Happy Birthday, Gokil!!!
Hari ini menjelang usiaku yang ke 24. Dua puluh empat. Tahun. Wah, bukan sebuah usia yang muda. Tapi belum tua juga. Belum empat puluh tahun. Seperti istilah yang diajarkan Roxanne padaku: Life begins at forty. Sehingga sepertinya hidupku sama sekali belum dimulai. Cuma bagi orang Indonesia, dengan usia kepala dua belum ada pendamping dan sepertinya prospek harapan mendapatkan pasangan tajir sudah terlampaui (karena terang saja, aku tidak sanggup melakukan dengan apa yang disebut 'memikat pria'), mereka nyinyir. Orang-orang yang mana? Ya orang tuaku, nenekku, tetanggaku, bahkan... bosku. Aku tahu mereka peduli, tapi aku gerah juga kalau pembahasan pasangan ini selalu dibahas kapanpun aku bersama mereka.
Itulah mengapa aku jadi malas kumpul-kumpul keluarga. Pasti akan jadi bulan-bulanan. Untungnya aku bekerja di kota yang berbeda dengan kota di mana keluargaku tinggal. Jadi setidaknya aku lepas dari omongan seperti kapankauakankawinnak? dan semacamnya. Nyaris. Tapi mengurangi porsi dikecam karena belum berjodoh dari setiap hari menjadi setahun sekali saat hari raya, itu sudah menjadi anugerah terindah bagiku. Sayangnya sekarang bosku mulai ikut-ikutan bertanya. Hmphf. Bukannya aku tidak memikirkan—sungguh.
Kalau bisa diberikan kesempatan untuk mengubah hidup yang ada sekarang mulai dari awal, maka tentu saja aku akan memilih hidup yang menyenangkan. Dengan orang tua yang selalu bertengkar dan hampir cerai, ayah yang brengsek, adik yang parasit, keluarga besar yang menyebalkan, serta peruntungan cinta yang selalu dan selalu kurang bagus—rasanya tak munafik aku menginginkan sebuah perubahan dalam hidupku seperti keluarga yang harmonis dan penampilanku... mungkin sedikit lebih menarik.
Aku tahu slogan cintai diri sendiri yang selalu digaungkan Roxanne setiap aku merasa minder, tapi kerap aku berpikir, wajar saja dia mengatakan cintai diri sendiri karena dia toh tidak punya masalah penampilan. Kami berdua sangat berbeda satu sama lain. Dia tinggi dengan badan semampai, dan yang bikin iri, dia juga cantik. Sementara diriku dengan badan yang cenderung besar, pendek, dan wajah yang yah... biasa sajalah. Okelah, pendek tidak selalu berarti jelek. Buktinya teh Kiran, dengan tubuh mungil, dia selalu menjadi idola. Tetapi dia punya lebih banyak nilai plus dibandingkan aku, yaitu dia memiliki kulit putih dan wajah yang juga cantik. Dan karena mereka berdua adalah sahabatku, maka aku harus puas melihat mereka dikerubuti penggemar, sementara aku? Yang menyadari aku ada pasti karena dia sudah kutabrak duluan.
Ada lagi sahabatku yang lain yang dia juga pendek dan berbadan montok (aku tak sampai hati menyebut gendut, karena aku sendiri juga lebih besar daripada dia), namun dia juga tidak memiliki paras yang mengecewakan. Bahkan dia juga pintar. Namanya Jihan. Dia bahkan kini telah diterima menjadi dosen di kampus kami, bahkan sebelum kami benar-benar diwisuda. Dan tahu tidak, ketiga sahabatku itu termasuk yang paling menonjol di kelas saat kuliah. Jelas aku mati kutu dan mati gaya bila berkumpul bersama mereka.
So? Haruskah aku menjadi merana dan meratap bahwa mengapa Tuhan tidak adil? Karena memang sepertinya Dia tidak membagi sama rata kelebihan tiap hambaNya. Buktinya, aku sendiri sangat kesulitan meruntut apa kelebihan yang kupunya. Sementara aku mudah sekali mengidentifikasi apa kelebihan orang lain. Apalagi sampai sekarang aku juga tidak menemukan belahan jiwaku yang entah di mana rimbanya. Mungkin saja sekarang dia sedang melancong di negeri antah berantah kemudian mati terlindas truk atau kereta api sehingga praktis jodohkupun takkan bisa kutemukan. Hah.
