belum sadar apa kesalahannya sendiri. Ia berkespresi dengan tampang lugunya, membuat gatal Bu Ester untuk mengeluarkannya sekarang juga. Guru-guru di sini memang sadis, tidak tahu mengapa. Paling yang asyik cuma guru olahraga saja, itu pun kalau memang di situasi tak ada kegiatan.

Bu Ester menarik napas pelan, ungkapan kepasrahannya. Lalu mengangkat suaranya kembali, "Keluar!" Menggema ke seluruh penjuru kelas, menciptkan suasana hening beberapa saat.

"Gak kakaknya, gak adiknya. Selalu cari masalah," gerutu Bu Ester dengan tatapan jengkel. Melihat Bu Ester berbalik, Alana memeletkan lidahnya tanda mengejek.

Para penghuni kelas menahan tawa, tapi berhenti begitu Alana menatap mereka satu per satu dengan tatapan membunuh. Semenjak tiga hari bolos sekolah, kelakuan Alana berubah 180 derajat. Semakin memburuk saat Angkasa tidak ada di sampingnya.

"Saya akan bilang ke wali kelas kamu!" Bu Ester mengancam sambil menjatuhkan bokongnya di bangku guru. Alana? Masa bodo, ia tak peduli lagi dengan kehidupan sekolah. Hanya satu yang Alana inginkan, Angkasa kembali lagi bersamanya. Tinggal di rumah bunda.

Alana lantas membereskan barang-barangnya, tak hanya keluar kelas. Bahkan Alana berniat meninggalkan sekolah. Bu Ester yang melihat itu segera bertanya lantang, "Mau ke mana kamu?!"

Terdengar decakan kecil dari bibir gadis itu. Tanpa menatap Bu Ester, Alana menyahut, "Pulang." Sangat enteng untuk diucapkan, tak takut Bu Ester mengamuk.

Namun, apa yang terjadi? Bu Ester tak berkutik, saat Alana melangkah pun tetap mematung di tempat. Sangat tidak sopan, Alana tak mengucapkan sepatah kata apapun sebagai tanda perpisahan. Ia melenggang begitu saja dengan langkah santai.

Tak mungkin izin lebih dulu di meja piket, yang ada Alana langsung disantap habis-habisan dengan cacian. Gadis itu terdiam sejenak, tepat kakinya menginjak tanah lapang yang basah karena semalam diguyur hujan. Matanya was-was, takut-takut ada guru yang patroli ke sini.

Dirasa aman, ia menaiki kursi kayu milik salah satu kedai di kantin yang sudah reyot. Tembok besar yang menjulang tinggi tak mematahkan semangat Alana untuk mencari kakaknya. Rindu telah menggebu, semua dikalahkan oleh perasaan itu.

Alana membekap mulutnya sendiri, ancang-ancang akan terjun dari ketinggian yang lumayan. Ia menutup mata sebentar, takut. Namun, lagi dan lagi ia ingat Angkasa.

"Aww!" ringis Alana pelan, untung saja mendarat di aspal. Bagaimana jika di selokan yang berada sejengkal saja dari tempatnya mendarat? Ooh tidak, menjijikan sekali.

Dengan cepat, Alana menyetop kendaraan umum yang melintas. Ia pikir, lebih baik keliling Jakarta menggunakan kendaraan agar tidak lelah. Angkot yang ia tumpangi juga melewati jalan besar di tengah Ibu kota, jadi ada kemungkinan besar banyak menemui proyek pembangunan. Angkasa bilang kan kerja jadi kuli bangunan.

Alana memilih duduk di pintu, lagi pula di dalam penumpangnya pada tidak mau geser. Ya begini lah naik angkutan umum. Alana tak berpengalaman, tapi ia tahu rasanya.

Angkot berhenti di terminal, semua penumpang sudah turun kecuali dirinya. Abang supir lantas menoleh, bertanya pada Alana yang tak kunjung turun, "Neng, turun di mana?"

Seperti pada saat di kelas, Alana mengerjap dari lamunannya. Ia memandang si supir dengan satu alis terangkat, meminta pengulangan.

"Turun di mana? Saya gak narik lagi," ulang si supir sambil menghitung-hitung uang logam yang ada di dashboard. Lebih jelas disertai penjelasan.

