8 ~ Formalitas
"Pernah salah bukan berarti bakal ngelakuin kesalahan lagi."
📢📢📢
Sam membuang puntung rokoknya saat salah satu pengurus BEMU membuka pintu sekretariat. Kertas-kertas bertuliskan kelengkapan administrasi, jadwal dan rute interviu, serta pengumuman lainnya lekas ditempel di kaca jendela. Sebagian di antaranya diletakkan di meja yang ditata di sebrang lorong. Lelaki itu memilih untuk duduk bersila tanpa membantu sedikit pun. Lagi pula, berkas di hadapannya cukup membuat pening dan mengelus dada.
"Peminat mendagri banyak juga, ya."
"Lumayan."
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghampiri Sam dan berjongkok di depan lelaki yang kini menatapnya sinis. Ia lantas menyentuh ujung dokumen yang ditumpuk, lalu menghitungnya dengan cepat. Mulutnya refleks menganga saat mendapati calon anggota yang mendaftar sudah melebihi dua puluh mahasiswa.
"Mau diambil berapa, Bang?" tanyanya karena Sam masih bergeming.
"Kalau bisa, ya, sebanyak jumlah fakultas di kampus ini."
"Sepuluh, dong?"
"Mungkin, gue belum tau."
Sam melirik Lena yang baru saja memasuki ruangan. Momen yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Meski tahu dan mengenal sebagian pendaftar, ia masih perlu pendapat ketuanya. Toh, memang keputusan tertinggi di Kementerian Dalam Negeri ada di tangan gadis yang sejak kejadian OSPEK tak memedulikannya itu.
"Ya udah, gue cabut dulu kalau gitu," ucap lelaki yang memegang map cokelat sambil berdiri karena sosok di depannya malah melamun dan ia terabaikan.
Sam seketika menjawab, "Oh, oke."
Tak ada respons tambahan selain anggukan. Tatapannya tak beralih dari Lena yang justru kembali keluar untuk menyibukkan diri--berbasa-basi bersama kementerian lain. Gadis itu hanya sesekali meliriknya dari jendela dengan wajah datar. Bahkan, saat detik sebelumnya sempat tersenyum lebar pun, ia berubah ketus saat bertemu Sam. Keduanya seolah menikmati atmosfer dingin di antara mereka.
"Kok di luar, Len? Wakil lo di dalam, lho," tanya Zaki. Sayup-sayup Sam dapat mendengarnya.
"Terus kenapa?"
"Lah, kok, kenapa? Kalian nggak rapat? Kan kemarin banyak banget yang daftar di mendagri. Paling nanti masih nambah lagi."
"Ck, mending gue ngopi daripada rapat sama dia."
Jelas, kali ini Sam benar-benar tidak salah mendengarnya. Kata demi kata telah Lena tekankan, bahkan lebih lantang dari percakapan sebelumnya. Entah apa maksudnya, ia tak ingin terlalu memikirkan. Hal yang jelas adalah kekecewaan gadis itu sudah mendarah daging. Apa boleh buat? Ia tentu memprioritaskan keluarga yang lebih dulu menaunginya dibanding orang baru yang belum pasti kelangsungannya. Sekarang, keberadaan mereka tak lebih dari partner kerja.
Canggung pun mengusik ketika dua mahasiswa dari fakultas yang sama memasuki ruangan dan berjalan ke meja kemendagri. Lena yang mengetahui hal itu segera masuk dan duduk di samping Sam. Tentu mereka tak berdekatan agar wawancaranya tidak berbenturan.
Pertanyaan yang diajukan telah dibuat bersama. Baik Lena maupun Sam hanya mengajukan dan menunggu tanggapan. Mereka akan menggali latar belakang calon anggota yang terdapat dalam berkas. Sebagai kementerian yang menaungi organisasi intra kampus, penting untuk memilih mahasiswa yang memiliki pengalaman serupa.
"Udah?"
Setelah menyelesaikan sesi terakhir--untuk hari ini--yang melelahkan, Lena membuka obrolan dari jarak yang cukup jauh. Sam pun menoleh dan mengangguk. Ia juga menyerahkan hasil interviu yang diselipkan dalam map. Kemudian gadis yang juga membawa dokumen serupa lekas mengecek dan memilah-milah. Satu per satu fotokopi KTM ditata di meja tanpa tertutup apa pun.
"Saran gue, setiap fakultas diambil satu anggota biar ada yang nyalurin isu-isu di sana."
"Iya, gue juga mikir gitu, kok."
Lena menoleh sekilas lalu mendengkus. "Ada yang lo rekomin, nggak?"
"Ini. Dia pernah di himpunan. Kayaknya tahun ini lanjut ke BEMFA juga."
"Di sini nggak tertulis kalau ikut BEMFA. Cuma kalau iya, apa nggak sibuk? Gue nggak mau ambil risiko kalau ntar tiba-tiba ada yang absen agenda dengan alasan 'kepentingan organisasi sebelah'."
"Tapi, dia lumayan berpotensi. Lihat berkasnya, banyak link di luar." Sam mengerutkan kening.
"Yang punya potensi dan jaringan nggak cuma dia, Sam. Lagian, jangan main nerima orang hanya karena itu, lah. Kan percuma juga kalau ternyata dia nggak ada waktu buat kita."
