Bab 4



Sesampainya Anastasia pada pinggir kota Gemma, menghindari sepasukan tentara yang mengejarnya, seorang bocah laki-laki—umurnya tidak lebih dari sebelas tahun—menyandarkan pundaknya pada batang salah satu pohon. Mata abu-abunya yang bosan seketika berkilat ketika pandangannya menemukan Anastasia, seakan-akan ia telah menanti Anastasia seabad penuh.

"Bagaimana peringatannya?" tanya bocah itu. Salah satu alisnya terangkat.

Mengedikkan bahu, Anastasia berujar, "Pernahkah aku gagal?" Tangannya terangkat untuk mengacak rambut gelap bocah itu. "Sekarang mari kita berharap semoga dengan peringatan itu, warga Reibeart—terutama para pro-Reyes—mendukung pergerakan kita." Anastasia kembali berkata, "Bagaimana denganmu, Kaspar? Apakah kau menemukan sesuatu yang menarik?"

Bocah itu, Kaspar, mengerang. "Kau yang memerintahkan aku untuk tetap tinggal di perbatasan, Tasia. Menunggu dan menunggu. Mengapa kau tidak mengizinkanku untuk ikut bersamamu? Cain mengizinkanku, tapi kau tidak." Kaspar meraih sebuah belati dari sepatunya dan menyabet udara, memamerkan keterampilan pedangnya yang handal. "Aku bisa melindungimu, kau tahu."

Anastasia tersenyum samar, menyaksikan tingkah bocah di hadapannya. Kaspar adalah seorang anak yatim piatu yang Anastasia temukan tak lama setelah perang saudara lima tahun lalu. Perang saudara telah merenggut nyawa kedua orangtuanya. Di depan matanya. Tidak mengherankan, ketika Anastasia menemukannya di sebuah rumah yang ditelantarkan, kedua manik abu milik Kaspar seakan menusuk mati kehadiran Anastasia. Sepasang mata keabuan itu tampak begitu kelabu tanpa kerlingan riang yang biasa menghiasi pandangan anak-anak. Ia telah melihat terlalu banyak hingga menggerogoti jiwanya.

Pada saat itu, entah bagaimana, Anastasia merasa simpatik dengan bocah itu. Enam tahun, tidak punya tujuan hidup dan membenci semua orang. Meskipun Anastasia tak pernah mengidentifikasi sebagai wanita yang menunjukkan sisi emosionalnya, ia mengingatkan dirinya sendiri betapa menderitanya ia ketika ayahnya dibunuh. Dibunuh oleh bajingan berwajah tampan, Tristan Schiffer. Anastasia tidak akan pernah memaafkannya, tidak juga dendamnya. Dendam itu akan selalu ia bawa melingkupi hatinya sehingga tak akan ada seorang pun berani menyentuh hatinya.

Anastasia lalu meminta izin kepada Cain Abernathy untuk membawa bocah itu bersama GPR. Dan tanpa berpikir dua kali, Cain mengangguk setuju. Kaspar menunjukkan potensi kuat seorang pengguna Zahl Ofensif sejak dini, dan Anastasia menyadarinya. Aura merah di sekitar tubuhnya menguar kian kuat seiring hari berganti malam dan bulan digantikan matahari. Kemudian, pada umur Kaspar yang ketujuh, Anastasia memutuskan untuk mengajarinya bela diri, cara memegang sebilah pedang, membongkar pasang senapan, membidik tepat sasaran, menunggang kuda, membaca, dan menghitung. Anastasia tak berniat menjadikan bocah itu mesin pembunuh; namun satu-satunya cara untuk bertahan dalam dunia yang begitu kejam adalah melawannya balik.

Memandangi Kaspar tak berhenti memotong udara dengan belatinya, Anastasia cekatan merebut bilah itu dari genggaman Kaspar. Sebuah raut tidak senang meriak di wajah tampan Kaspar. "Aku tersentuh dengan perhatianmu. Tapi—" Anastasia menyimpan belati itu ke dalam kantong senjatanya. "Cain pasti menunggu laporan dariku."

Anastasia menjulurkan sebelah tangannya pada Kaspar yang bocah itu terima dengan hangat. Anastasia adalah satu-satunya orang yang ia percaya. Senyum manis menghiasi bibirnya. "Ayo, kita pulang." Kaspar memulai langkahnya.

***

Begitu sampai di markas GPR, jauh di dalam Hutan Fork tepat di luar Gemma, Anastasia dan Kaspar disambut hangat oleh anggota yang tengah berlalu-lalang. Beberapa menepuk pundak Anastasia sebagai apresiasi dari kerjanya yang sempurna. Mereka pasti telah mendengar kabar keberhasilannya mempermalukan dua anggota dari Pasukan Pemberantas Reyes. GPR memiliki mata juga telinga di mana-mana. Informasi mengalir bagai air sungai yang deras mengalir. Seperti suara nyaring kawanan kelelawar yang melenggang keluar pada malam sunyi kala tiap orang tidur beristirahat di rumah.