Walaupun masih terbersit dalam pikiranku, aku masih mengharapkan jodohku itu ada. Bahkan dia exis dalam hidupku yang selama ini kelam. Seseorang yang kuharapkan sekali bisa menjadi pendamping hidupku bahkan sejak aku berada di bangku SMA. Sayangnya, harapan berbanding terbalik dengan kenyataan. Dia selamanya hanya kupendam dalam pikiran dan hatiku. Dan obsesi terpendamku itu bernama Mirza. Seorang bintang kelas, yang tidak hanya jenius tapi juga rupawan, dan sejuta sifat cemerlang dari dalam dirinya. Roxy (panggilan sayang untuk Roxanne, sahabatku) yang selama ini sangat angkuh dan independen, pernah menyukainya. Itu sekelas Roxy yang gayanya sudah seperti titisan Cleopatra. Apalagi aku yang sederhana seperti ini. Jelas aku telah jatuh dalam pesonanya jauh lebih dalam.
Menyebut Mirza, selalu menjadi pisau bermata dua yang tidak hanya menusuk hatiku tapi sudah mengoyaknya hingga hancur. Ia adalah bintang terangku. Karena dia, aku termotivasi untuk lebih rajin dalam kuliah dan meningkatkan prestasiku—agar aku bisa masuk ke dalam dunianya. Bahkan, aku bersedia menjadi komting di setiap kelas, agar aku bisa mengatur pembagian kelompok agar aku bisa sekelompok dengan dirinya. Walau ketika berdiskusi, selalu hatiku lagi-lagi patah karena sikapnya padaku. Aku tahu, dia membenciku. Sangat. Aku hanya tidak tahu sebabnya. Apa karena perasaanku padanya yang jelas-jelas terbaca seperti buku yang terbuka dan dia merasa malu karena aku menyukainya? Atau karena kebodohanku, yang jelas tidak akan mengimbangi dirinya sampai kapanpun? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Dan betapa, aku mengutuki ketidaktahuanku.
Teman-temanku tahu tentang perasaanku padanya. Dan mereka mati-matian berusaha mengembalikan aku ke alam nyata saat aku mulai gila karena Mirza. Bahkan Jihan sempat menjadi perantara aku dan Mirza, saat aku bertekad menyatakan perasaanku sebelum kami lulus. Memang cengeng, tapi aku merasa itu satu-satunya kesempatan. Tapi tahu tidak apa jawabannya? Dia bahkan tidak mau repot-repot meluangkan waktunya untuk membaca suratku (yah, aku terlalu pengecut untuk bicara secara langsung). Dia juga mengatakan aku terlalu sentimentil gara-gara pengaruh serial korea yang sering kutonton. Padahal, aku hanya ingin tahu secara langsung apa yang dia rasakan untukku. Seperti suntik mati kepada orang-orang yang koma dan tidak punya harapan hidup. Tetapi bahkan untuk itupun dia tidak mau. Rasanya seperti menelan berjuta-juta jarum dan menembus tubuhku. Perih. Dan aku tidak bisa menanggungkannya lagi.
***
"Ngelamun apa?" suara lembut teh Kiran menyadarkanku. Oke, kembali ke alam nyata lagi. Aku tergeragap. Kami sedang berada di rumah Jihan yang juga salon plus penyewaan pakaian pengantin dan kebaya. Ketiga sahabatku sedang mencari kebaya untuk wisuda kami minggu depan. Rasanya setelah empat tahun dalam kehebohan yang luar biasa bersama mereka dan juga Mirza tentunya, aku menjadi sedikit melankolis bahwa setelah ini kami sudah resmi jadi sarjana, dan tidak akan bertemu lagi dalam waktu yang lama karena sudah memiliki prospek karir masing-masing. Aku di Madiun, Jihan tetap di Surabaya menjadi dosen di kampus kami, teh Kiran jelas akan pulang kampungnya di Bandung, dan Roxy di Semarang.
