Perempuan Pecinta Hujan
Kali ini hujan turun lagi. Dan aku hanya bisa memendam sendu. Lirih. Tidak tahu apakah harus tersenyum dan bersedih karena ini. Setiap hujan, selalu menghadirkan bayangnya. Tanpa ilusi, tanpa kekaburan. Ia seakan mewujud nyata. Dan selalu saja, aku merasa tidak berdaya akan kilas tentangnya.
Perempuanku, yang mencintai hujan.
***
"Aku tak mengerti kenapa kamu bisa terhantui olehnya," sahut Nadin, temanku sejak SMA. Dulu pernah aku kuliah satu jurusan dengannya, sampai suatu saat impianku direnggut paksa oleh keadaan yang mengharuskanku kuliah lagi dengan jurusan berbeda. Jadilah, kami yang seharusnya seangkatan dalam kerja, kini terpaut jarak yang berbeda. Aku masih kuliah sementara dia sudah bekerja. Namun, kami masih berteman sampai sekarang. Dan karena sudah lama kenal, Nadin suka sekali mengomentari apapun yang kulakukan, termasuk statusku yang ku upload di dinding Facebookku. Tentang kerinduan dan hujan. Dia benci sekali saat dia tidak tahu apa yang kulakukan sementara dia selalu bercerita tentang dirinya tanpa kuminta.
Aku hanya mengedikkan bahu. Bukan tidak menghargainya tapi aku sedang tak ingin berbagi cerita. Apalagi cerita yang ini. Cerita tentang perempuan. Perempuan hujanku.
Melihat keacuhanku, Nadin tak melanjutkan komentarnya. "Your life, your decision," desahnya.
Ah, dia marah rupanya. Tapi setidaknya untung bagiku karena dia tidak akan menyinggung mengenai statusku lagi. Kucoba mengalihkan perhatiannya.
"Makan, tuh. Nanti dingin,' ujarku menunjuk piringnya yang baru setengah habis. Sepertinya dia sedang tidak mood untuk makan kali ini. Kukira setidaknya aku bisa mendapatkan tambahan porsi makanan lagi he he he. "Atau kamu nggak doyan?"
Wajahnya menampakkan mimik kesal. Dia tahu trikku yang hendak menyabotase makanannya, sehingga akhirnya aku bisa makan banyak tanpa harus susah payah. Dia sebenarnya tidak rela kurebut makanannya tapi toh dia kan tidak doyan?
Nadin mendesah. "Ya nggak doyan."
"Beneran ikhlas?" tanyaku menggodanya dengan menarik piringnya ke arahku. Dia melirik sekilas.
"Ya deh ikhlas."
"Yakin?" tanyaku masih menggodanya.
Dia menatapku tajam. Ow, mending langsung makan saja deh, daripada bikin perkara. Kuraih piringnya dengan sukacita dan dengan rakus kuhabiskan dalam durasi kurang dari 5 menit. Biar saja, makan makanan sisa, demi mengirit pengeluaranku yang semakin mencekik leher sementara transfer dari orang tua tak seberapa. Maklum, anak mahasiswa yang jauh dari rumah.
Kulihat Nadin sedang mengetik sesuatu di ponselnya yang masih berjenis candybar, klasik seperti orangnya. Mimik mukanya serius. Lalu kudengar ia menggumam,"Sayangnya aku tak terlalu suka hujan."
Aku mengerling ke arahnya. Dia memamerkan senyum khasnya, miring separo sambil menelengkan kepala. Demi mendengar ucapannya, aku mengangkat sebelah alis, yang sudah pasti akan semakin membuatnya sebal karena dia tidak bisa melakukannya.
***
Semakin deras hujan turun, semakin pedih rasanya. Mencoba menepis bayangannya bukan perkara mudah. Apalagi, dia dengan nakalnya menari-nari menggoda dalam benakku. Aku hanya bisa terpana mengingat suaranya. Tatapan matanya. Tawanya. Yang terdengar jelas di antara gemericik air hujan.