"Ooh, saya turun di sini, Bang." Alana segera turun dan menyerahkan uang lima ribu rupiahnya. Ia memicingkan mata, mentari terik sekali siang ini. Terminal penuh polusi, Alana yakin akan terjangkit flu dalam waktu dekat. Fasenya ; flu, pilek, dan batuk.

Entah apa yang menarik Alana untuk ke sana, tepatnya ke penjual minuman yang terhalang bus-bus besar. Ada daya tarik yang kuat. Tepat di hadapan punggung penjual yang membelaknginya, Alana berdehem.

"Ka-Kak Putri!" pekik gadis sambil menutup mulut saking terkejutnya.

Gadis yang dipanggil Putri tersebut hanya diam, begitupun dengan Alana yang sekarang. Alana menelan ludahnya kasar, menatap penuh tanda tanya ke arah bayi laki-laki yang berada dalam gendongan Putri. Seolah bisa menjawab tatapan tersebut, Putri berucap, "Ini anak kakak."

Jelas, Alana yakin pendengarannya tidak salah. "Da--dari?" tanya Alana harap-harap cemas. Takut, anak itu darah daging abangnya yang sedang ia cari. Siapa lagi kalau bukan Angkasa yang notabenenya adalah mantan pacar Putri.

Putri tersenyum tipis, sambil mengelus bahu Alana secara singkat. "Bukan abang kamu kok, Alan tenang aja."

Kini, Alana bisa menghela napas tenang. Lalu, kembali memgarahkan pandangannya lagi pada bayi kecil yang belum ia ketahui namanya itu. "Lucu, namanya siapa, Kak?" tanyanya seraya menyubit pipi anak Putri dengan gemas.

Memang dasar Alana, bayi tampan itu sedang tertidur bodoh. Terdengar rontaan tangis begitu Alana selesai menyubit. "Eh, kok nangis? Cup, cup, cup. Jangan nangis, sayang." Alana berusaha menenangkan, tapi nayatanya malah membuat oktaf si bayi meninggi.

Putri segera menimang-nimang dan memberi botol susu di tangannya. Tangis itu pun terhenti, si bayi mungil kembali menutup kelopak matanya. Tertidur lagi, Alana mengunci rapat mulutnya agar tak bersuara sedikit pun.

Drttt....

Bang Arland :
Alana
Lo bolos ya?

Jantung Alana mencelos membaca pesan dari Arland. Sial, Bu Ester begitu cepat menghubungi keluarganya.

Alana :
Hehe
Iya bang

Pesan dibaca, tapi tak dibalas oleh Arland. Kalau sudah begini, sudah pasti Arland marah. Namun, Alana meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Kamu cari apa di sini? Sekarang kan masih jam sekolah, Alan bolos ya?" Putri kembali bersuara karena dirasa bayinya sudah pulas.

Alana memperhatikan deretan gigi putihnya yang terusun rapi, cengiran kuda yang ia berikan untuk menjawab pertanyaan Putri.

Putri berucap, sekedar mengingatkan, "Nanti dimarahin abang-abang kamu lho, apalagi Bang Arland." Sambil berjalan ke arah segerombolan kuli yang baru datang.

"Alana cari Bang Angkasa...." lirih Alana menundukkan kepalanya. Ia tak kuasa menahan tangis, dari tadi ditahan-tahan dalam angkot.

Tiba-tiba saja ada yang memengang pundaknya, Alana lantas mendongak. "Abang!" pekiknya girang, bulir-bulir air mata yang turun berubah menjadi air mata gembira.

Tanpa ba bi bu lagi, Alana berhambur masuk ke dekapan Angkasa. Tak peduli walaupun kotor dan bau keringat, yang penting rindunya terobati. "Bang, pulang ya." Gadis itu memohon lewat tatapannya.

Angkasa menggeleng tak menyetujui ajakan itu. Hidup sendiri lebih baik, daripada hidup bersama orang yang dibencinya di rumah. Ada bunda, Angkasa benci bunda Sarah.

"Alana boleh ikut abang aja?" pinta Alana, memasang pupy eyes-nya dan mengatupkan tangannya di depan dada.

Angkasa mengelus lembut puncak kepala adiknya, menjawab dengan nada pelan, "Gak boleh ya, sayang."








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top