"Apa lagi kalau bukan si itu," dengus Roxy seraya meraih air minum kemasan di meja rias salon. Aku tersenyum kecut. Bukan Roxy namanya kalau tidak ketus dan sinis. Itu kelemahannya yang paling fatal, karena siapa cowok yang berani mendekatinya kecuali akan ditebas oleh kata-katanya yang setajam pedang. Dia sedikit mirip Mirza, sama-sama suka lagu-lagu berbau dark underground (maksudku yang seperti jenis musik Evanescence, Within Temptation, System of a Down, dsb—aku sih tidak tahu genrenya, makanya kusebut dark underground), suka membaca buku-buku tebal, pandai berbahasa Inggris, bahkan juga suka melempar kata-kata yang jelas-jelas bikin orang lain keder. Apalagi mereka pintar dan rupawan. Tapi Roxy jelas-jelas menyatakan kekagumannya pada Mirza sudah tidak bisa dikatakan sebagai cinta, karena Roxy merasa kalau ada dua orang yang sama-sama tidak punya kepekaan dan kelembutan hati seperti mereka maka akan membahayakan orang-orang disekitar mereka. Seperti yang Roxy bilang,"Kasihan anak gue dong ntar. Jadi orang yang dingin dan gak punya hati kayak ortunya. Padahal kan pengennya anak gue gak terlalu mirip gue sifatnya."
Jihan hanya tersenyum kecil. "Mirza gitu maksudnya?" Aku hanya mengulas senyum seadanya. Jihan langsung duduk di sampingku dan meremas tanganku—memberikan kekuatan. "Kamu masih belum bisa ngelupain dia?"
"Jelas belumlah. Sampai masuk bawah sadar," Roxy mengambil salah satu kebaya berwarna ungu dan menempelkan di badannya."Cocok nggak?"
"Apanya yang masuk bawah sadar?" teh Kiran menatap Roxy penuh ingin tahu.
Roxy menatap bayangannya di cermin. Dasar miss narsis. "Yah, tahu sendiri, kayaknya sekarang ada yang keranjingan dorama Jepang karena merasa Korea sudah tidak bermutu..."
Aku tersedak. Dasar Roxy. "Nggak lah ya. Korea memang terlalu mellow kok ceritanya, gak kayak dorama yang bikin orang mikir dan ceritanya jauh lebih seru. Apalagi yang Doctor Blue."
"Hah!" Roxy memutar bola matanya. "Dan sejak kapan kamu suka sekali dengan cerita yang bikin mikir dan menegangkan? Biar kutebak, pasti tokoh utamanya cowok berhati baja dan sikap dingin, jenius dan cakep."
Jihan terkesiap. "Wah... memang betul juga sih kayaknya."
"Iya gitu, Kil?" tanya teh Kiran. Oia, panggilan kesayangan mereka padaku adalah Gokil, karena aku memang selalu berhubungan dengan hal-hal yang gila-gilaan. "Masak sampai sekarang, masih terobsesi sama si Mirza?"
"Mmm... Gak gitu juga sih, teh." Aku bergumam. "Tapi yah namanya melupakan adalah hal yang tersulit yang pernah kulakukan."
"Kamu gak akan nembak cowok sembarangan lagi kan? Gara-gara kamu gak bisa ngelupain Mirza?" Jihan masih memegang tanganku. "Nanti malah bikin kasus lagi..."
Aku menghembuskan nafas kuat-kuat seolah ingin mengenyahkan Mirza dari tiap jengkal tubuhku. Setiap kali aku tertekan karena Mirza, pelarianku adalah yah mencoba mengalihkan cintaku kepada orang lain. Masalahnya adalah, kadang aku menyatakan perasaanku kepada mereka tanpa ada tedeng aling-aling. Terang saja mereka menolak, aku juga lega sekaligus sakit. Lega, karena aku sendiri tidak yakin dengan perasaanku kepada mereka, namun sakit karena ternyata tidak ada seorang pria manapun yang suka padaku.
Roxy menatapku dengan pandangan iba sekaligus... pengampunan. Seperti orang minta maaf. Aku sedikit terkejut. Biasanya Roxy akan mengerling tajam dan melemparkan "kata-kata mutiaranya", walaupun terkesan menyakitkan dan menusuk, tapi memang ada benarnya. Tapi kali ini wajahnya seakan menyiratkan sesuatu. Rahasia yang tak terkatakan. Aku penasaran. Memang dia tidak menyinggung apa-apa lagi setelah itu, karena sibuk mengepaskan kebaya yang sesuai dengan karakternya yang benar-benar seperti Miss Universe. Dan kami pun sibuk dengan persiapan wisuda yang mengharuskan kami harus anggun dengan sepatu hak tinggi, yang menjadi momok bagi kami (ya iyalah, biasanya saja pakai sepatu hak datar). Tapi tetap saja, aku penasaran.
