Hujan Rubah
Secerah siang yang membuat indah hari seseorang, seperti itulah yang kurasakan senyumnya. Bukan terik matahari yang menyengat, hanya nyaris tiada awan berserakan di langit. Memandang biru langit yang jernih, membuat kita hanya ingin duduk-duduk untuk memandanginya saja.
"Untung hari ini tidak hujan."
Dia tersenyum sekali lagi. "Kalau di Korea, ada legenda jika ada hujan di siang hari yang cerah begini, berarti siluman rubah sedang menangis."
Aku hanya menimpali,"Kalau disini, di Indonesia, berarti ada Kuntilanak melahirkan."
Matanya membulat. Namun tak lama tawanya pecah berderai seperti suara lonceng bergemerincing. "Aku jadi membayangkan bagaimana rupa si anak Kuntilanak."
"Mungkin cantik, konon karena Kuntilanak sendiri berwajah cantik. Hanya suara tawanya meringkik seperti kuda."
"Aah ... Bisa berhenti membicarakan setan pada saat begini? Seram sekali."
Aku mendengus kecil. "Siapa tadi yang membahas siluman rubah? Bukankah mereka sama-sama makhluk mistis?"
"Tetapi cerita mereka romantis sekali," ujarnya seraya menengadah. "Kisah cinta seorang siluman rubah yang hendak tinggal di dunia manusia. Syaratnya dia harus menemukan seorang manusia lelaki yang mau menikah dengannya."
"Cantikkah?"
Dia cemberut. "Ya dia cantik. Sangat cantik sampai bisa melumpuhkan siapapun yang menatapnya. Mengapa? Kamu mau cari dia begitu?"
"Mungkin." Aku tersenyum kecil. Merasakan kegelisahan dan kecemburuan menyeruak dari dirinya, benar-benar membuatku merasa tergelitik senang.
"Sayangnya karena ada desas-desus bahwa siluman itu akan memakan hati manusia, maka tidak ada yang mau menikah dengannya. Maka saat ada hujan di tengah siang hari yang cerah, berarti dia sedang menangis."
"Ada-ada saja. Aku tidak percaya hal-hal yang begitu."
Dia membetulkan lengan bajunya yang tersingkap. "Seperti Kuntilanak melahirkan begitu?"
Aku tertawa. Lalu menatapnya. Cerita tragis siluman rubah itu sedikit mengingatkanku mengapa kami berdua berada disini. Setelah sekian lama tidak bersua, kami hanya memiliki sedikit waktu untuk berjumpa. Namun baik aku dan dirinya, seakan hanya ingin menikmati kebersamaan ini, tanpa terganggu oleh tema yang selama ini membuat kami terpisah.
Dia bersenandung. Itulah yang biasa ia lakukan sangat kami terjebak dalam ketiadaan percakapan, namun kami masih tidak ingin beranjak pergi dari kebersamaan ini. Kali ini aku tidak memahami lagu apa yang ia nyanyikan. Namun dari nadanya seakan lagu sedih. Aku menghela nafas. Sesuatu seakan mengganjal hubungan kami, sayangnya kami tidak berdaya menghadapinya. Kekeraskepalaanku. Keyakinannya pada hal yang belum pasti. Dia sangat yakin aku akan bisa berhasil dengan kedua kakiku sendiri, sementara aku hanya memikirkan sesuatu yang harus kami kejar. Uang. Dan waktu.
"Itu lagu apa?" tanyaku sebelum ia selesai menyanyikan lagunya.
"Fox Rain. Lee Sun Hee. Ini lagu yang ada di drama Korea mengenai cinta siluman rubah."
Aku tersentak. "Bagaimanakah endingnya?"
Dia menoleh menatapku. "Tidak seperti legendanya, di drama itu berakhir bahagia. Siluman rubah menemukan lelaki yang mencintainya, yang berani mengorbankan hidupnya untuk dirinya. Lalu mereka hidup bahagia."
"Apakah siluman itu memakan hati lelakinya?"
Dia tersenyum tipis. "Tidak. Syaratnya lelaki itu harus menyerahkan hidupnya, namun saat siluman rubah itu tahu, dia memilih untuk lebih baik mati daripada harus mengorbankan lelaki yang ia cintai. Keteguhan cinta mereka kemudian yang menggerakkan Dewa mereka memberikan siluman rubah kesempatan untuk hidup di dunia manusia."
