Musik

Setiap orang menyukai musik. Alunan suara, denting-denting nada, hentakan irama, bahkan ketukan dan celotehan-semuanya adalah bagian dari musik. Setiap orang juga memiliki seleranya. Pop, dangdut, rock, blues, rap, bahkan campur sari. Di mana-mana lagu-lagu selalu dimainkan. Bahkan tak hanya lagu yang memiliki lirik atau bait, melainkan lagu yang hanya berupa lantunan nada dari alat-alat musik tanpa diiringi lirikpun tersedia. Orang menyebutnya musik instrument. Setiap bulan perusahaan rekaman mengorbitkan penyanyi/band, dan menelurkan lagu-lagu yang biasa disebut hits. Album, single, mini album. So much varian. Bahkan sekarang telah popular RBT atau ring back tone manakala kaset atau CD sudah tak bisa menarik lagi untuk dibeli. Dan mulai bermunculan situs-situs layanan pengunduh musik baik gratis maupun berbayar di internet bagi mereka yang ingin memperoleh lagu favorit mereka tanpa harus membayar mahal untuk CD atau kaset. Hhh... selalu, musik menjadi bagian hidup yang tak bisa dilepaskan.

Setiap saat, dimanapun selalu ada musik. Musik menemani kita makan, beraktifitas, bahkan menjelang tidur. Apalagi kini banyak cara untuk memainkan musik, tak hanya dari tape, radio atau televisi, tetapi juga MP3 player atau dari telepon genggam. Beragam bentuk, beragam model. Semuanya tergila-gila pada musik, hingga harus memiliki media untuk memainkannya dimanapun dan kapanpun. Tak terkecuali aku. Dulu.

Setiap saat, aku selalu memutar musik. Kecuali pada saat berada di instansi pendidikan. Entah untuk menemaniku belajar, mengetik tugas di computer, mengendarai motor di jalan (sebelum UU melarangnya), bahkan hanya sekedar iseng. Aku bahkan membeli ponsel yang memiliki fitur pemutar musik di dalamnya, agar aku bisa mendengarkan musik kapanpun aku mau. Bahkan aku selalu memasang headset ditelingaku sekalipun sedang berbicara dengan orang lain. Beberapa orang sempat menegur kelakuanku yang dinilai kurang sopan, tetapi ketika aku masih bisa menanggapi percakapan sekalipun dengan headset terselip ditelingaku, mereka hanya bisa mengelus dada. Setiap ada waktu luang, aku menyempatkan diri ke warnet untuk mengunduh lagu-lagu yang tersedia di layanan pengunduh gratis. Always up to date, itulah motoku waktu itu. Teman-temanku biasanya menjadikanku rujukan ketika mencari lagu terbaru saat ini. Dengan fitur Bluetooth, mereka sudah bisa mendapatkan lagu terbaru tanpa susah payah.

Aku tidak memasang patokan genre tertentu. Pop, rock, instrument, bahkan dangdut, asalkan enak didengar, aku pasti memutarnya sesuai dengan suasana hatiku. Sedang ingin bersemangat, mainkan saja lagu-lagu yang menghentak. Sedang melankolis, putar lagu-lagu sedih, atau yang lantunan musiknya pelan dan menyayat. Sebelum tidur, selalu ada instrumental voices di penyimpanan laguku yang siap mengantarkan aku ke alam mimpi. Entah yang berasal dari mancanegara atau buatan lokal, aku tidak peduli. Baik lagu-lagu berbahasa mandarin, korea, rusia, bahkan jerman sekalipun, aku punya. Bahkan nada dering panggilan masuk dan pesan singkat ponselku adalah lagu yang sesuai dengan suasana hatiku. Yang jelas, musik menjadi bagian hidupku yang tak terpisahkan dari keseharianku. Sampai saat itu.

Kini ponselku tergeletak begitu saja di atas meja, di samping komputerku yang mulai berdebu karena jarang dipakai. Perlengkapan headsetku tersimpan rapi di kardus. Nada deringnya sudah kumatikan, hanya lampu layar berkelap-kelip yang menunjukkan telepon masuk atau ada pesan singkat. Tape teronggok terlupakan di gudang, karena sudah rusak beberapa tahun yang lalu dan tidak ada niatan buatku untuk memperbaiki. Radio mini yang diberikan ibuku saat ulang tahunku yang ke sebelas juga nyaman berdiang di laciku. Begitu senyap. Tak ada lagi gumamanku mengikuti lirik lagu, atau sekedar senandungku. Hanya ada suara-suara dari lingkungan sekitarku yang menemaniku beraktifitas sekarang. Sesekali musik terdengar dari rumah tetangga entah dari televisi atau radio mereka-aku tidak tahu. Tetapi gaungnya, tidak begitu berarti buatku sekarang. Aku tak ingin mendengar musik jenis apapun sekarang.