***
Momen wisuda ini seakan menjadi momen yang menjalin kekerabatan dan silahturahmi. Bahkan orang-orang yang dulu selama kuliah saling ribut dan bermusuhan, kini malah bertukar alamat dan berfoto bersama. Aku tentu saja banyak berfoto-foto dengan ketiga sahabatku. Saat hendak memasang pose gila-gilaan yang menjadi khasku, tiba-tiba kulihat Mirza. Dengan jas hitam dan dasi biru, dia semakin kelihatan elegan. Dia juga nampak mengambil foto, merekam segala adegan keriuhan pra wisuda. Sampai kemudian kudapati matanya tertumbuk pada seseorang. Dan sumpah, demi Allah, aku melihat sudut mulutnya terangkat sedikit. Hampir tak kentara. Lalu saat melanjutkan pandangannya ke arahku, dia hanya memalingkan muka. Dan tahu tidak, serpihan hatiku rasanya makin lebur dengan air mata yang mengalir dalam benakku.
***
Wisuda usai. Dan bekasnya seolah menjadi abu. Percikan kegembiraan itu telah meluap seiring dengan Mirza yang masih juga membenciku. Aku benar-benar merasa sakit. Memang apa salahku sampai dia harus membenciku begitu rupa? Apa aku tidak layak bersanding dengan dirinya? Apa baginya aku bukan manusia? Kutumbuhkan kebencianku padanya agar dapat mengikis perasaanku yang takkan terbalas. Namun semakin benci, aku malah semakin tergugu karena mengingat sikapnya padaku. Dulu aku sempat berharap, bahwa seperti di film Itazura Na Kiss, di mana seorang cowok jenius akhirnya bisa jatuh cinta dengan cewek yang bodoh namun memiliki kerja keras dan semangat yang luar biasa, aku dan Mirza juga akan bisa menghadapi kisah serupa. Sayangnya, seperti yang dikatakan orang, kenyataan dan mimpi tidak selalu sejalan.
Sampai suatu hari kudengar, Mirza akan datang ke Madiun. Dia diundang menjadi pembicara seminar di kantorku. Aku menjadi gugup dan semakin tak mengerti apa yang harus kukatakan padanya nanti. Apa dia akan menghindariku lagi? Atau apakah aku punya keberanian, bahwa aku akan menanyakan jawaban dari surat cintaku dulu? Tahu tidak. Aku malah sering insomnia gara-gara memikirkan Mirza yang akan segera datang di akhir minggu ini. Namun mengingat senyumnya yang ditujukan kepada seseorang saat wisuda itu, juga membuat duniaku jungkir balik. Apakah Mirza menyukainya? Benarkah? Dan mengapa hatiku makin sakit karena dia menyukai orang lain, padahal dulu aku bertekad akan merelakannya kalau dia memang mencintai orang lain?
***
"Bagaimana kerjaan?" tanya Mirza canggung saat dia berada di kantorku. Bosku sedang sibuk menyiapkan ruang seminar dan yang lainnya sibuk mengordinasi peserta dan perlengkapan untuk seminar tersebut. Hanya ada aku yang sedang penggangguran karena pekerjaanku nyaris terbengkalai gara-gara konsentrasiku memecah saat Mirza datang.
"Baik. Mm... kabar anak-anak di Surabaya gimana?"
Mirza mengedikkan bahu."Yah, biasa. Baik-baik saja."
Sesaat nyaris tak ada yang berbicara. Aku merasa seperti orang tolol karena berdiri di tengah ruangan dan hanya bisa diam. Mirza pun juga kaku dan canggung. Duh, benar-benar salah tingkah. Sampai akhirnya aku membuka mulut untuk bicara, dan aku terkejut karena ternyata aku benar-benar menanyakan itu.
"Apa kau sudah punya pacar?"
Mirza nampak shock. Di sekitar kami, orang berlalu lalang seakan tak mendengar apa yang kukatakan barusan. Atau pura-pura tak mendengar.
"Jihan bilang kau sudah punya. Aku hanya ingin memastikan... untuk terakhir kali," ujarku menunduk. Kepalang basah, aku teruskan saja. "Mungkin setelah ini, aku nggak akan mengganggu kamu lagi. Aku gak akan ada dalam hidupmu lagi. Aku akan menghentikan perasaanku padamu. Kau mungkin mengira aku tidak serius, karena mudah sekali mengucapkan cinta kepada banyak pria. Tapi jujur, sebenarnya, itu cuma pelarian..."