Rumah. Anastasia membawa pandangannya memutari lingkungan markas yang sarat akan solidaritas dan kehangatan sembari melangkah maju. Berbagai macam orang berkumpul di sini. Beberapa tidak punya tujuan, makanan, atau rumah. Tak sedikit juga yang datang atas kesetiaan mereka kepada Reyes. Dan sebagian kecil menetap sebab memanggul dendam yang harus dilampiaskan kepada Seymour. Kepada Reibeart. Atas kehilangan, atas apapun yang membuat mereka membenci Seymour.

Tentu saja, rezim Seymour tidak lagi berkuasa atas Reibeart. Keturunan terakhir dari keluarga Seymour, sang putri mahkota—Thalia—lenyap bersama dengan kepala keluarga Reyes, Alec. Hal tersebut menyebabkan kosongnya kekuasaan di Reibeart. Namun, para tentara yang telah bersumpah mati untuk menjaga Reibeart, menggantikan posisi sang putri sebagai pemimpin kerajaan. Berharap suatu saat nanti, akan menemukan sang putri.

Dan Gerakan Perjuangan Reyes tidak akan membiarkan begitu saja mereka menemukan kembali sang putri jelita berambut hitam dengan manik emas yang mampu menyihir siapapun melalui pandangannya.

Menyihir Alec, batin Anastasia. Lidah Anastasia getir ketika benaknya menyebut nama kekasihnya itu.

"Masuklah, Stokes." Suara Cain Abernathy teredam oleh bahan tenda yang menjadi tempat pertemuan serta merancang strategi. Anastasia menunduk masuk mendapati Cain Abernathy berdiri di sana bersama beberapa petinggi GPR dan seorang pria berparas ketimuran, menawan sekaligus eksotis. Ia mengenali pria itu sebagai Fang. Pedagang yang meraup bergunung-gunung kekayaan dari kerjanya berkecimpung di perdagangan gelap. Lima tahun lalu, Fang menemukan GPR yang baru saja berdiri. Fang menawarkan bantuan kepada GPR tidak mengharapkan keuntungan apapun. Mengisi waktu luangku, ujar Fang. Namun, pemikir secermat Anastasia mustahil menghiraukan nada misterius pada suaranya.

Mata sipit Fang beralih riang padanya. "Tasia Stokes, aku dengar kau menyarangkan tinjumu pada rahang sang komandan."

Anastasia tersenyum samar. Ia tidak pernah menyukai pria ini. "Ya. Aku tidak menduga kehadiranmu, Fang."

"Oh, kau harus meningkatkan antisipasimu terhadap kedatanganku, Stokes. Aku punya seluruh waktu luang di dunia ini." Fang menyandarkan punggungnya santai pada salah satu tiang besi penopang tenda. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada menguarkan aura misterius persis dengan yang ia tampakkan kala bertemu Anastasia lima tahun lalu.

"Apa yang membawamu jauh ke sini?" tanya Anastasia.

Fang menyeringai. "Jauh?" Sosok langsing pria itu menghilang dalam bayang kemudian muncul dari bayangan tepat di samping Anastasia. "Tak pernah ada kata jauh dalam kamusku."

Pertama kali berjumpa dengan Fang, Anastasia membelalakkan mata tidak percaya. Pria ini mampu berpindah dari satu tempat ke tempat lain melalui apa yang disebutnya sebagai portal bayangan. Ia muncul lalu pergi semaunya tak ubahnya hantu. Tak mengherankan, sesungguhnya, pria ini dielu-elukan sebagai raja perdagangan gelap. Dalam gelap bayangan meraja dan ia adalah orang yang mampu menguasainya.

Cain Abernathy berdeham. "Stokes, tolong laporannya."

Anastasia mengalihkan tatapannya pada Cain. "Sesuai dugaan kita, rakyat Reibeart tidak mengenaliku sama sekali. Mereka menganggap aku sejarah. Dan aku sudah memastikan agar tulisan itu terlihat oleh siapapun yang melalui jalan raya. Beberapa orang—terutama pro-Seymour—sudah kembali dikuasai oleh ketakutan kolektif akibat perang saudara. Sedangkan pro-Reyes tentunya menyambut kabar tersebut dengan gembira—" Sudut mata Anastasia menangkap sekelebat foto profil seorang wanita dengan rambut hitam yang ia kenal. Napasnya tercekat. Ia tak salah mengenalinya. "Jika dalam waktu singkat kita akan melancarkan serangan, kukira, menjadi hal semudah mematahkan sayap kupu-kupu."

Sorot mata Cain menemukan apa yang diliriknya tadi. Pria itu meraih foto tersebut dan melemparkannya pada Anastasia. Tanpa menyiakan sedetik pun, Anastasia membalikkan foto tersebut kemudian menelitinya, hati-hati. Foto tersebut diambil dari sudut belakang kanan si wanita. Menampakkan hidungnya, putih wajahnya dan rambut hitam bagai tirai malam. Sekalipun wajah wanita itu hanya tampak sebagian, kecantikannya memancar seakan-akan rembulan akan tersipu malu melihatnya.

