ISAIAH

Bapak bilang, aku bukan orang yang kuat. Tidak seperti adikku. Bahkan saat berada di dalam bus, yang membawaku untuk ke Semarang pertama kalinya, aku merasakan mual yang teramat sangat. Sungguh, ini bukan pertama kalinya aku naik bus. Dulu bapak adalah sopir bus pariwisata dan aku sering diajak ketika ada order mengantar ke tempat-tempat wisata di pulau Jawa. Yogyakarta dengan Malioboro, Magelang dengan Borobudurnya, Malang dengan beberapa alternatif pilihan seperti Selekta, Sengkaling dan sebagainya. Kota-kota itu sudah pernah kujelajahi dan bersama bapak, itu menjadi petualangan yang menyenangkan dibanding dengan sekedar berlibur dengan travel.

Namun sekarang dengan suhu AC yang sangat dingin hingga membuat gigiku bergemeletuk dan badan menggigil, aku merasa mau muntah. Wow. Seingatku tidak pernah mabuk perjalanan baik darat maupun laut (udara belum pernah, aku belum pernah naik pesawat terbang). Aku bahkan terlihat pucat saat menoleh ke arah jendela di sampingku yang berwarna gelap sehingga pantulan diriku jelas tercetak di sana. Aku nyaris tidak bisa bergerak karena takut tiba-tiba muntah karena perasaan mual ini terlalu hebat menyerang.

Benar, mungkin aku tidak sekuat adik yang tahan banting. Bahkan saat ia dipukuli sekalipun, adikku hanya menangis tanpa suara. Dia memang laki-laki, namun badannya kecil dan kurus. Walaupun begitu, tak pernah ku mendapatinya dalam kondisi lemah. Makanya aku sangat kagum dengan ketegarannya.

Saat ini menjelang tengah malam. Kulihat para penumpang sudah banyak yang terlelap. Kecuali seorang pria bercambang yang duduk 3 deret ke belakang di seberang kursiku. Aku tidak begitu mempedulikan sampai menyadari orang itu berkali-kali mencuri pandang ke arahku. Bukannya  merasa ge er, tapi toh aku berkali-kali memergokinya melihat ke arahku. Yang terakhir ini malah ia menatapku tajam. Aku jadi merasa sedikit salah tingkah. Karena aku sama sekali tidak mengenalnya. Apa dia hendak bermaksud jahat?

Kulirik penumpang sebelahku yang lelap sekali dalam tidurnya. Aku semakin menggigil. Bahkan sekarang tubuhku sudah banjir keringat. Mukaku pias. Akhirnya kuraih kantong plastik yang tersampir di depan dan memuntahkan seluruh isi perut. Sayangnya, karena terlalu panik dan tergesa, sebagian muntahan ini jatuh ke badan dan kursiku. Aku tidak berniat membuat orang lain jijik dengan menceritakan peristiwa ini, namun memang itulah yang terjadi. Dan karena seperti gelombang mual ini masih berlanjut, aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semuanya.

***

Mencapai kota Tuban, bus yang kutumpangi berhenti sejenak di sebuah rumah makan. Aku turun setelah membersihkan kursi yang terkena muntahan dan mengambil pakaian dari tas. Aku melangkah menuju kamar mandi. Membersihkan badanku sekenanya, lalu berganti pakaian. Pakaian yang kotor kumasukkan kantong plastik yang kubawa (aku suka membawa kantong plastik bekas belanjaan kemana-mana demi mengantisipasi kebutuhan kantong tersebut di saat-saat mendesak seperti sekarang).

Setelah keluar dari kamar mandi, aku terkejut mendapati bapak bercambang itu berdiri di depan pintu belakang ruang makan yang memang dekat sekali dengan kamar mandi. Aku terperanjat, karena kali ini beliau jelas-jelas melihat ke arahku. Tak peduli, kujejalkan kantong plastik yang berisi pakaian kotor ke bagasi bus dan masuk ruang makan.

"Isaiah!" panggil bapak tersebut. Aku berhenti sejenak. Isaiah? Jelas orang ini salah orang. Aku bergegas masuk, menuju etalase makanan yang disajikan dan menukarkan kupon makan yang disertakan dalam pembelian karcis bus.

"Makan apa, mbak?"