Hhh... aku mendesah. Perempuanku, berhentilah berkeliaran dalam kepalaku. Sudah cukup menyayat dengan hadirnya hujan yang selalu menjadi percikan memori tentangmu.
Desir angin yang berhembuspun tak bisa menghibur laraku. Ah, hujan. Berhentilah menyenandungkan akan kehadirannya dalam hatiku.
***
Dan pada hujan kali ini pun aku takluk
Karena kamu tidak hadir dalam hariku saat ini
Langitpun seakan mengejekku dengan gurat hitam
Yang merampas warna-warna indah yang kunantikan
Hanya pucat dan kelam, bias berbayang
Mungkin karena rindu yang bersarang
Menjadikan dunia ceriaku retas hilang
Mungkin juga karena aku mencintaimu
Itu saja.
***
"Nad?" panggilku hati-hati pada sosok yang sedang serius membaca buku itu. Nadin dan buku sudah seperti hujan dengan awan. Selalu tak terpisahkan. Ku melangkah mendekatinya. Bayanganku jatuh mengenai buku yang sedang dibacanya.
"Hmm?" gumamnya tanpa menoleh.
Kujentikkan jari di depannya. "Lihat sini dong kalau diajak ngomong!"
Nadin mendongak. Ekspresinya kosong,
"Bisa minta tolong?" tanyaku pelan. Dia sama sekali tak menyahut. Hanya matanya mengerjap. Kuanggap itu sebagai isyarat untuk melanjutkan. "Tolong hubungi beberapa sponsor yang kamu rekomendasikan kemarin... kalau aku yang melakukannya sepertinya sulit."
Nadin masih tak berekspresi. Terpaksa, lobianku masuk gigi dua.
"Kan kamu yang kenal sama orang-orang ini. Bilang saja aku temanmu. Terus maksud dan inti dari proposal kegiatanku sama manfaat yang bakal mereka dapat dari kegiatan itu. Yah?"
Nadin tak bergeming. Oke, Satya, gigi tiga!
"Please, Nad... aku butuh banget. Dana yang dibutuhkan cukup besar, tapi sponsor yang ada masih belum bisa menutupi kebutuhan anggarannya. Ini juga bakal mempengaruhi kredibilitasku. Masak kamu tega?" kataku memelas sambil menyodorkan proposal kegiatan seminar yang akan diadakan kampusku dengan aku sebagai ketua panitianya. Nadin menatap proposal di depannya seraya mengernyit. Duh, gigi empat! Terakhir!
"Nad, kita temenan sudah lama kan?" ujarku mencoba memasukkan password atau kata kunci yang bisa meluluhkanya. Sebelum omonganku berlanjut, Nadin mengangkat tangannya, mengisyaratkanku untuk berhenti bicara.
"Sebentar," tukasnya seraya meraba sesuatu di telinganya dari balik jilbab kuningnya. "Kamu ngomong apa sih?"
Kini giliranku yang bengong. Speechless. Dia meraih proposal yang kusodorkan padanya.
"Oh, seminarmu kemarin itu ya? Belum sukses loby sponsornya?" tanyanya polos. "Trus, sama rekomendasi yang aku kasih kemarin gimana? Bisa?"
Aku menarik napas. "Kamu dari tadi enggak denger omonganku sama sekali?"
"Enggak... lagi pake headset. Tapi kamu nyerocos terus. Ya udah. Emang kenapa sih? Susah ya? Ntar deh ku usahain kontak ma orang-orang itu. Siapa tahu bisa gol. Ntar jangan lupa komisinya ya!"
Aku jadi gondog. Tuhan... tolong....
"Gimana? Mau dibantuin, enggak?"
Aku menatap ke arahnya gemas.