"Apakah aku harus memberikan hatiku untuk kamu makan?" tanyaku. Sungguh, aku tidak bercanda. Situasi hubungan kami sangat pelik, nyaris sama seperti legenda sang siluman rubah.
"Kita tidak hidup di dunia dongeng, So. Kamu tidak usah mengorbankan hidupmu untukku, atau aku yang rela mati daripada melihat kamu mati. Kita hidup di dunia nyata," tuturnya. Aku melihat matanya memandangku sedih.
Aku mendongak menatap langit. Walau masih sejernih lautan, namun aku seakan melihat mendung berarak mendekati kami.
Aku menelan ludah. "Mungkin ini sudah nasibku."
"Aku benci mendengarmu mengatakan hal itu."
"Mengapa?"
"Kamu seolah menyesal dengan perjuanganmu."
"Aku tidak akan menyerah. Tetapi aku harus lebih bekerja keras."
Dia mendesah. "Kamu bukan kuli."
"Makanya aku memintamu untuk tidak egois."
Dia menghela nafas panjang. Seakan aku merasakan gerimis berjatuhan di sekitar kami, aku melihat matanya mulai digenangi air mata.
"Aku hanya memikirkan yang terbaik untuk masa depan kita."
Aku mengepalkan tanganku. "Seandainya aku lahir di keluarga kaya."
Dia bahkan tidak berani menatapku. "Bukan kesalahan siapapun kamu lahir di keluarga yang miskin. Salah kita kalau kita masih mau berkubang dalam kemiskinan."
"Lalu aku harus bagaimana?"
Dia memejamkan matanya. Menahan agar air matanya tidak tumpah. Lalu ia menatapku. Sebelum bibirnya mengucapkan kata-kata, aku merasa tidak ingin mendengar apapun.
"Hentikan. Jangan bilang apa-apa. Aku sudah memintamu untuk tidak egois."
"Mungkin inilah yang seperti dikisahkan legenda. Hujan membuat siang yang cerah menjadi kelabu. Air mata bisa membuat hari seseorang yang indah menjadi sendu."
"Sebab itu, jangan menangis. Ini sudah nasibku. Aku tidak akan menyerah. Tidak peduli aku akan mengorbankan semuanya. Tetapi aku hanya ingin kamu bisa peduli dengan keluargaku. Aku tahu kamu menyayangi mereka. Kamulah yang bisa memikirkan solusi untuk mereka."
Dia terdiam. Aku termenung. Jalan buntu, itulah yang kami hadapi sekarang. Dan tidak seperti picisan, cinta saja tidak cukup untuk memenangkan semuanya. Keyakinannya akan cinta seperti itu, seringkali kumentahkan. Cinta harus realistis. Tidak akan ada cinta yang tidak mengorbankan sesuatu.
"Aku harus pergi," katanya. Dia sama sekali tidak menangis, atau bahkan merengek memintaku untuk memahami situasinya. Atau mengatakan sesuatu seperti,"Lebih baik kamu meninggalkan aku." Benar. Cinta kami bukan sinetron. Dan karena keteguhannya, ia memilih untuk tidak egois seperti yang aku minta. Meninggalkan seseorang karena alasan demi kebaikan orang tersebut, adalah hal yang egois. Siapa yang memahami masa depan?
"Hanya ini cara yang aku tahu." Aku menatapnya dengan pandangan memohon.
"Aku tahu. Kamu tidak akan mau mendengarkan aku untuk kali ini. Aku akan melakukan sebisaku. Tetapi aku mohon, aku hanya tidak ingin kamu menderita begini."
Itu sudah nasibku. Aku hendak mengatakan itu, tetapi aku tahu ia akan benci mendengarnya.
Lalu ia beranjak pergi. Aku tidak mencegahnya. Saat menatap ia melangkah menjauh dariku, aku seakan tersadar. Ia mungkin tidak akan menangis di hadapanku. Memandanginya hanya menerbitkan kesedihan yang membuncah. Aku memejamkan mata. Perlahan kurasakan diriku seakan disirami air hujan. Hatiku mengerang. Kumohon, bertahanlah. Di sisiku.
Aku masih tidak mengerti akan cinta
Jadi aku tidak bisa mendekat padanya
Tetapi mengapa hatiku seakan terasa berat
Aku dihantui olehmu lagi dan lagi
Biarkan aku berada disisimu untuk sejenak
Hanya untuk sebentar saja....
Surabaya, 22 Maret 2013
Terinsipirasi dari drama My Girlfriend is Gumiho.
Terjemahan lirik Fox Rain oleh Lee Sun Hee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top