7 ~ Manipulatif
"Gue nggak akan beralasan karena gue sadar kalau emang salah."
📢📢📢
Lena mengusap peluhnya yang terus bermunculan. Setelah lari-larian mengejar narasumber yang ditelan kerumunan, ia kini menepi untuk menulis laporan. Terik matahari yang menghantam layar membuat ponselnya cepat panas dan menyulitkan. Sesekali telapak tangan kirinya terangkat agar ia dapat membaca dengan baik.
"Kak, hape lo mati, ya?"
Gadis yang berjongkok di dekat pintu masuk lekas mendongak dan menunjukkan ponselnya. "Nyala, nih."
"Kok Kak Zaki nge-WA gue?"
"Oh, data gue mati. Ada apa?" ucapnya seraya buru-buru berdiri.
"Dia nggak bilang karena apa, tp lo disuruh ke kampus sekarang."
"Lah, kan pembukaan OSPEK baru besok, ngapain ke sana?"
"Ya mana gue tau."
Sambil mengerutkan kening, Lena menyalakan jaringan datanya. Sontak ia terbelalak ketika puluhan pesan masuk memenuhi notifikasi. Ia juga menelan ludah saat hanya nama Zaki yang tertera di sana. Dengan cepat--meski gemetaran dan berkeringat dingin, Lena membukanya.
"Gue cabut dulu, ya."
Lelaki yang berseragam sama dengan Lena langsung melongo. "Eh, laporannya?"
"Gue ketik nanti kalau udah nyampek kampus. Ntar ke sini lagi, kok. Tenang aja."
"Oke, deh. Jangan bohong, ya."
Lena hanya menjawab dengan anggukan dan lambaian tangan. Ia segera mengenakan helm dan menyalakan mesin motor teman indekosnya. Kemudian melaju ke Universitas Pelita Bahasa yang jaraknya lumayan jauh dari gedung tempat kunjungan wali kota ini.
Sebenarnya, isi pesan dari Zaki hanya menanyakan keberadaannya. Namun, dengan jumlah yang tidak sedikit dan diselingi beberapa panggilan tak terjawab, perasaan Lena berubah tak karuan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, batinnya. Hanya saja, ia belum tahu apa itu, mengingat setelah keputusan bersama para gubma tentang perencanaan agenda OSPEK fakultas masing-masing, ia tak memiliki PR pembahasan lain.
Beruntunglah, jalanan bisa diajak bekerja sama. Dalam lima belas menit, ia sudah sampai di tempat parkir dekat perpustakaan. Gadis yang mengucir rambut itu lekas membenahi penampilannya seraya mengedarkan pandangan.
"Akhirnya lo nongol juga."
"Kenapa, Bang?"
"Ikut gue."
Belum sampai Lena heran dengan kehadiran Zaki yang entah dari mana, ia lebih dulu tersentak karena ditarik dan diajak keluar parkiran dengan tergesa-gesa. Tanpa protes, tanpa tanya, tanpa kalimat apa pun, ia menurut dan mencoba memahami situasi. Jalan yang mereka lalui menuju lokasi tak asing seketika memompa degup jantung Lena makin cepat. Ia pun menggigit bibir dan menelan ludah.
"Berhenti di sini dulu," ucap Zaki tiba-tiba. "Sebelum lo ngobrol sama mereka, gue mau ngomong duluan."
"Jangan bikin gue takut, Bang."
Lelaki tersebut menggeleng. "Lo udah ngeh, belum, kenapa dari tadi dicariin?"
Hening. Lena memilih untuk mengamati pemandangan di depannya. Tepat di dekat wall climbing, lahan yang harusnya dipenuhi stan HMB dari berbagai fakultas telah diambil alih oleh organisasi lain. Ia pun sedikit berjalan dan menoleh ke sisi kanan--dekat Gate C--untuk melihat hal yang sama, tetapi lagi-lagi yang ditemukan hanya bendera selain miliknya.
"Bang, gue--"
"Lo nggak perlu jelasin itu ke gue karena gue percaya ini bukan ulah lo, jadi langsung ke anak-anak komsat aja. Yang jelas, sekarang lo udah paham masalahnya. Kalau mereka marah, dengerin. Dan kalau mereka nanya, jawab apa adanya."
Lena mengangguk. Ia pun mendengkus dan memijat tengkuknya sebelum melanjutkan langkah, mendekati anggota HMB dari fakultasnya. Cengkeraman pada celana makin kuat saat salah satu senior yang ia segani menatap sinis dan berdecak. Hal itu membuat Lena kian menciut. Sampai-sampai mengucap salam saja ia tak berani.
"Lo liat, Len. Anak-anak udah nggak bergairah, padahal momen terbesar yang mereka sambut bakal datang besok."
Zaki menyentuh pundak Lena dan menuntunnya untuk duduk. Lelaki itu berdiri di belakang sambil bersedekap. Ia berjaga kalau ada perlakuan yang tak mengenakkan, sekaligus berniat membantu Lena jika mulai disudutkan.
"Bisa-bisanya lo nukar spot-spot itu."
"Nggak sama sekali, Bang."
"Terus? Kenapa mereka bisa masang stan di tempat kita kalau bukan lo yang ngasih tau?"
Lena menghela napas. "Ada briefing dari BEMFA, Bang."
"Mau ada briefing sekalipun, harusnya nggak gini-gini amat ngebajaknya, Len. Seratus persen, lho. Kita kebagian di sekitar masjid dan jalan deket Gate A doang."
"Terus sekarang maunya gimana, Bang? Mau gue protes ke mereka?" tawar Lena sambil berdiri. Namun, dengan cepat Zaki menekan tubuh gadis itu untuk kembali duduk.
