Bab 2

Statusnya: Janda.

Bukan artinya ia adalah seorang wanita dengan tampang sedih, mengemis cinta kepada orang lain. Bukan pula maksudnya seorang wanita yang tak mampu memuaskan gairah suami, lalu kemudian ditinggalkan. Bukan juga berarti seorang wanita yang diselingkuhi sang suami. Dalam kasusnya, ia menikahi pria itu karena cinta, tapi si pria tak pernah mencintainya.

Janda bagi dirinya adalah suatu situasi di mana seorang wanita pasrah ditinggali suaminya dan masih digantung harapan bahwa pria itu akan kembali.

Anastasia Grace Stokes masih teramat mencintai Alec. Ia masih mengingat hari- hari kecil, ayahnya, Henry Stokes, selalu mendengungkan nina bobo sebelum tidur yang kurang lebih seperti ini: Kau akan membuat takluk Sang Reyes dan membawa Stokes ke atas puncak kejayaan, Tasia. Pada awalnya, memang, ia mendekati Alec hanya demi membanggakan ayahnya. Bagaimana tidak, setelah diperlakukan bagai berlian paling indah di alam semesta—perawatan kecantikan mingguan, pelatihan bela diri, guru privat terbaik, tata krama melebihi seorang putri—setidaknya, ia harus mengabulkan satu permintaan ayahnya. Dan di sisi lain, Anastasia sangat menyayangi ayahnya.

Tak banyak yang ia ketahui mengenai ibunya. Ibunya, Tara Stokes, pergi meninggalkan Henry sebelum Anastasia mampu berbicara dengan baik. Ia membenci ibunya atas cintanya yang tidak setia. Membencinya atas ketidakpeduliannya terhadap Anastasia. Namun, mau bagaimanapun, Tara adalah ibunya. Tanpa wanita itu, Anastasia tak akan memiliki hormon estrogen yang menjadikannya wanita. Kalau ia seorang pria, masih memungkinkan baginya mencintai Alec—tapi pria itu mustahil menerima cintanya.

Tapi aku seorang wanita, batin Anastasia, dan Alec tak menerima cintaku. Cinta bukanlah hal ilmiah yang mampu dijelaskan dengan pengetahuan. Cinta tidak terduga. Cinta bukan berarti pria-wanita. Bukan berarti pria-pria atau wanita-wanita. Namun, adalah kala di mana seseorang menemukan belahan jiwanya. Bagian dirinya yang selalu merasa tak lengkap. Dan Anastasia tak begitu paham dengan apa yang dimaksud belahan jiwa.

Ia mencintai Alec. Tetapi, nyatanya, pria itu bukan kepingan yang dimaksud menjadi bagian dirinya. Itu menjadikan permasalahan tersangkut cinta ini dilabeli rumit oleh benaknya. Ia memuja Alec. Sebagaimana alis tebalnya mempertegas kekerasan wajahnya. Sebagaimana ia bertarung dan nyaris selalu menang. Kata ayahnya, Alec Zachary of Reyes adalah pria yang teramat cocok bagi Anastasia. Melengkapi tiap kelebihan yang telah Anastasia miliki.

Ia pikir, kemungkinan memiliki Alec memang ada walau kecil. Tak sekecil kesempatannya ditangkap di bar tengah kota Gemma yang mana sering kali dikunjungi para tentara. Anastasia tahu, sebagai anggota pemberontak, tak seharusnya ia bermain dekat-dekat dengan anjing militer. Namun, ia di sini atas perintah Cain Abernathy, ketua pemberontakan. Tiada orang selain Anastasia yang lebih dipercaya Cain. Dan mengingat semua orang percaya bahwa Anastasia telah mati, penduduk tak akan menyangka ia berjalan di antara mereka.

Menumpukan kedua sikunya pada meja panjang bar, acuh tak acuh Anastasia duduk mengalihkan pikirannya entah menunggu targetnya datang. Menurut pemantauannya, para tentara kelas bawah berdatangan tiap malam melepas penat. Mengingat bar itu yang pula merangkap rumah bordil—penyamaran Anastasia hari ini sempurna.