"Cukup!" sergah Mirza kasar. Wajahnya nampak benar-benar murka dengan kalimat yang kuutarakan barusan. Aku semakin tertunduk. "Aku sudah cukup muak, dengan setiap yang kamu lakukan ini. Kamu terlalu hidup dalam alam drama, sama seperti drama koreamu itu. Aku sudah tidak tahan lagi. Mengapa kamu masih memperpanjang masalah ini?!" Dan Mirzapun berbalik dan melangkah keluar dari ruanganku. Aku terisak.
"Tunggu, Mas!" panggil Nisa, adik kelasku yang sedang magang di kantorku. Kepadanyalah kuungkapkan perasaanku pada Mirza selain pada sahabatku. Aku begitu sibuk menenangkan diriku sampai tidak sadar, sejak kapan Nisa ada di sini dan mendengarkan pembicaraan kami, atau malah seluruh kantor sudah mengetahui semuanya. Mirza berhenti. Dia menolehkan kepalanya sedikit.
"Apa lagi?" gusarnya. Nisa memegang pundakku. "Apa kamu juga mau bermain drama juga? Kalian tidak sadar, bahwa terpengaruh dengan drama sampai tidak bisa membedakan mana realita mana yang imajinasi itu seperti racun. Dan itu jelas-jelas bukan sifat yang bisa dikembangkan."
"Setidaknya, berikan mbak Icha jawaban. Cuma itu yang dia butuhkan. Kalau memang tidak suka, mending katakan saja. Sehingga mbak Icha akan lebih lega dan.."
"Itu omong kosong!" desis Mirza. "Tidak ada perasaan lega dan segala macam itu setelah dia mengetahui jawabanku. Itu benar-benar semangat palsu yang disuntikkan drama-drama dan sinetron. Dia bisa bangkit dan bahagia tergantung dengan caranya menyikapi hidup dengan benar. Bukan karena menjalankan apa yang seperti di drama! Kamu tahu, di kehidupan nyata, setelah aku menolaknya, dia pasti masih akan menangis, dan suatu saat dia akan kembali lagi mengharapkan aku. Lalu dengan bodohnya akan menyatakan cintanya lagi. Dan itu memuakkan."
"Lalu kenapa?" tantangku. Aku benar-benar merasa tersinggung oleh setiap kata yang dihunjamkannya ke jantungku. "Kenapa kamu tidak segera saja mengatakan kebencianmu padaku secara terang-terangan. Agar aku tidak akan menyukaimu lagi. Kenapa kamu memperparah aku kalau kamu tidak mau terganggu olehku? Please, Za. Bilang saja terus terang. Dan kali ini aku bersumpah, aku tidak akan mengganggumu lagi."
Mirza berbalik menatapku. Tajam. Namun juga ada kepedihan di sana. "Kamu mau tahu? Kenapa aku membencimu? Benci dengan segala yang berhubungan denganmu? Karena dengan adanya dirimu, aku tidak bisa bersama dengan orang yang benar-benar meluluhkanku."
Aku tertegun. Rupanya ... senyuman Mirza itu memang bermakna. Senyuman itu menggambarkan hatinya. Dan rupanya ... karena akulah, dia tidak bisa mendekati sesosok orang yang dicintainya. Aku tergugu. Rasanya terguncang teramat sangat. Jadi selama ini...
"Benar. Aku tidak bisa bersama dia, karena pasti kalian terikat dengan semua omongan cewek itu. Yang tidak akan menyukai cowok yang sama. Berkorban demi persahabatan dan bla bla bla lainnya yang kekanakan. Walaupun aku tahu, dirinya bukan tipe orang melankolis dan cengeng seperti dirimu, tapi tetap saja. Kalau kamu masih ada, aku tidak akan bisa bersamanya. Kamu puas? Sekarang enyahkan saja perasaanmu. Aku sudah tak ingin lagi berhubungan denganmu ... dan dia lagi. Karena jelas tidak mungkin."
Nisa tercengang. Dia kemudian memelukku erat dan membisikkan kata-kata penguatan. Mirza pun bergegas keluar dari ruanganku dan pergi. Beberapa rekan kerjaku yang mendengarkan percakapan barusan, ikut menghampiriku dan memotivasiku agar tidak terlalu memikirkan Mirza lagi. Tapi, sampai kapanpun aku tidak bisa. Aku tidak bisa melupakan perkataannya. Dan semakin menjerumuskan aku ke dalam jurang kesakitan yang paling dalam...