"Kita udah nyoba ngobrol dengan mereka, tapi nggak ada hasil. Selain IMP juga ada organisasi lain dan mereka satu suara. Siapa cepat, dia yang dapat."
"Nggak, gue tetep mau ngomong."
"Len," Zaki menahan gadis di depannya, "nggak usah."
"Tapi, Bang--"
"Ini biar jadi urusan komisariat."
"Nggak bisa. Gue yang kena, Bang. Mereka pikir gue yang nggak becus, padahal ini bukan--"
"Iya, gue tau ini bukan salah lo." Lagi-lagi Zaki memotong. "Tapi lo nggak harus ke sana cuma buat protes ulang. Nggak bakal ada yang berubah juga, wong stan udah pada berdiri. Inget, sekarang lo anak BEMU, Mendagri lagi. Jangan sampai keliatan kalau berat sebelah."
Seolah tanpa daya, Lena mengembuskan napas panjang dan menyandarkan kepalanya pada tembok. Belum apa-apa ia sudah kesandung hal semacam ini. Gadis itu pun mengusap wajah dan memalingkan muka. Tubuhnya menegap saat kedua matanya bertemu dengan sosok yang sedari tadi menatap lekat.
"Bang, gue cabut dulu."
"Ke mana?"
Lena menoleh ke sisi kanan dan Zaki melakukan hal yang sama. "Ke dia."
"Oke, jangan berantem, ya."
"Nggak janji," jawab Lena datar.
Gadis itu lekas menenteng ranselnya dan berjalan ke depan perpustakaan. Tujuannya hanya satu, yaitu Sam, lelaki yang sejak tadi memperhatikannya. Sebut saja terlalu percaya diri, tetapi Lena yakin akan hal tersebut. Tentu Sam merasa bersalah atas apa yang terjadi hari ini, bukan?
Lelaki tersebut benar-benar tak menghindar saat langkah Lena kian mendekat. Suara tapak kaki yang lantang dan wajah yang merah padam membuat dua mahasiswa di samping Sam lekas minggir. Mereka membiarkan sepasang ketua-wakil itu untuk berbicara empat mata saja.
"Lo--"
"Kalau mau ngomong, jangan di sini."
Sam meraih tangan Lena lalu menggenggamnya, menarik gadis itu dari kumpulan anak IMP yang memandang dan penuh tanya. Mereka masuk ke perpustakaan dan berjalan menaiki tangga ke lantai dua. Kemudian berhenti di dekat rak ilmu sosial dan duduk di pojok ruangan.
"Ngapain lo bawa gue ke sini? Nggak sekalian aja di depan anak-anak komsat lo biar mereka tau kalau--"
"Pelan, nanti mereka terganggu."
Lena menoleh ke arah 'mereka' yang ditunjuk Sam. Ia langsung meminta maaf ketika menyadari tak sedikit yang mengernyitkan dahi saat menatapnya. Gadis itu pun perlahan duduk di depan Sam yang sudah meletakkan tangan di atas meja dengan manis dan rapi.
"Gue--"
"Gue minta maaf," sela Sam.
"Ck, gue nggak butuh maaf lo."
"Gue bener-bener minta maaf."
Lena spontan mendengkus dan mengusap rambutnya. "Lo nggak pengin jelasin apa gitu?"
"Gue nggak akan beralasan karena gue sadar kalau emang salah."
"Kalau tau salah, kenapa lo biarin mereka ngambil lapak anak HMB gitu aja? Padahal kemarin kita udah sepakat sama spot masing-masing."
"Gue minta maaf," ucap Sam kesekian kali. "Masalah ini biar jadi urusan komisariat. Sebagai BEMU, kita nggak perlu ikut campur."
"Hah?" Lena sontak mengerutkan kening. Ia menyeringai dan menggeleng tak percaya. "Setelah kalian diuntungkan dan gue disalahkan, lo bilang kita nggak perlu ikut campur? Bullshit lo!"
Setelah menekan kata 'kita' yang seakan mendekatkan dan menjembatani mereka, Lena berdiri dan niat beranjak. Namun, tangan Sam langsung menahannya.
"Mau ke mana?"
"Bukan urusan lo!"
"Gue anterin."
"Nggak perlu! Gue bisa sendiri. Mending lo balik ke organisasi lo sana."
Lena lekas menghempaskan genggaman Sam dan mengambil ranselnya. Kemudian berjalan cepat--sedikit berlari--agar segera meninggalkan tempat. Ia pun mengusap setitik air yang jatuh menetesi pipi.
Batinnya tak berhenti mengumpat di sepanjang jalan. Kini, ia tahu betapa licik lelaki yang selama setahun ke depan harus selalu berurusan dengannya itu. Meski terlalu dini dalam menyimpulkan, Lena tak mau tahu.
Ia pun mendengkus, lalu mendongak untuk menghalau tangis yang sebenarnya tak sepadan kalau harus runtuh hanya karena ini. Setelah sampai di depan motornya di tempat parkir, Lena lantas memegang helm dan kembali merenung.
"Kalau emang ini mau lo, nggak apa-apa. Gue ladenin. Formalitas, formalitas, dah."
Gerutu-gerutu itu terus hadir dan mengiringi perjalanannya menuju tempat liputan. Lena tak lagi peduli dengan ikatan yang awalnya ingin direkatkan untuk mempermudah kinerja kementerian. Persetan dengan keharmonisan yang ditekankan presma. Kadar emosinya sudah di ambang batas, apalagi sindrom pramenstruasi membuat hormonnya susah dikontrol. Kalau orang yang ingin ia dekati memilih memanipulasi diri, ia tentu tak segan untuk menjaga hati dan energi.
21 November 2021
1350 Kata
📢📢📢
Senyumin dulu 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top