Meski nada yang terlontar masih pedas, Sam dapat bernapas lega. Senyum tipisnya muncul sepersekian detik saat kata yang sudah lama tak ia dengar tiba-tiba keluar dari mulut Lena. Ia lantas mengangguk setuju sebelum gadis yang menatapnya itu makin mengganas.
"Ada lagi?"
"Sebenernya enggak, tapi yang daftar dari kemarin kebanyakan FISIP dan FEB. Belum ada yang dari FK, FIKES dan … gue nggak hafal."
Lena mengambil secarik kertas yang sudah ia corat-coret dari dalam saku, lalu memadankan tulisan di sana dengan identitas yang ada di meja. Benar saja, ada tiga mahasiswa rekomendasinya yang berasal dari fakultas yang sama. Ia pun segera membuka map dan mengeluarkan data diri calon anggota pilihannya. Kemudian ia sodorkan pada Sam.
"Banyak yang sama, emang. Nggak masalah, kok. Cari yang ikut UKM. Pertemanan mereka lebih luas."
Lagi-lagi Sam mengangguk. "Oke."
"Udah?"
"Hem? Apanya? Kan baru gue terima."
"Bukan, maksud gue, udah gitu aja? Nggak ada tanggapan lain?"
Beda dari sebelumnya, Sam lekas menggeleng. "Gue ngikut apa pun keputusan lo."
"Jangan iya-iya doang. Kalau keberatan, bilang sekarang. Lo sendiri yang bilang kalau berhubungan, tuh, nggak boleh main rahasia-rahasiaan."
"Gue nggak keberatan, makanya bilang iya dan nggak ada tanggapan lain."
"Masak?" Lena menyeringai dan tertawa kecil. "Ntar takutnya di belakang nggak setuju terus main nusuk aja kayak kemarin."
Sam meletakkan map yang ia pegang lalu menghadap kiri, tepat ke arah Lena yang telah menatapnya lekat sambil bersedekap. Gadis itu menurunkan senyumnya tanpa meninggalkan bekas yang menyiratkan masalah ini dapat diselesaikan secara baik-baik. Mereka saling pandang cukup lama, sebab belum ada yang membuka mulut setelah kalimat--serupa tuduhan--tersebut kembali diungkit.
Setelah menghela napas, Sam pun mengacak rambut dan berkata, "Sori."
"Buat?"
"Apa pun yang bikin lo kesel."
"Gue nggak kesel."
"Terus?"
"Nggak apa-apa, gue cuma bego karena diem aja setelah dimanfaatin orang lain."
"Gue nggak manfaatin lo, Len."
"Emang gue bilang kalau lo pelakunya?"
Sam mendengkus dan mengusap wajah. Ia maju perlahan, mendekatkan duduknya pada gadis itu. Namun, Lena tentu mundur hingga menabrak dinding dan tak ada jalan lain, selain mendengarkan wakil di depannya dengan tenang.
"Gue udah minta maaf. Mau sampai kapan lo ngungkit masalah ini?"
"Siapa yang ngungkit? Gue nggak ngomongin masalah apa pun secara spesifik, ya. Gue cuma jaga-jaga biar nggak jatuh ke lubang yang sama."
Sam makin mendekat sampai jarak wajahnya dengan Lena tak lebih dari sejengkal. Ia memperhatikan garis wajah gadis itu lalu menyelami binar matanya yang tegas dan menggetarkan. Sosok yang ditatap pun refleks menggigit bibir dan menelan ludah.
"Pernah salah bukan berarti bakal ngelakuin kesalahan lagi. Gue udah cukup dewasa buat belajar dari sana."
"Ck, kalau lo emang udah dewasa, masalah kemarin nggak bakal pernah ada dan hubungan kita nggak bakal kayak gini."
Dengan kuat, Lena mendorong dada Sam agar menjauh darinya. Tanpa penjagaan, lelaki itu sontak terjengkang dan langsung mengaduh. Keduanya lantas saling pandang sebelum akhirnya Lena meraih tas yang digantung di kapstok dan keluar dari sekretariat.
Meski sepi karena kementerian lain ada di luar ruangan, Sam tetap menahan malu. Ia tak segera bangkit, malah membaringkan tubuh dan menatap langit-langit. Embusan napas panjang pun keluar dari mulutnya.
Andai hal ini sempat terpikirkan olehnya sebelum OSPEK dimulai, akankah ia memilih keputusan yang lain?
Lelaki itu menggeleng cepat dan mengusap wajah. Kemudian merogoh kantong untuk mengambil ponsel. Ia membuka WhatsApp dan mencari nomor sahabatnya, Riki. Setelah tersambung, ia segera mengeluarkan berbagai umpatan yang ditahan sejak tadi.
"Gue salah apa sampai lo kata-katain begini?" tanya lelaki di telepon.
"Sori, gue butuh pelampiasan."
"Ya, nggak ke gue juga kali, Bos."
"Sori, kalau gitu, ntar malem ke tempat biasa, ya. Ajak anak-anak lain juga."
"Lo kenapa, sih? Galau?"
Hening, Sam termenung. Ia tak segera menjawab pertanyaan tersebut, meski Riki berkali-kali mengucap 'halo' dan 'woy' untuk menyadarkannya. Perlahan, lelaki itu mengangguk, walau sosok yang diajak bicara tak dapat melihatnya.
"Kayaknya iya."
27 November 2021
1274 Kata
📢📢📢
Akhirnya bisa nulis lagi 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top