***
Akhirnya aku terdampar dalam pesonamu
Walau aku mengerti aku harus menahan diriku
Sekalipun aku akan bergegas berlari menyongsong ke arahmu
Saat kamu terjatuh
Saat aku dirundung pilu
dan kamu akan selalu ada
Namun bukan karenaku
Aku hanya bisa mengenangmu saat hujan mengguyur hatiku
***
Kami tersesat! Ya Tuhan, aku dan Nadin berputar-putar selama seharian penuh tak jua menemukan alamat yang dituju. Beberapa kali bertanya malah semakin menjauh dari peradaban. Kini kami seakan berada di tempat yang penuh dengan persawahan, dan sejauh mata memandang tidak ada hunian penduduk. Hanya ada saung-saung di tepi pematang sawah. Kamipun berhenti.
"Where we are?" tanyanya begitu aku menghentikan motorku di tepi jalan dan diikuti olehnya. Kami bersepakat naik motor sendiri-sendiri demi menghindari fitnah.
"Aku juga gak tahu. Gak pernah sampai ke daerah sini. Padahal arah yang ditunjukkin bapak tadi udah bener lho."
Nadin mengedikkan bahu. "So? Ini sudah mau malam... Kalau gak segera balik ke jalan raya kita bakal bermalam di jalan."
Aku mendesah. "Balik lagi aja ke jalan yang kita lewatin tadi."
Nadin mengangguk dan bergegas memutar motornya mengikuti jalur yang sudah kami lewati, aku mengekor di belakangnya. Sayangnya saat akhirnya mencapai perkampungan, jalanan lengang. Kulihat jam tanganku. Jam sembilan malam. Aduh. Sudah membawa anak gadis orang, sampai malam pula. Semoga aku tidak bakal digerebek hansip.
Tiba-tiba Nadin berhenti. Akupun melambatkan motorku dan mencapai sisi kirinya.
"Kenapa?"
"Sudah malam banget, ada tempat yang bisa buat nginap? Mungkin teman atau saudaramu mungkin?"
Aku menatapnya bingung. "Tapi kalau aku sampai bawa anak gadis orang ke rumah saudara... Ku bisa dikira nyulik kamu tahu."
"Oh iya. Habis gimana, masak mau tidur di jalan?"cerocosnya.
"Kamu disini gak ada saudara?"
"Jelas gak ada," tiba-tiba wajahnya mendadak cerah. "Kita cari warnet yang buka 24 jam. Aku bisa istirahat di situ. Ntar kamu bisa ke tempat saudaramu."
"Memang warnetnya aman? Malam-malam lho, Nad. Bahaya cewek keluyuran jam segini."
"Memang kamu ada ide lain? Kemungkinan berikutnya masjid."
"Di sini agak rawan, Neng..."
Nadin mendesah. Wajahnya terlihat letih. "Aku jelas gak ada uang kalau sampai menginap di hotel. Kelas melati sekalipun."
Aku jadi ikut letih. Aku sendiri juga dalam kondisi kantong cekak. "Ya udah kita cari warnet, tapi aku temenin kamu sekalian di sana. Jadi kalau ada apa-apa bisa tahu. Eh, tapi sekarang cari makan dulu ya. Lapar."
Nadin mengangguk."Tunggu! Uang kamu ada berapa sekarang? Aku cuma ada lima belas ribu. Lima ribu buat beli bensin besok. Sepuluh ribu buat bayar warnetnya."
Aku menggeram frustasi. Uangku sendiri juga pas-pasan! "Ya udah cari warnet dulu saja deh."
Setelah nyaris berjam-jam mengemudi. Akhirnya kami menemukan warnet di tepi jalan besar. Sayangnya warnet masih penuh (aku heran kenapa mereka suka banget browsing malam-malam begini), sehingga kami harus antre. Untuk mencari lagi, kami sudah terlalu letih ditambah lapar yang sangat menyiksa. Akhirnya kami berdua memarkir motor di parkiran di depan warnet tersebut dan duduk di trotoar yang menjadi pemisah warnet dan jalan raya.