Bahkan sebelum Anastasia mendongakkan kepala, suara Cain Abernathy telah bulat memenuhi tenda itu. "Thalia Ersa of Seymour, seperti dugaanmu."

Dahi Anastasia mengernyit tidak percaya. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan kesimpulan dan—"Di mana?"

"Whiteford. Mengunjungi seseorang, sepertinya. Aku juga tidak begitu yakin. Aku dikirimkan foto ini oleh salah satu mitraku di sana, penyuplai gas racun kita. Namun, Thalia menutupi jejaknya begitu baik sehingga tak seorang pun pernah melihatnya lagi setelah foto itu." Cain menurunkan pandangannya pada foto yang tersampir di tangan Anastasia.

"Kita harus menemukannya sebelum pasukan Reibeart." Sebelum Tristan, pikir Anastasia. Sejak kali pertama bertemu dengan pria itu, Anastasia menumbuhkan semacam arogansi. Pria itu telah membuatnya gila oleh sebuah perasaan. Sejenis perasaan di mana ia tak sudi merasa kalah oleh pria itu dalam hal apapun. Dan ia tidak pernah kalah. Tidak akan. Ia akan berada satu atau mungkin seribu langkah di depan Tristan Schiffer, menertawakan pria itu kemudian membunuhnya. Melampiaskan dendamnya.

Pembunuh ayahnya.

Suara misterius Fang berembus di belakang telinganya. Telapak tangannya meremas pundak Anastasia. "Sayang, kita akan menemukannya." Fang melanjutkan, nadanya sarat oleh gelap yang terasa amat sangat absolut. Lebih gelap dari warna rambut pria itu. "Aku menginginkan kepalanya di piring perakku."

***

Siang lekas berserah kepada malam. Anastasia berbaring menatap langit-langit tendanya. Ia menggeser tubuhnya mencari-cari posisi yang nyaman. Tetapi, seberapa banyak Anastasia mengubah posisi tidurnya, ia tak akan bisa menemukannya. Sebab, apa yang membuatnya tidak nyaman bukan posisi tidurnya. Bukan juga bantal maupun kasur kerasnya melainkan pemikiran yang tumpang tindih dalam benaknya.

Anastasia kemudian berbaring pada sisinya. Ia melemparkan pandangannya pada dinding tenda seolah-olah lapisan itu tak ubahnya jendela bening di kamarnya dulu. Setiap pagi ia akan bangun oleh sorot matahari pagi yang mengusik kelopak matanya. Kemudian, ia bergabung dengan ayahnya menyantap sarapan. Ketika kecil, ayahnya tak jarang mengelus puncak kepalanya dan merapalkan mantra. Tasiaku yang manis. Tasia yang manis. Kau akan membuat takluk Sang Reyes dan membawa Stokes ke atas puncak kejayaan.

Mantra pada pagi, ninabobo pada malam hari, dengung ayahnya tiap saat. Kendati menuntut banyak dari Anastasia, Henry Stokes tak pernah sekalipun melewatkan waktu mencurahkan sayang kepada Anastasia. Ayahnya mungkin tampak dingin, namun pria itu memikul beban berat di kedua pundak lebarnya demi menjadi ayah sekaligus ibu bagi Anastasia. Anastasia tak pernah mengenali rasa sayang dari ibunya melainkan dari ayahnya. Tak satupun kata di dunia yang mampu menggambarkan dalamnya rindu pada ayahnya sekarang setelah ia tiada.

Anastasia merasakan setusuk sakit pada hati mengenang ayahnya. Penantian adalah hal yang sia-sia, keraguan seharusnya sirna, pengendalian adalah kunci utama. Kalimat itu juga merupakan mantra dari Henry Stokes, ayahnya. Kendali. Kendalikan perasaanmu, Anastasia. Dunia tidak pernah bersikap lembek pada siapapun.

Ya, ayah.

Dengan itu, Anastasia menarik panjang satu napas, lalu mengembuskannya. Ia harus mendapatkan istirahat yang cukup. Pagi sekali nanti, GPR akan berpindah ke daerah lain. Anastasia berharap mereka pindah ke hutan yang serupa dengan hutan ini. Penuh hijau segar menenangkan pikirannya. Kicauan burung bagai suara petikan gitar di siang hari. Kelopak matanya mengatup, semakin berat, membawanya perlahan detak demi detak ke bawah alam sadar—

Samar-samar teriakan terdengar di ujung pikirannya. Membesar dan kian besar. Teriakan itu diiringi entakan kaki bagai beribu kuda berlarian. Anastasia segera bangkit, meraih pisau serta pistol yang ia sisipkan di bawah kasur. Ada yang tidak beres, pikirnya. Segala hal di luar tendanya berubah menjadi kekacauan mengerikan. Baru saja Anastasia hendak menyingkap kain yang menutup tendanya, gendang telinganya dirasuki suatu suara nostalgis.

"Markas kalian telah kami kepung. Menyerahlah atau akan terjadi pertempuran darah!"

Anastasia membatu seakan-akan sebuah petir menyambar pusat pergerakannya. Suara itu melumpuhkannya. Suara itu, suara milik pria yang ia benci.

Tristan Schiffer.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top