Rambut pirang yang biasa kusam kali ini berkilau diterpa lampu remang bar. Tubuh indahnya yang menarik perhatian semua pria dalam ruangan dibalut gaun merah minim. Untungnya angin musim semi tak menyiksa sebagaimana udara musim dingin. Dengan rias wajah berlebihan, Anastasia kini tak ada bedanya dengan para pelacur yang berkeliaran dalam ruangan.

Mata biru esnya menatap meja tak tentu fokus saat seorang pria asing—bukan tentara, Anastasia yakin sekali itu—memeluk pundaknya. Menanyakan minuman apa yang Anastasia inginkan. Anastasia nyaris bisa menoleransi sentuhan pada bahunya itu, tetapi ketika tangannya mulai menggerayangi tubuhnya, setangkas angin Anastasia menghentikan pergerakannya.

Pria itu tertawa kecil kala Anastasia memegang tangannya. Ia mengharapkan belaian, tampaknya. Yah, sayang sekali. Pria itu tak akan mendapatkannya. Dengan tatapan setajam ular dan senyuman simpul, Anastasia mencengkeram tangan itu kuat-kuat, perlahan meremukkannya. Usahanya itu disertai jeritan kecil penuh keterkejutan serta kesakitan.

Anastasia tak berhasil mematahkan tulangnya. Sebab targetnya telah berdatangan masuk ke dalam bar. Anastasia melepaskan tangan menjijikan pria itu dan membiarkannya pergi. Mempertahankan ketenangan sempurna di wajahnya, sembunyi-sembunyi Anastasia meraba, memastikan senjatanya tersampir tepat pada tubuhnya. Di balik pakaiannya itu, kumpulan kecil belati dan pistol bersembunyi. Siapapun orang yang berurusan dengannya malam ini, mustahil pria yang beruntung.

Pria yang tak beruntung itu mendekatinya. Bukan. Bukan hanya seorang pria. Tapi dua orang sekaligus. Seragam biru-hitam-perak mereka cemerlang di bawah penerangan samar. Tak pernah berubah dari dulu, pikir Anastasia, mengingatkannya pada Tristan Schiffer. Pria yang membunuh ayahnya. Pria yang dengan bangganya menyatakan kematian Anastasia. Namun, kini Anastasia akan membalaskan dendamnya. Dan menunjukkan pada wajah tampan itu bahwa dirinya sesehat manusia manapun.

"Hei," sapa seorang serdadu. "Sendirian?"

Anastasia tersenyum manis. Ia tak percaya akan menyunggingkan senyum semanis itu selain kepada Alec. "Ya. Mau minum?"

Prajurit satunya membalas, "Tidak. Kau tahu kami menginginkan apa." Pria itu berbisik di telinga Anastasia. "Kami menginginkanmu." Lalu, pernyataan itu diakhiri dengan kecupan ringan pada kelopak telinganya.

Anastasia melenggokkan pinggangnya. Berdiri dengan provokatif sembari bermain mata dengan kedua tentara tersebut. Telunjuk Anastasia bergerak menggoda. "Ayo, sini."

Tergiur akan sirat tubuh Anastasia yang sarat bujukan, kedua pria itu mengekori goyang pinggulnya. Berjalan membelah kerumunan orang yang terlena minuman keras, tubuh seksi para pelacur, dan dentuman musik. Kendati hati kecilnya teramat ingin menenggelamkan diri di antara orang-orang serta menghilang dari sudut pandang dua pria itu, Anastasia paham dalam menjalankan tugasnya—ataupun bernapas dalam hidupnya—ia tak boleh membiarkan perasaan mengambil alih logikanya.

Sebab setelah belajar dari pengalamannya, penantian adalah hal yang sia-sia. Keraguan seharusnya sirna. Pengendalian adalah kunci utama. Intinya, perasaan itu menghambat prioritas. Jika ia akan menjebak kedua pria ini, maka ia akan melakukannya tanpa melibatkan perasaan. Perasaan adalah beban. Anastasia acap kali kewalahan mengatasinya. Sebagaimana ia dibuat pusing oleh urusan cinta.

Ketukan hak sepatu Anastasia berhenti tepat di depan pintu besi yang menuju halaman belakang bar. Sebuah lingkungan sempit gelap dan cocok sebagai tempat bercumbu—atau sebaliknya. Membunuh. Tapi, Anastasia perlu memperingatkan kepada diri sendiri, ia berada di sini untuk menjebak mereka. Demi menunjukkan pada khalayak umum bahwa Reyes belum menyerah.