Betapa tak terbayangkan kondisi kami waktu itu. Hanya demi mencari alamat perusahaan yang diberikan oleh temanku, kami nekat mencari alamat tersebut beserta alamat perusahaan yang dikenal oleh Nadin. Untungnya perusahaan tersebut bersedia membantu walau hanya berupa produk. Sementara saat kami mencari alamat yang diberikan temanku, kami malah tersesat tak karuan. Apalagi dengan uang seadanya. Bahkan sepanjang jalan yang kami lalui, kami tidak menemukan ATM untuk mengambil uang sekedar untuk membeli makan.
"Nad, maaf ya."
"Untuk apa?"
"Sudah menyusahkan kamu sampai jadi begini."
Nadin terdengar mengantuk."Oh, emang kapan sih kamu gak pernah nyusahin aku?"
"Perasaan baru kali ini, deh."
"He he he... iya kali."
Lalu sunyi. Rasanya tenagaku telah terperah habis gara-gara bicara barusan. Nadin malah terlihat beberapa kali nyaris terpejam. Baru kali ini aku tidak merasa mengantuk sedikitpun gara-gara kecapekan. Biasanya aku tipikal anak yang mudah sekali tertidur.
Nadin tersentak saat kepalanya terkulai karena tertidur. Aku terkesiap, takut tiba-tiba temanku ini mengalami hal yang mengerikan. Jelas aku bakal bilang apa kalau ditanya orang tuanya? Tapi sepertinya dia memang mengantuk, tapi dia berusaha untuk tetap terjaga. Nadin mengedarkan matanya ke sekeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada sesuatu. Aku sedikit bingung mengamati temanku yang rada unik ini. Dengan bersemangat, dia meraih tasnya, merogoh-rogoh dompetnya dan mengeluarkan sehelai kartu dari dalam dompetnya. Kartu berwarna merah ceri.
"Kamu lapar kan?"
"Memang apa hubungannya lapar dengan kartumu?"
"Mau makan nggak?" Matanya berbinar. Aku sangsi. Apa dia bakal menyulap kartunya menjadi sebungkus nasi?
"Ya mau, tapi kan gak ada uang. Plus gak ada apa-apa yang bisa dimakan."
Nadin tersenyum penuh rahasia. "Ada. Tuh," dia mengerling ke arah sebuah tempat tidak jauh dari warnet. "Kamu gak takut jarum kan?"
"Maksudnya?" Aku semakin sangsi dan was-was kalau ternyata gara-gara keletihan bisa mengubah temanku ini menjadi orang sarap.
"Yuk!" ajaknya lagi. Menuju tempat yang dia maksud.
Aku masih bertanya-tanya, tak habis pikir walaupun kuikuti juga langkahnya yang tiba-tiba terasa bersemangat sementara aku sudah lemas.
Dan di sinilah kami akhirnya. Kantor cabang Palang Merah Indonesia.
***
Akhirnya, walau aku tadi sedikit ragu-ragu namun memahami maksud Nadin. Kami harus mendonorkan darah untuk kemudian akan dapat makanan dari PMI untuk menjaga metabolisme yang sempat kacau saat darah kami diambil. Untungnya walaupun lelah, aku dan Nadin masih boleh mendonorkan darahnya. Berbeda denganku yang baru kali ini mendonor, Nadin sepertinya sudah sering menjadi pendonor. Sempat kulihat kartu donor darahnya yang lumayan terisi banyak. Dia bilang donor darah adalah misi sosial. Aku hanya tersenyum menanggapi kampanyenya yang berapi-api. Seakan dia bukan orang yang tadi nyaris mencium jalan aspal karena mengantuk.