Aku tidak tahu apakah masih sanggup makan dalam kondisi begini, namun kupaksakan juga untuk memesan makanan. Lagipula toh aku sudah bayar. Sayang kalau tidak digunakan.

"Ayam goreng saja, mbak. Sayurnya sop."

Mbak penyaji tersebut segera menyiapkan pesananku. Setidaknya kuah sop tidak memiliki bumbu yang pekat seperti kare, apalagi bersantan. Aku tidak ingin menguji daya tahan lambung lagi.

"Isaiah. Kok malah pergi?" bapak bercambang tadi rupanya mengejarku. Ia terang-terangan meraih tanganku dan terus memanggilku dengan nama Isaiah. Aku risih sekali karena aku adalah penganut Islam yang taat sehingga tidak memperkenankan diriku menyentuh dan disentuh oleh pria yang bukan mahram.

"Maaf, Pak. Bapak salah orang," kusentakkan tangan agar tangan bapak itu terlepas. Tapi ia malah mencengkeramnya kuat-kuat.

"Ini aku, pakdhe Muri. Tetanggamu yang di kampung nelayan Kenjeran dulu. Masak kamu nggak ingat? Wah, kamu sudah berjilbab ya sekarang. Beda banget sama dulu. Item dekil. Sekarang jadi putih cantik begini. Tinggal sama siapa sekarang?"

Aku makin tak mengerti dengan omongannya. Kampung nelayan, Kenjeran? Jelas-jelas orang ini salah mengenaliku sebagai Isaiah. Aku tidak pernah tinggal di tepi pantai. Rumahku terletak di perkampungan, dusun malah. Bukan pantai.

Aku menghela nafas jengkel. Para pengunjung yang sedang bersantap menoleh ke arah kami. Bahkan penumpang yang antre di depan etalase juga menatap ke arah kami heran.

"Maaf, Pak. Anda salah orang. Saya Eli bukan Isaiah. Tinggalnya juga di dusun. Bukan di kenjeran seperti yang Bapak katakan. Kecuali kalau ini cara Bapak buat kenalan, saya rasa ini sama sekali tidak lucu."

Aku berjalan pergi menjauhinya, saat omonganku barusan membuat bapak tersebut terkejut hingga melepaskan cengkeraman tangannya yang seperti baja. Aku duduk di salah satu meja. Mulai makan dan tidak mengindahkan orang-orang yang sepertinya menatapku aneh.

"Aku tidak mungkin salah! Kamu Isaiah Astari, anak dari Wendhoro, temanku di Kenjeran. Aku ingat karena kamu sering main-main ke pantai, waktu bapakmu lagi melaut!" ujar pria itu tanpa memelankan suaranya. Aku tak peduli. Benar-benar menjengkelkan. Kini tatapan para pengunjung rumah makan terarah ke pria tersebut. Bahkan aku sempat menangkap desisan, "kayaknya orang edan itu.." dari belakang.

Orang itu rupanya masih berkeras. Ia menghampiriku dan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Selembar foto.

"Ini buktinya kalau tidak percaya!" Bapak itu mengangsurkannya padaku. Kulirik sekilas dan mataku terbelalak. Sumpah, aku sangat mengenali foto di dalamnya. Itu fotoku saat usia 3 tahun sedang dituntun berjalan oleh bapak di pantai. Di sebelahnya teman kerja bapakku juga menuntun anaknya. Aku tahu persis, karena aku juga ada fotonya di rumah. Bapakku bilang, foto itu di ambil di Kuta. Teman kerjanya bernama Soni dan anak yang dituntunnya itu bernama Robi. Aku sangat-sangat terkejut karena bapak tersebut memiliki foto ini juga.

"Bapak, saya tidak tahu Bapak dapat foto ini darimana. Tapi, yang jelas, saya bukan Isaiah yang bapak maksud. Saya Eli Rukmana. Ini KTP saya kalau tidak percaya." Demi meyakinkan bapak itu, kuambil KTPku dari tas, dan kuberikan padanya. Giliran bapak itu yang membelalak. Dan aku makin jengkel dengan tingkahnya. Tidakkah dia mengerti aku sedang tidak enak badan karena muntah-muntah tadi dan harus diributkan dengan masalah Isaiah ini? Which is, I don't know her at all?