Reyes belum menyerah, kata Cain Abernathy dengan kobar patriotisme terhadap nama keluarganya. Anastasia tak tahu bagaimana caranya seseorang bisa mengabdi segenap jiwanya. Selama ini Anastasia bekerja diburu takut atau lebih sering karena tak tersedianya tempat tinggal. Dan belakangan, ia mengabdi atas dasar balas dendam. Hanya dengan bergabung dengan pihak oposisi kerajaan, Anastasia bisa melampiaskan dendamnya.

Namun, ia juga tak tahu apakah istilah 'kerajaan' masih berlaku bagi negara yang dipimpin oleh pihak kemiliteran. Seusai perang saudara lima tahun lalu, Sang Putri, Thalia Ersa of Seymour (satu-satunya pewaris sah) menghilang, berikut kekasihnya Alec Zachary of Reyes. Suamiku¸ pikir Anastasia. Para jenderal dan petinggi militer mengambil alih kepemimpinan. Cain Abernathy melihat hal tersebut sebagai kesempatan bagi Reyes untuk bangkit setelah lumpub dalam perang. Ditambah dengan lenyapnya Sang Putri, hanyalah soal waktu sebelum para penduduk beralih kepada Reyes.

Tangan si prajurit terulur untuk membuka pintu besi di hadapan Anastasia. Ya, buka, begitu. Perlakukan aku bagai nyonya. Aku akan hancurkan harga diri kalian. Kedua pria itu memandanginya menggebu-gebu. Mengeluarkan udara panas menjijikan dari mulut tiap kali mereka bernapas. Anastasia keluar terlebih dahulu dan membawa mereka ke sudut bangunan yang gelap. Anastasia mendongak melihat rembulan bulat utuh tepat kala pintu besi itu berdebam menutup.

Kedua pria tersebut melangkah mendekat laiknya dua ekor serigala yang hendak menyantap mangsanya. Anastasia tersenyum, meraih ujung gaun minimnya. Lalu, menarik lapis kain merah itu sampai ke pinggulnya. Bibirnya tersenyum menggoda sementara sebelah tangannnya menyentuh sisi lehernya penuh rayuan. Datanglah. Datang. Akan kuremukkan kalian.

Suara dalam hati Anastasia bagai terdengar hingga selaput pendengaran mereka. Menerjang dan memenuhi otak mereka. Keduanya maju serempak. Tatapan nafsu membutakan mereka. Pikiran kotor memabukkan mereka. Tubuh Anastasia—adalah medium dosa mereka.

Salah seorang pria berjongkok dan menciumi kulit paha Anastasia. Sementara yang lain menciumi sisi lehernya. Tubuh Anastasia meliuk-liuk di antara sentuhan itu. Kendati demikian, sentuhan-sentuhan itu tak berefek baginya. Mungkin ia sudah lama tak disentuh—namun, goda demi goda yang dilancarkan dua serdadu ini tak berarti apapun baginya.

Sejak Alec pergi, dunianya tak penuh gairah.

Lalu, disentak oleh kenyataan bahwa salah seorang dari mereka nyaris menjamah kewanitaannya, Anastasia menendang jauh pria yang berdiri. Sedangkan yang tengah berjongkok memandanginya keheranan. Namun, ketika melihat darah muncrat dari mulut temannya, wajahnya berubah pucat. Tenggorokannya tercekat. Betapa aku ingin merekat tenggorokanmu.

Tapi, tugas adalah tugas. Objektif adalah prioritasnya meski banyak kesenangan yang akan ia dapatkan dengan mengesampingkan tujuannya. "Jangan—ini uang untukmu." Ia mengeluarkan sejumlah uang dari kantongnya. Anastasia bergeming selangkah jauhnya dari dia. Pria itu pikir ia bisa lari hanya dengan uang. Pria itu pikir Anastasia murahan. Ha.

"Lihat uang ini?" Ia melambaikan uang tersebut di hadapan Anastasia.

"Aku melihatnya." Tangan Anastasia gesit menampik lembaran itu dari tangannya. "Terima kasih."