***
Dan sekarang sepuluh menit menjelang hari kelahiranku. Aku hanya bisa memandangi foto Mirza yang kuambil secara sembunyi-sembunyi saat dia mengisi materi seminar kemarin. Walau setelah itu dia hanya melengos saat melihatku, aku hanya bisa mengelus dada. Memang benar, seperti katanya. Rasa sukaku padanya ternyata seperti candu. Sekalipun aku tahu dia tidak menyukaiku, tapi tetap saja aku masih merasa jantungku berdegup kencang saat memandang fotonya. Lalu aku beralih ke mading kerjaku. Saat menatap foto yang tertempel di sana, hatiku semakin dirajam rasa pedih. Itu adalah fotoku dan ketiga sahabatku saat wisuda. Dan nanar, mengingat ucapan Mirza. Aku tidak akan bisa bersamanya, kalau kamu ada. Terlintas senyumannya pada saat pra wisuda yang ditujukan pada seseorang. Yang telah berhasil meluluhkan hatinya. Aku tidak akan bisa bersamanya, kalau kamu ada. Dan orang itu adalah Roxanne Ferdita. Sahabatku.
***
"Bangun, oi!!!" seru sebuah suara memekik di telingaku. Aku gelagapan. Apa? Apa? Buru-buru kukucek mataku dan mulai mengenali di mana aku berada. Ya Tuhan, rupanya aku ketiduran di meja kerjaku semalaman. Aku bahkan melewatkan sholat shubuh, karena insomnia kemarin. Namun saat menatap sosok-sosok di hadapanku, aku ternganga tak percaya.
"Met Ultah, Gokiil!!!!" teh Kiran memelukku dan menyodorkan bingkisan padaku. Aku menjadi terharu. Rupanya mereka sengaja mengosongkan jadwal kerja mereka dan datang dari luar kota untuk merayakan ultahku.
Jihan kemudian bercerita,"Ini idenya Roxy. Dia bilang, ingin bikin sesuatu yang berbeda tahun ini. Dia kemudian menyuruh teh Kiran datang ke Surabaya. Lalu aku dan teteh berangkat ke Madiun naik bis. Roxanne sendiri dari Semarang terus nunggu kita di terminal. Sampai berjam-jam lho dia nunggu di terminal..."
Roxy mengerutkan wajahnya lucu. "Ya dong. Sekali-kali liburan ke luar kota, gak ada salahnya." Aku menatapnya. Kurasa aku memahami kenapa dulu ia menatapku dengan pandangan minta maaf. Mungkin Mirza sudah mengatakan yang sebenarnya... atau yah, kepekaan Roxy sendiri yang membuatnya begitu. Namun, tetap saja. Aku tidak bisa meluapkan kemarahanku padanya. Bukan dirinya yang salah. Atau Mirza. Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa.
"Kok pada diem-dieman gini? Ayo, kamu mandi sana, Kil. Terus ajak kita jalan-jalan, tadi aku udah minta ijin sama bosmu buat nemenin kita. Kita juga udah mandi di terminal tadi, bayangin aja. Si Roxy sampai bergidik lihat kamar mandinya. Tapi yah, demi persahabatan... apa sih yang enggak?" cerocos Jihan lagi.
Aku tersenyum. Bagaimanapun, aku terharu mereka datang saat ulang tahunku. Menjadi penguatku, bahwa walau mungkin perjalanan cintaku masih terlalu jauh dan terjal untuk menemukan peraduannya, tapi aku akan selalu punya mereka. Dan itu merupakan kado berharga.
Teh Kiran mulai mengeluarkan oleh-olehnya dari Bandung. Dia dan Jihan sibuk berbagi cerita mengenai perjalanan mereka. Sementara Roxy, saat menatapku lagi, ia tersenyum tulus.
"Be happy," bisiknya. Aku mengangguk. Tanpa bicara, kami saling menyampaikan pesan. Dan aku tahu, dia sama sekali tidak berniat menganggapku tidak penting. Aku merasakan ketulusan yang terpancar dari matanya. Entah, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Mirza, apakah suatu hari mereka akan bersama atau tidak, aku hanya bisa berpasrah dan merelakan. Mungkin saja suatu hari Mirza akan menemukan gadis lain, atau berpaling padaku, aku hanya bisa menduga. Namun untuk saat ini, aku bahagia karena aku memiliki sahabat-sahabatku untuk bersandar.
Aku menghela nafas. Dan dengan meneguhkan hati, ku berdoa semoga kami akan mendapatkan kebahagiaan kami masing-masing. "Happy Birthday, Gokil!!!"
Semarang, 26 Januari 2012
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top