Setelah donor, kami diberi sekotak susu dan satu buah mie instan dalam bentuk cup. Agak tidak sehat, tapi bagaimanapun pengemis tidak bisa memilih-milih dalam kondisi seperti ini. Nadin malah dengan cueknya meminta sekalian diisi air panas supaya bisa kami makan saat itu juga. Untunglah petugas PMI berbaik hati kemudian merebus air untuk mie instan kami. Bahkan kami sempat dibuatkan teh manis. Dan setelah perut terisi walau bagiku masih belum kenyang, tapi setidaknya aku sedikit bertenaga dibanding tadi. Dan dalam hal ini, kukira aku salut juga atas ide temanku itu, yang masih bisa survive dalam kondisi menyedihkan seperti tadi.
Sayangnya saat keluar dari PMI, hujan turun deras. Aku terpaksa berteduh di teras kantor PMI. Sementara Nadin dengan santainya malah menuju halaman PMI seakan tak merasakan derasnya air yang mengguyur tubuhnya. Awalnya ia melangkah perlahan. Lalu tiba-tiba ia meloncat dan menghentak-hentakkan kakinya di tengah hujan. Seakan ada musik yang mengiringi tariannya. Diikuti oleh bunyi petir yang sesekali menggelegar, menjadi momen yang langka sekali untuk dilewatkan. Nadin bahkan sempat berteriak kegirangan.
Aku hanya terpana. Dan seperti yang sudah-sudah, ingatan tentang hujan, adalah ingatan tentang perempuanku. Bagaimana tetesan air menjadi irama yang kini tak lagi sendu namun menyenangkan. Menatap Nadin yang sedang bersuka cita di bawah guyuran hujan, aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia tidak pernah segila ini. Biasanya dia selalu menjaga dirinya, seakan dirantai oleh etiket. Namun kini, seakan rantainya direnggut lepas, Nadin melonjak-lonjak, dan mengibaskan air hujan ke segala arah. Sampai akhirnya Nadin hanya berputar lalu terdiam. Salah satu tangannya mengusap kepalanya yang berbalut jilbab yang kini basah karena air hujan dan tangan yang lain mencengkeram dadanya. Dia tersenyum. Tertawa lepas seolah-olah ada beban yang sudah terlepas dari pundaknya. Jenis tawa yang membuatmu seakan ikut merasakan getir perasaannya. Cukup. Aku tak tahan lagi.
Ku hampiri dia dan menyerahkan jaketku padanya. Dia tersentak dan menatapku. Sebuah tatapan yang tak bisa kumengerti. Seakan tersenyum dalam luka. Aku tahu itu, karena aku pernah merasakannya.
Lalu seakan ada yang mengagetkannya dia tersentak dan mengatakan, "Mi ahn de. So sorry." Tapi senyum itu tak lepas dari wajahnya. Kusampirkan jaketku ke bahunya dan mengajaknya berteduh. Dia tidak cukup tahan banting dengan kehujanan. Apalagi tingkahnya sudah diamati oleh beberapa preman yang nongkrong tak jauh dari kantor PMI.
Dan kini aku merasakan hatiku seakan dibanjiri getar pilu. Perempuanku, hujanku.
***
Menerobos hujan
Tak sanggup menantikannya reda
Bukan ku hendak menentang alam
Atau mencoba menaklukkannya dengan sia-sia
Tapi aku hanya berdamai dengannya
Menjalin harmoni dengan derasnya air yan membasahi tubuhku
Sama seperti diriku yang telah menyerahkan hatiku
Tak lagi kusangkal semua yang bisa ia rasakan
Untukmu.
Mencintaimu sebesar perempuanmu mencintai hujan
Mencintai hujan sebesar kamu mencintai perempuanmu...
Dan akan selalu begitu.
