9 ~ Diklat Anggota

"Cewek itu rumit, ya. Bilangnya nggak apa-apa, tapi efek dari kelakuannya agak ambigu."

📢📢📢

Sambil menggerutu karena harus bangun pagi di akhir pekan, Lena menata dua kardus bekas mi instan di bagian depan motornya. Kemudian ia kembali ke lantai atas untuk mengambil ransel berisi pakaian ganti dan beberapa makanan ringan. Juga rangkaian perawatan wajah dan tubuh. Dua hari bergelut di luar ruangan butuh perhatian ekstra agar kulit belang tak terjadi di mana-mana.

Napasnya terengah-engah setelah sampai di tempat parkir. Belum apa-apa, Lena sudah kehabisan tenaga. Andai bisa, mungkin ia akan melewatkan diklat anggota kementerian ini dan memilih maraton film Netflix. Hitung-hitung sebagai ajang brainstorming tugas akhir. Namun, presma mewajibkan seluruh jajaran menteri untuk ikut serta karena mereka juga memerlukan pendekatan dan pemahaman lebih dalam antara satu sama lain. Tentu, ia tidak keberatan, kalau wakilnya dikeluarkan dari daftar yang harus didekati.

Gadis yang mengenakan PDH Kabinet Bahtera itu mendengkus dan mengusap wajah. Mengeluhkan Sam sama saja mengungkit luka yang sebenarnya bisa dikatakan sepele--oleh orang lain. Mau bagaimana lagi? Telah berlalu dan termaafkan bukan berarti sudah dilupakan, bukan? Kalau saja bisa, Lena mungkin lebih memilih untuk tidak tahu-menahu atas kelicikan organisasi sebelah agar setiap melihat wajah Sam, kesannya masih sama dengan pertemuan di Kafe Ayu Lastri.

Ia pun memanaskan mesin motor lalu berjalan keluar untuk membuka gerbang. Baru dua langkah dari pintu, alisnya refleks bertaut dan matanya juga seketika menyipit. Bukan efek silau ataupun lupa memakai kacamata, melainkan kehadiran Sam yang bersandar pada motor yang entah milik siapa. Lelaki itu menatap Lena dan tersenyum tipis, meski balasannya berbanding terbalik 180 derajat.

"Lo ngapain di sini?" tanya gadis yang berkacak pinggang dengan ketus.

"Jemput lo."

"Buat apa? Gue ada motor, kok. Bisa ke sana sendiri."

"Nggak cek grup? Satu kementerian cuma boleh bawa satu motor. Parkirnya limit."

Lena segera merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Ia terbelalak saat melihat ratusan pesan belum terbaca yang hanya berasal dari BEMU. Beginilah nasib jika grup disenyap tanpa pemberitahuan dan tidak ada yang menandai nomornya. Dengan telaten, ia membaca satu per satu guna mencari pengumuman yang Sam maksud.

Benar saja, batinnya. Zaki pula yang mengirim imbauan tersebut. Lena tidak bisa membantah dan banyak bicara. Lantas, ia pun berdeham dan bersedekap, masih menatap Sam yang sepertinya tengah menunggu.

"Gue berangkat naik bis aja, bareng anggota."

"Nggak bisa. Bukannya lo kudu cek vila?"

Sial, umpat Lena dalam hati. Ia hampir melupakan hal itu.

"Ya udah. Kalau gitu, lo aja yang naik bis."

Sam menggeleng, "Nggak bisa. Gue nyiapin perkap sama anak menpora."

"Sendiri bisa, lah. Lagian, kemarin banyak perlengkapan yang udah diangkut ke sana, kan? Sisanya di bis lagi."

"Nah, itu. Karena kudu beresin yang di sana, makanya berangkat duluan."

"Biar aja sen--"

Kalimat itu terpotong saat Sam berjalan ke gerbang yang belum dibuka. Meski demikian, Lena tetap refleks mundur agar jarak mereka tak sedekat sebelumnya. Ia juga berdeham dan menggigit bibir karena raut wajah lelaki berjaket hitam dan mengucir rambut itu berubah datar.

"Segitu nggak sukanya, ya, lo bareng gue?"

"Bu-bukan gitu, ta-tapi--"

"Mau pakai motor lo atau motor gue?"

Lena menelan ludah. "Motor gue."

"Oke, berarti gue titip motor ini di kos lo."

"Eh? Enggak, enggak. Motor lo aja."