Melewati pusat perbelanjaan yang selalu tak lepas dari ingar bingar musik di seluruh penjuru, otomatis telingaku akan seperti orang tuli, mengabaikan lantunan musik yang terdengar. Bahkan saat terdengar jingle musik iklan di televisi, aku segera mengganti saluran, atau mematikan indera pendengarku dengan sibuk melakukan sesuatu. Aku berusaha keras untuk mematikan musik dari hidupku. Aku tidak sedang kampanye, atau melakukan pencapaian rekor tertentu. Hanya saja, aku menghindari musik sebisa mungkin. Awal kali aku cukup histeris melakukannya, seperti menjerit dan mematikan apapun yang mengeluarkan musik. Bahkan melarang teman-temanku memutar musik apapun. Kini, jika terdengar alunan nada atau suara, telingaku sudah seakan mati rasa. Mengabaikan saja musik yang hilir mudik itu. Memang aku mendengarkan, hanya saja, ketidakpedulianku tidak menimbulkan respon apapun.

Tidak semua musik kuhindari, sebenarnya. Karena apapun di sekitar kita adalah musik. Kicauan burung pagi hari, embusan angin yang menggoyang dedaunan, bahkan suara serangga pada malam hari, bagiku adalah musik. Ketukan jari pada papan tik computer, juga merupakan nada. Tetesan air pada keran, juga merupakan suara musik. Dengungan komputerku saat kunyalakan, juga bisa disebut musik. Sehingga lepas sepenuhnya dari musik, jelas adalah hal yang sangat mustahil. Walau sangat bias, sehingga temanku yang mendalami filsafat, pernah mengajukan pertanyaan, apakah hakekat musik itu? Dan perdebatan kecil mengenai esensi musik membahana di ruang kuliah kami. Aku hanya bisa mengedikkan bahu kala itu. Karena lantunan suara penyanyi favoritku sedang mengalun di telingaku, dan tergila-gila pada filsafat bukan karakterku.

Pada intinya, aku hanya tidak mendengarkan musik. Apapun kritik dari teman-temanku, bahkan ledekan yang dialamatkan padaku hanya kubalas dengan senyuman. Sama seperti musik yang sedang kuabaikan, kata-kata mereka pun sekedar angin lalu. Hingga akhirnya mereka sampai pada pertanyaan intinya, kenapa tidak mau mendengarkan musik?

Jika pertanyaan tersebut sudah diajukan, aku hanya bisa terdiam. Lalu desahan napaskupun terdengar. Percuma saja. Seluruh argumentasi ilmiah dan rasional, tidak akan bisa menjawab pertanyaan ini. Kecuali pernyataan yang dirasionalisasi. Jelas saja. Penjelasan yang rasional untuk ini adalah alasanku itu bersifat emosional. Ketakutan yang tak bisa dinalar. Pertanggungjawaban yang tidak logis. Dan setelah itupun, aku hanya bisa terpaku-tanpa sanggup menjelaskan. Lama kelamaan pertanyaan itu tak terdengar, hingga akhirnya menjadi pemakluman. Tak ada lagi protes atau makian yang dilontarkan untukku, kecuali bisik-bisik yang membahas kelakuan anehku atau tatapan sinis.

Aku tidak melarang mereka memainkan musik favorit mereka. Aku hanya tidak mau mendengarnya. Dan setelah indera perasaku 'mati rasa', kukira aku juga tidak akan histeris jika berada di tempat yang sedang memutar musik. Karena aku akan memusatkan konsentrasiku untuk benar-benar mengabaikannya. Ini seperti jika ada orang bercakap-cakap di dekat kita, kita mendengarkan suara mereka, tetapi kita tidak mengetahui isi percakapan mereka kecuali kita memang fokus untuk mengetahuinya. Seperti itulah perasaanku terhadap musik saat ini. Teman-temanku yang terbiasa meminta unduhan lagu terbaru dariku hanya bisa menelan kekecewaan manakala mengetahui aku tidak memperbarui koleksi musikku. Yah... untuk apa? Aku juga tidak akan mendengarnya.

Lagu-lagu favoritku kini masih tersimpan rapi di memori penyimpanan ponselku atau komputerku, tetapi sama sekali tak tersentuh. Tak ada lagi musik menghentak untuk membangkitkan semangat. Tak ada lagi instrument pengantar tidur. Kurasa, aku mulai bisa menerima kesunyian sebagai bagian hidupku sekarang. Aku hanya terusik oleh suara lantunan adzan dari masjid atau mushala. Aku tidak bisa menikmati jenis musik apapun lagi.