***
"Ehm, ada yang kerasukan setan hujan nih..." ledekku kepada Nadin saat kami sedang berada di perpustakaan kota. Kami kebetulan bertemu lagi seminggu setelah peristiwa hujan-hujanan di kantor PMI. Untungnya setelah itu, ada petugas PMI yang berbaik hati meminjamkan baju seragam yang tidak terpakai kepada kami dan mempersilahkan kami beristirahat di dipan-dipan yang kosong. Nadin malah meminta ekstra tirai demi menjaga hijabnya.
Nadin menjulurkan lidah. Aku baru saja membaca statusnya yang berupa puisi di Facebook. Aku tahu dia pernah punya kegagalan dengan cintanya di masa lalu. Tapi sekarang? Apakah rasa trauma itu masih ada? Ataukah dia sudah bisa membuka hatinya untuk orang lain? Jujur, aku penasaran dengan maksud yang terkandung dalam puisinya itu. Apalagi menyinggung perempuan yang mencintai hujan. Akukah yang dia maksudkan?
"Kenapa? Kegeeran karena nyempil cerita perempuanmu itu ya?" godanya. Aku hanya tertawa cengengesan.
Kami berdiri berhadapan. Aku tak bisa menafsirkan apa yang kurasakan saat ini. Menatap matanya yang selalu menuntut tanya. Betapa ingin, kukatakan ceritaku padanya. Cerita mengenai perempuanku yang mencintai hujan. Tentang betapa getir perasaanku manakala aku harus bisa melupakannya. Padahal dia terlalu indah untuk dilepaskan. Betapa, hatiku seakan ditusuk pisau berkali-kali manakala hujan turun dan menyanyikan simfoni akan tarian kenanganku akan perempuanku. Ingin sekali kukatakan, betapa sulitnya aku mencoba menepis semua kerinduan yang menjeratku pada hujan dan perempuan itu. Namun bening mata Nadin, membuatku bungkam. Entah kenapa, aku masih membisu di hadapannya.
"Berjuanglah, Sat. Selama masih ada kesempatan. Raih mimpimu setingginya, lalu kau akan bisa mempersembahkan sebuah karya yang indah di hadapan perempuanmu, jika ia memang layak dikejar. Lagipula, jika ia memang memahami pengorbananmu, ia pasti akan bersedia menunggu. So, keep fighting, my pal. Good luck," ujarnya lirih. Dia tersenyum getir.
"Lalu kamu? Sampai kapan kamu akan menutup dirimu? Kapan kamu akan membuka hatimu?" tanyaku. Aku hanya tidak mau melihat dia tersiksa karena masih terikat dengan masa lalunya. Walau aku sendiri begitu tersiksa dengan kerinduanku pada perempuanku.
Nadin menatapku dalam. Sambil menghela nafas ia berkata,"Aku sudah menyerahkan hatiku, Sat. Aku tak bisa lagi berpaling kali ini. Aku takkan membiarkan apapun mengambilnya dariku. Namun kali ini bukan kepada dia, Sat. Bagiku, orang yang dulu menghancurkan hatiku adalah sebuah sejarah."
Lalu Nadin tersenyum getir. Aku tercekat. Tapi begitu aku memahami apa yang dia katakan, aku tersenyum menyemangatinya.
"Berarti sudah gak kepikiran lagi dong ya sama si ketua?" ledekku lagi. Dulu ia pernah mencintai ketua klubnya yang berakhir dengan kepahitan. Itu sebabnya Nadin sedikit trauma.
Nadin menjulurkan lidah."Ketua? Siapa tuh? Gak kenal!" sahutnya ngeloyor pergi.
"Oia? Dulu katanya cinta... sempat gak bisa ngelupain... Kok sekarang ngomongnya beda?" kejarku.
"Salah sendiri mempermainkan anak orang, makanya jangan suka mainin hati cewek, ntar kualat! Terkangen-kangen deh ntar sama si cewek hujan!"
"Yee, kok jadi aku sasarannya sekarang?"
Semarang, 11 Januari 2012
Thanks 4 the inspiration
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top