"Pasti dusta ... kamu sudah diajari berdusta ya sama pesantren Kiyai Qolbi itu. Pasti. Buktinya kamu jadi lupa sama bapakmu, lupa sama pakdhe Muri. Pasti ini kayak organisasi islam sesat itu. Ya. Kamu pasti sudah dicuci otak. Ayo, ngaku kamu sama pakdhe. Kamu diajari apa saja sama pesantren Qolbi itu? Ayo, ngaku! Jangan-jangan kamu juga diajari nyolong duit, melacur, sama ngebom-ngebom ya?"

Pengunjung semakin kasak-kusuk di depanku. Aku diam saja. Jelas-jelas orang ini sudah kelewatan. Aku melanjutkan makan tanpa suara. Tak peduli dengan omongan bapak-bapak tesebut.

"Iya kan? Aku sudah tahu pesantren itu ndak beres, karena Kiyai Qolbi itu suka omong besar dan suka nipu-nipu! Tapi bapakmu tetap ngeyel, mau masukin kamu ke situ biar dapat ilmu tanpa bayar mahal, karena bapakmu gak punya duit. Sekarang lihatlah hasilnya, kamu malah jadi teroris. Suka ngebom. Ayo, sekarang kamu juga mau ngebom bunuh diri juga? Kamu mau ngebom bus ini biar kita mati sama-sama ya?"

Aku tidak tahan lagi. Kugebrak meja makan itu keras, tanpa mengindahkan tangan yang kesakitan setelahnya. "Bapak, jangan ngomong sembarangan. Saya gak pernah mondok di pesantren Kiyai Qolbi atau pesantren manapun. Saya cuma ngaji di masjid sama seperti yang lain. Bahkan guru ngaji saya, ustad yang sudah terkenal di antero negeri. Sudah sering masuk TV dan jelas-jelas bukan teroris. Saya bisa buktikan kalau saya ikut ngaji di sana. Bukan di pesantren!"

"Alah. Mana ada maling yang mau ngaku. Buktinya kamu aja gak ngaku namamu Isaiah Astari. Pake bikin KTP palsu segala. Eling... Ndhuk. Bapakmu Wendhoro nungguin anaknya di rumah yang sudah 10 tahun gak pulang-pulang sejak masuk pesantren Qolbi itu! Kamu ndak usah ikut-ikutan aliran sesat segala. Insyaf aja, nak. Ayo pulang sama pakdhe."

Ya Allah, aku sudah muak dengan drama gila ini. Tak hiraukan, aku berbalik dan berlari menuju bus. Namun sebelum aku meraih pegangan pintu bus, sebuah tangan kekar menarik tanganku. Aku terkejut, mendapati sang kenek bus memelototiku.

"Mbak, beneran bukan teroris toh? Mbak mau ngebom bus ini juga?"

"Pak, percaya deh. Bapak tadi itu orang edan. Saya jelas-jelas nunjukin KTP saya kalau saya bukan yang dimaksud sama bapak tadi. Saya gak ada niatan mau ngebom bus, apalagi mau bunuh diri. Maaf, Pak, guru saya masih waras. Dia jelas-jelas ngomong kalau bunuh diri adalah dosa dan ngebom balasannya masuk neraka."

Kenek itu masih ragu. Apalagi sebagian penumpang yang satu bus denganku juga tidak berani naik. Aku menghela nafas jengkel. Ada apa sih dengan orang-orang ini? Aku sama sekali tidak mengerti jalan berpikir mereka. Masak karena omongan orang edan, akhirnya aku dicap sebagai teroris? Justru orang edan itulah yang teroris, pertemuan dengannya merupakan teror tergila dalam hidupku.

Aku berbalik menghadapi para penumpang. "Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, saya Eli Rukmana. Ini KTP saya, kalau tidak percaya silakan di cek di kecamatannya. Saya tidak pernah mondok di pesantren seperti yang dikatakan bapak edan yang tadi itu. Saya cuma ngaji di masjid sama ustad yang jelas-jelas bukan dari aliran sesat."

Seorang ibu-ibu berbaju biru dengan motif floral print memandangku curiga."Memang siapa ustadnya Mbak? Yakin bukan orang sesat?"

Kusebutkan nama ustadku. Beliau sering juga muncul di televisi mengisi siraman rohani tiap pagi. Bahkan aku menunjukkan mereka foto-fotoku bersama ustad itu dan tempat mengaji biasanya.