Sam mendengkus dan memutar bola matanya malas. Ia kembali ke motornya saat Lena buru-buru masuk ke indekos dan mengeluarkan barang yang sudah tertata rapi. Gadis itu cukup kesulitan sebab membawa dua kardus beserta ranselnya dalam sekali jalan. Bahkan, wajahnya sampai tak terlihat saking tingginya tumpukan tersebut.

"Jadi cowok, kok, diem doang. Bantuin, kek. Berat, nih," keluh Lena.

"Gimana caranya kalau gerbang lo aja masih kekunci."

Bodoh, Lena kembali merutuki diri sendiri. Sudah capek, malu pula. Untung saja Sam tak dapat melihat kekonyolan wajahnya saat ini.

Setelah sampai, ia lekas meletakkan bawaannya dengan hati-hati lalu mengatur napas. Gadis itu membungkuk, memegang lutut dan mengipasi wajahnya yang sudah bermandikan keringat. Sam yang sempat tertawa kecil kini berjongkok di depan gerbang dan memperhatikan sang ketua.

"Capek?"

"Masih nanya!"

"Buka gerbangnya, gih. Biar gue pindahin barang lo ke motor."

"Ck, kalau dari sini ke situ mah apa susahnya."

Sam pun berdiri. "Ya udah, kalau lo pengin bawa sendiri."

"Enggak, enggak. Mana boleh nge-cancel tawaran begitu. Nggak ada."

Lena segera bangkit dan membuka gerbang. Ia mempersilakan Sam untuk mengambil alih barang-barangnya. Sembari menunggu, ia balik ke parkiran indekos dan mengambil helm.

"Ayo!"

Tanpa cek-cok, tanpa basa-basi, mereka langsung berangkat menuju tempat diklat. Meski bukan kali pertama, duduk di belakang Sam membuat Lena merasa risi. Ia bahkan memilih jok motor sebagai pegangan. Sesekali ia memalingkan wajah ke lalu lintas yang cukup longgar--berhubung masih pagi--saat Sam meliriknya melalui spion.

Setelah sampai pun, keduanya lekas berpisah berdasarkan tugas masing-masing. Lena di bagian PDD, sedangkan Sam di bagian perlengkapan. Tak ada momen di antara mereka karena mulai pagi hingga sore, kegiatan difokuskan pada anggota yang baru bergabung. Mereka dikenalkan dengan visi-misi kabinet hingga pengenalan program kerja sementara yang dirancang oleh presma dan wakilnya.

Baru saat malam tiba, mereka bersimpangan di dapur, tepatnya saat membantu bagian konsumsi untuk membagikan makan malam. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari mulut keduanya. Sam dan Lena hanya saling tatap kemudian memisahkan diri.

"Lagi berantem, ya, Kak?" tanya Rini, Wakil Menteri Luar Negeri.

"Nggak, kok. Kenapa emang?"

"Biasanya Kak Lena dan Mas Sam yang paling akrab di kementerian. Ke mana-mana boncengan, paling lengket pokoknya."

Lena berdecak dan menyeringai. "Tadi juga masih boncengan, kok. Nggak ada apa-apa."

"Syukur, deh, kalau begitu."

Meski kurang paham akan alasan kelegaan tersebut, Lena tetap tersenyum. Ia lantas menepuk pundak gadis di sebelahnya, lalu berjalan ke ruang tamu untuk makan sambil nonton bareng.

Karena sempat dibahas, tatapan Lena sontak terfokus pada Sam yang malah merokok dan mengabaikan nasi bungkus di depannya. Namun, ia langsung memandang langit-langit saat sadar kalau mata mereka sempat bertemu. Konyol memang, bukannya menonton film yang ada di depan, ia malah mendongak dan entah melihat apa. Setelah memastikan Sam memalingkan muka, Lena kembali menyantap makanannya.

"Setelah ini agendanya di lapangan, ya. Buat yang mau menunaikan ibadah, dipersilakan. Bagi yang tidak, boleh bantu-bantu kakaknya."

"Oke, Pres," jawab sebagian anggota.

Lena segera beranjak ke kamar dan mengambil jaket. Dingin di daerah sini membuatnya bergidik. Kalau tahu begini, ia akan membawa sarung tangan dan kaus kaki ekstra. Salahnya memang, mengandalkan suasana siang yang terik dan membakar. Ternyata saat malam, ia justru dibekukan oleh semilir angin yang menusuk.

Gadis itu berjalan terlebih dulu ke lapangan di samping villa. Sebuah sound yang lumayan besar sudah tertata rapi, meski belum dinyalakan karena masih waktu ibadah. Ia pun menghampiri api unggun dan duduk di alas yang ada di depannya--tidak terlalu dekat. Dengan percaya diri, Lena menghangatkan tubuh, saat yang lain repot menggulung kabel dan menata tikar untuk anggota.