Kenapa ... itulah pertanyaan yang sering kuhindari untuk kujawab. Dan mengingat jawabannya aku selalu merasa berat, seolah-olah dadaku dicengkeram oleh suatu kekuatan yang hebat. Sakit. Dan kemudian seluruh inderaku mendadak disergap oleh kelumpuhan, sehingga tak sanggup melakukan apa-apa lagi. Seperti saat itu. Saat aku mendengar alunan musik itu dari komputer yang dinyalakan oleh temanku. Mendadak saja, aku mengalami sesak. Begitu ketat mencengkeram, hingga aku tak bisa bernafas. Ingatanku bergulir pada selaksa peristiwa-peristiwa yang menyakitkan untuk diingat, lalu aku menjerit. Semenjak itu, aku mencoba mengenyahkan musik dari pendengaranku dan (seperti yang selama ini kuharapkan) dari pikiranku. Karena sekalipun bendanya tidak ada, tetapi ingatan tentang musiknya akan tetap menggeliat dalam benakku. Dan saat kukira aku berhasil mengindahkan musik itu dari hidupku, ternyata perkiraanku jelas-jelas keliru.

Aku tercenung di tepi pantai. Deburan ombak yang membelai pasir pantai menjadi irama yang kurasa akan menenangkan. Seperti menghipnotis pendengarnya untuk larut dan bersatu dengan alam menjadi sebuah harmoni yang indah. Tapi tetap saja, aku tidak bisa menikmatinya. Sekalipun suara derasnya ombak berulangkali mengetuk gendang telingaku, aku tak bisa menikmatinya. Pikiranku telah berkelana hingga menyasarkan konsentrasiku mendengarkan musik pantai ini. Dentuman suara musik dari kantor pengawas pantai, juga tak kunjung mampu menyapaku. Aku bagaikan robot tanpa indera dan syaraf. Bahkan pemandangan horizon laut yang biasanya memesona juga luput dari pengamatanku. Aku mendesah. Dan akhirnya kembali lagi pertanyaan itu muncul: kenapa?

Teman-temanku berulangkali protes padaku karena tidak menjawab panggilan mereka melalui telepon atau tidak kunjung membalas pesan singkat mereka. Wajar saja, ponselku yang biasanya tak pernah lepas dariku kini harus sukarela berada di tas atau mejaku. Aku juga menjadi jarang mengecek ponselku. Akibatnya, pesan-pesan yang masuk dari teman-temanku baru kubaca saat jauh malam, sehingga membalasnya pada saat itu akan kurang sopan, dan paginya aku selalu lupa melakukannya. Dan lagi-lagi pertanyaan itu kembali menyeruak, kenapa?

Dan mengingatnya, debaran jantungku kembali tak menentu. Aku kembali disergap oleh perasaan sakit di dadaku. Terlalu sakit untuk dikenang. Aku tercekat. Sudah berapa kali pertanyaan ini selalu menghantui pikiranku dan ketika mengingat jawabannya, aku selalu diserang oleh perasaan yang sama. Bahkan sudah dua tahun berselang sekalipun. Semestinya aku sudah terbiasa, ya kan? Tetapi tetap saja, sensasi itu selalu muncul manakala pertanyaan itu dilontarkan, atau saat aku mendengar lagu-lagu itu yang dimainkan. Beberapa lagu yang bahkan bukan dari penyanyi favoritku yang masuk dalam kategori melankolis, tetapi ketika mendengarkannya aku seakan kembali disayat-sayat luka. Bahkan mengingatnya dalam pikiranku, sekedar mereka liriknya atau membayangkan lantunan musiknya, begitu menyakitkan buatku. Pedih.

Lagu-lagu yang selalu mengantarkanku untuk kembali merasakan peristiwa-peristiwa yang begitu perih untuk diingat. Menyesakkan. Karena di setiap baitnya aku akan selalu mendengar dendang suaranya, yang selalu membuatku kembali mengenangnya. Seakan-akan lagu itu memang adalah nyanyiannya. Suaranya akan selalu menyertai tiap lantunan bait yang digulirkan, begitu juga kenangan-kenangan tentangnya yang mendebarkan. Setiap cerita, setiap goresan, setiap perkataan. Membuatku hanya bisa menangis menahan sakitnya. Karena lagu-lagu itu senantiasa mengingatkanku kembali pada seseorang yang harusnya kulupakan dari masa laluku ....

Maret 2011

Sebuah keluhan manakala hati sedang terangkum dalam kehampaan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top