Anastasia mencekiknya. Cengkeramannya begitu kuat sampai-sampai ia mampu melihat aura merah pekat yang melingkupi tangannya. Anastasia terlampau kagum oleh kekuatannya sendiri dibanding mencurahkan perhatian pada korban yang tengah meronta-ronta tak jelas. Ia tak yakin kapan terakhir kali energinya—zahl, kata kebanyakan orang—berubah semerah pekat ini. Mungkin sejak perang saudara. Toh, Anastasia tak terlalu peduli.

Zahl adalah semacam tenaga dalam yang mampu dilepaskan dari tubuh untuk memperkuat serangan, menyerang, menyembuhkan, atau bahkan mengendali. Mengendali, pikir Anastasia bergidik. Zahl Forming yang diindikasikan dengan aura keunguan sungguh identik dengan pengendalian. Pengendalian pikiran, tubuh, dan bahkan waktu. Namun, yang lebih mengerikan dari semuanya adalah bahwa tubuhnya sendiri pernah dikendalikan. Rasanya sakit dan asing. Tak berdaya.

Bagi Anastasia, hal paling buruk di alam semesta adalah tak berdaya.

Tak berdaya sebagaimana tubuh pingsan yang lunglai dalam cengkeramannya ini. Anastasia tak membawanya mati. Sebab begitulah perintah Cain Abernathy. Anastasia bukan tipe pemberontak meski ia tahu keinginan menggaruk-garuk lapisan luar benaknya. Melepaskan pria tersebut dari cengkeramannya, Anastasia menarik segulung tali dari dalam gaunnya. Kalau kedua pria itu menginginkan tubuhnya, maka tali ini adalah jawabannya. Setidaknya, tali itu pernah menempel pada tubuh Anastasia. Seharusnya kedua pria itu berterima kasih.

Anastasia melucuti seragam mereka dan menyimpannya dalam kantong plastik. Cain pasti menginginkan seragam mereka dengan tujuan entah. Tangan Anastasia meraih sebilah pisau dan mengiris pergelangan tangan mereka, sedikit. Lalu, dengan darah segar yang mengalir itu, Anastasia menulis di dinding beton gedung: REYES BELUM MENYERAH.

Tak selesai sampai di sana, ia mengikat kedua tangan dan kaki mereka. Kemudian, mengikat tubuh mereka jadi satu. Menarik kedua tubuh itu mengambang di langit. Dengan tubuh rampingnya, tak akan ada orang yang percaya ia bisa mengangkat dua pria berbobot dua kali lipat darinya ke udara. Tapi, segalanya berubah mudah karena zahl. Zahl Ofensif selain berfungsi menyerang, juga menambah kekuatan si pemilik.

Kebetulan, zahl Anastasia merupakan salah satu dari dua zahl terkuat di antara anggota Gerakan Perjuangan Reyes. Jadi, bukan mustahil baginya bertarung mengimbangi Mayor Jenderal Tristan Schiffer. Bahkan, mengakali pria itu dua kali. Anastasia menggigit bibirnya sendiri. Menyadarkan dirinya bahwa Tristan adalah objek dendamnya. Pembunuh ayahnya. Anastasia akan mematahkan leher pria itu sebagaimana ia membunuh ayahnya.

Anastasia mengikat sisa tali di sekitar tiang listrik yang menjulang dekat sana. Menahan agar dua korbannya itu terus mengambang di udara sampai akhirnya mereka sadar. Mereka akan berteriak minta tolong dan pagi nanti, himpunan orang-orang akan mengerumuni bar itu. Pasti akan jadi berita besar. Tentara serta segenap penduduk akan terlibat dalam kasus ini.

Lagipula, lebih tepatnya ini adalah pernyataan perang. Perang saudara yang kedua. Anastasia akan memastikan Tristan mati bersimbah darah.

Langkah Anastasia mendekati tong sampah besar. Dengan mudah ia membuka tutupnya dan meraih jubah kulit yang sengaja ia simpan dalam sana. Mengenakannya, Anastasia menyelimuti tubuhnya rapat-rapat. Perasaan lega menyeruak ke tiap jengkul relung tubuhnya. Seusai mengangkat plastik berisi seragam, Anastasia berhenti depan kedua korbannya. Keduanya pulas dalam lelap masing-masing. Perut buncit mereka terpampang pada dunia. Wajah mereka setenang patung bidadari di taman.

Sebuah seringai timbul menghias wajah Anastasia. Mahakaryanya sempurna. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top