"Oh gitu... Lha terus bapak tadi?" kata kenek menunjuk bapak-bapak edan bercambang yang kini ikut dalam kerumunan penumpang bus.

"Saya juga gak kenal. Orangnya tiba-tiba ndeketin saya dan manggil-manggil saya apa tadi namanya? Isaiah."

"Kamu bohong! Bohong, Isaiah! Keterlaluan kamu, njelek-njelekin nama Pakdhe!"

"Bapak, saya gak mau cari ribut. Terserah Bapak anggap saya seperti apa. Yang jelas, saya bukan yang bapak maksud. Sekarang, kalau tidak ada yang keberatan, saya mau naik bus dan melanjutkan perjalanan ini."

Aku pun naik bus. Beberapa penumpang dengan sedikit keraguan, mengikuti langkahku. Bapak tersebut membisu sekian lama. Akhirnya semua penumpang pun naik bus tersebut. Sopir pun siap menjalankan kemudinya, sampai si bapak itu tiba-tiba naik dan berteriak-teriak lagi. Ya Allah, Dzat yang hidupku berada dalam kuasaNya... kenapa tiba-tiba situasinya menjadi begini?

"Jangan naik bus ini, ini ada bomnya. Tanya saja sama dia! Tanya si Isaiah ini. Bomnya pasti sudah ada dalam tasnya. Jangan mau mati sia-sia. Ayo turun semua. Mending kita naik bus yang satunya. Untung saja lagi sepi di sana. Ayo, ayo! Biarin Isaiah mati sendirian."

Penumpang yang mulai kesal pun riuh. "Oalah, wong edan, wong edan. Pergi sana sendiri. Orang kok aneh-aneh wae."

Kenek pun menyilakan orang tersebut untuk duduk dan diam di kursinya atau tidak usah naik sekalian. Tetapi bapak tersebut masih ribut dan berteriak-teriak.

"Periksa tasnya. Periksa! Kenapa dari tadi dibawa-bawa terus. Pasti karena ada bomnya. Ayo periksa!"

Kesal, kubuka tasku. Kutumpahkan seluruh isi tasku di hadapan bapak itu, tak peduli ada barang-barang yang agak risi kuperlihatkan di depan umum seperti pakaian dalamku. Daripada perjalanan tertunda seperti ini gara-gara ocehan orang edan.

"Tuh lihat kan? Gak ada bomnya. Sekarang bapak diam atau turun saja sana!" bentak kenek. "Neko-neko ae. Kok bisa busnya ngangkut wong edan."

Tapi sang bapak bersikeras memaksa penumpang turun. Bahkan dengan kasar menarik-narik baju penumpang. Akhirnya, oleh kenek, beberapa penumpang dipersilakan naik bus satunya yang memang berasal dari satu PO. Beberapa masih tetap di bus ini bersamaku. Tapi bapak itu masih ngotot agar semua penumpang keluar. Sampai bus satunya bergerak menjauhi rumah makan, sang bapak masih berteriak-teriak menyuruh yang lainnya turun.

Aku pun memejamkan mataku dan mulai berdoa semoga drama ini segera berakhir. Guru, mengapa kita selalu menjadi kambing hitam atas semuanya? Mengapa orang cenderung mengecam kita karena kita berbeda? Apa karena jilbab ini yang rapat membungkus tubuhku? Atau sikapku yang tidak mau disentuh oleh pria yang bukan mahram? Apa karena kita orang Islam? Yang pasti akan dihancurkan dengan cara bagaimanapun oleh orang kafir? Aku mendesah. Bukankah ini adalah negara demokratis? Mengapa kita selalu disalahkan karena menjalankan agama kita? Bukankah itu adalah hak kita sebagai warga negara yang dijamin undang-undang?

Tiba-tiba dari kejauhan, terdengar suara ledakan. Aku terkesiap. Penumpang lainnya pun juga terkejut dengan ledakan barusan. Beberapa orang turun dan melihat ke sumber ledakan. Alangkah terkejutnya bahwa ternyata yang meledak adalah bus yang tadi ditunjuk bapak tersebut untuk menaikkan seluruh penumpang yang ada disini!

Suasana makin riuh dan panah. Semua menanyakan kenapa bisa terjadi ledakan. Beberapa orang sudah mengamatiku tajam. Aku pias. Tapi bagaimana mungkin? Aku punya alibi, aku bahkan tidak pernah menyentuh bus tersebut.