"Setelah makrab, agendanya apa, Bang?" tanyanya pada Zaki yang tengah berdiri di sebelahnya, melakukan hal yang sama persis.

"Tidur."

"Hah? Ini masih setengah tujuh."

"Kan makrabnya lama, Len. Lo nggak lihat rundown?"

Lena menggeleng, "Nggak sempet."

"Nggak disempetin," ralat Zaki.

"Iya, deh, iya."

"Udah, sana ke belakang. Ini ntar dipakai pertunjukan."

"Dasar pelit!"

Zaki hanya menggeleng pelan saat Lena menjulurkan lidah ke arahnya. Gadis itu menjauh dari api unggun dan duduk di barisan paling belakang, sebab bagian tengah ditujukan untuk para anggota. Sambil mengangguk dan tersenyum saat ada yang menyapa, Lena melepas sandalnya untuk dijadikan alas duduk. Ia memeluk lutut sambil mendengarkan 'cek-cek' yang presma lakukan untuk menguji mikrofon.

"Lo nggak bawa selimut?"

Lena tersentak dan sontak mencari sumber suara yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Ia menghela napas lalu menggeleng saat mendapati Sam-lah yang bertanya demikian. Tanpa permisi, lelaki itu duduk di sampingnya sambil menawarkan kain tipis bercorak garis-garis.

"Nih, pakai."

"Nggak perlu."

Sam kembali berdiri dan memakaikan selimut milik anggota mendagri yang ia pinjam sebelumnya pada Lena. Dari belakang, ia pastikan kain tersebut membungkus Lena hingga menutup seluruh tubuhnya. Refleks, gadis itu memegang ujung kain yang ada di depan dadanya agar tidak terjatuh. Ia lantas menoleh ke arah Sam yang kini duduk kembali di sebelahnya.

"Maksudnya apa?" tanya Lena.

"Nggak perlu ditolak. Gue tau lo butuh. Lagian, udah tau dingin, kenapa nggak bawa selimut? Ransel lo isinya cuma bedak?"

"Gue nggak tau kalau bakal sedingin ini."

"Ck, sok kuat, sih."

Lena memperhatikan Sam yang terbatuk sambil mengusap kedua lengan. Lelaki itu menghadap depan dan tampak serius mendengarkan pembukaan dari wakil presma yang mengundang tawa. Sesekali ia mengusap telapak tangan dan menaruhnya ke pipi, berharap dapat mengurangi hawa dingin yang menyerang.

"Yang sok kuat itu lo. Udah tau nggak tahan dingin, masih aja mikirin orang lain," ucap Lena yang membuat Sam beralih menatapnya.

Gadis berhidung merah itu lekas menarik selimut yang menutupi bagian punggungnya. Ia berdiri sebentar dan menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Sam. Setelah itu, ia membagi separuh selimut yang dipegangnya pada lelaki yang masih bergeming di tempat. Kini, kaki mereka berada di bawah kehangatan yang sama.

"Makasih, ya."

Lena mengangguk. "Makasih juga."

"Jadi, sekarang lo udah nggak apa-apa, kan, sama gue?"

"Emang kapan apa-apanya?"

"Malah ngeles," respons Sam sambil menarik sudut bibir kanannya.

"Nggak ada. Wong beneran nggak apa-apa, kok."

"Cewek itu rumit, ya. Bilangnya nggak apa-apa, tapi efek dari kelakuannya agak ambigu."

Lena menoleh dan menatap sinis. "Gue nggak termasuk."

"Dan suka membohongi diri sendiri."

"Itu juga nggak termasuk."

"Sering mikir yang enggak-enggak, padahal tinggal dikomunikasikan sama partner."

"Cowok juga gitu, kali."

"Bener, sifat begituan nggak mandang gender."

"Terus, kenapa lo spesifik banget nyebut kalau cewek itu rumit?"

Sam tersenyum dan sekilas melirik Lena, sebelum akhirnya menghadap depan dan mengucap, "Karena gue lagi bahas lo."

Lena menggigit bibir dan menunduk. Ia tak merespons apa pun dan memilih mengalihkan pandangan seraya mengembuskan napas panjang. Ia mencengkeram rumput di sampingnya guna menetralkan degup jantung.

Nggak lucu, beneran.

28 November 2021
1601 Kata

📢📢📢

Momen selimut Sam pas makrab punya arti sendiri di hidupku, dulu. Hem, dia baca ini nggak, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top