"Pasti Bapak ini terorisnya. Dia tadi yang suruh kita naik bus yang tadi!" lima orang penumpang yang laki-laki mulai mengerumuni bapak tersebut dan memaksanya turun. Kenek menyuruh semua penumpang turun karena mengantisipasi terjadinya hal yang sama.

Massa mulai beringas. Begitu pula dengan bapak itu. Dia bersikeras menunjukku sebagai dalang utama pengeboman.

"Masak kalian tidak curiga, teroris sekarang suka menutup diri dari pergaulan. Tanya dia, tanya Isaiah ini. Mana mau dia dipegang-pegang sama lelaki?"

Beberapa orang menoleh ke arahku. Aku hanya tercengang dan shock dengan tuduhan yang dialamatkan padaku. Aku mencoba meyakinkan penumpang lainnya dengan tatapan aku tidak bersalah.

Sejenak terjadi keheningan. Sepertinya karena mereka mempertimbangkan keterangan bapak itu barusan. Duh, gusti... kenapa kok menjadi seperti ini?

Suasana kembali memanas. Apalagi bapak tersebut kembali berkoar-koar mengenai kisahku yang jadi 'makhluk asing' sejak masuk pesantren kiyai Qolbi dan segala macam. Puncak dari semua ketegangan itu, aku menangis karena tak tahankan menanggung semua tuduhan ini.

"Pasti dia. KTPnya palsu. Jangan mudah percaya sama wajah lugunya. Dia sudah dicuci otak sama kajiannya. Pasti dia pengebomnya."

Selanjutnya aku tak mendengar apa lagi yang dikatakan oleh bapak tersebut karena perhatian massa yang beringas ini terarah kepadaku sekarang. Mereka membawa balok kayu, tongkat, apapun yang ada dalam bus yang bisa digunakan untuk memukul. Tak pelak lagi, mereka mulai mengayunkan pukulan mereka ke arahku bertubi-tubi. Aku jelas merasa tak terima, sekaligus tak punya daya untuk melawan. Yang kuingat adalah mencoba menahan sakitnya sebisa mungkin seperti yang dilakukan adikku.

"Saya bukan Isaiah, saya bukan teroris. Saya tidak mengebom. Sumpah Demi Allah, saya tidak tahu apa-apa soal bom barusan. Demi Allah..." rintihku di sela-sela pukulan massa.

"Alah, taik! Sumpahmu itu gak mempan tahu gak! Sekali pengebom, tetap pengebom!"

Aku terkejut. Guru, bahkan sumpah atas nama Tuhanpun di negeri ini sudah tidak mempan lagi. Tidak dianggap lagi keabsahannya seperti dulu. Mengapa guru? Apa salahku? Karena aku berjilbab? Karena aku orang Islam? Betapa sekarang Islam menjadi momok yang menakutkan masyarakat karena isu-isu terorisme yang tidak berdasar ini.

Massa semakin bersemangat memukuliku ketika aku semakin berlari menjauhi mereka. Tiba-tiba kakiku terjungkal dan terjatuh di tengah jalan. Tapi massa semakin tidak peduli. Sampai kemudian, aku melihat di sela-sela kaki para pengeroyokku, sang bapak bercambang tiba-tiba melepas cambangnya yang ternyata cuma tempelan. Kukenali wajahnya sebagai orang yang baru-baru ini diberitakan seluruh koran skala nasional sebagai orang yang berjasa karena mengungkap sarang terorisme di Solo. Dan yang kuingat dalam berita itu, dia berhasil membuat teroris tersebut mengaku di tengah amuk massa. Kulihat dia tersenyum padaku dan bergerak menjauhi kerumunan. Ya Allah, jadi beginikah caranya dia bekerja?

Aku berteriak, mengatakan aku tidak bersalah tapi massa tersebut semakin beringas. Sampai kurasakan darah di pelipisku. Aku semakin kehilangan kesadaran. Guru, mengapa kita selalu menjadi kambing hitam? Apakah ini yang disebut dengan kebencian orang kafir terhadap orang beriman? Mengapa mereka yang juga Islam mengecam kita yang juga dalam lingkar satu ummat? Mengapa, guru?

Ya Allah, selamatkan hambaMu...

Semarang, 30 Januari 2012

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top