6 ~ Awal Perdebatan
"Nggak usah sok-sokan bilang 'cuma nanya', apalagi ngira-ngira. Jangan nggak enakan juga. Bangun hubungan yang baik nggak gitu caranya."
📢📢📢
Siapa yang menyangka kalau sepanjang pertemuan perdana Kabinet Bahtera akan menjadi momen canggung antara Sam dan Lena. Ketua dan wakil itu saling curi pandang berkat jarak yang cukup jauh. Untungnya, posisi mereka tak terhalang apa pun sehingga mata mereka dapat bertemu dengan mudah.
Lena tak berhenti tersenyum karena Sam terus-menerus menahan tawa. Entah apa yang lucu, mereka tak berbagi sel otak yang sama. Sejak tadi, penyampaian presma seolah menjadi background music yang mengiringi pesan-pesan yang dikirimkan.
"Pres, karena pembahasannya udah selesai, saya boleh pulang duluan, nggak?"
Gadis yang masih menggenggam ponsel lantas mengangkat tangan, membuat orang-orang di sekitarnya kompak menoleh. Sambil menelan ludah, Lena menyunggingkan senyum dan melirik ke arah Sam. Sialnya, lelaki itu malah mengalihkan pandangan ke langit-langit.
"Kok buru-buru? Mau ke mana?"
"Anu," Lena menggaruk kepalanya, "ada urusan, Pres. Lain waktu ngopi bareng lagi."
"Ya udah, kalau gitu. Hati-hati, ya."
Akhirnya, Lena menghela napas lega. Ia lekas beranjak bersama tas selempang berisi kunci indekos dan charger ponsel. Setelah berkeliling untuk menyalami satu per satu anggota, ia lalu menarik kemeja Sam, mengajak lelaki itu untuk ikut berdiri. Berangkat bersama, pulang juga harus bersama, bukan?
"Lho, Sam mau ke mana?" tanya Zaki saat lelaki yang kini bersebelahan dengan Lena turut berdiri.
"Pulang juga, Bang."
"Nganter doang atau--"
"Bareng, kok. Duluan, ya." Sam menyatukan kedua tangannya sebagai pengganti salam. Ia sangat malas kalau harus mendatangi rekannya satu per satu.
"Ciyee, udah anget aja kementerian ini," seru lelaki berambut keriting yang menuangkan kopi keduanya.
Lena refleks menggigit bibir dan memegang tali tasnya erat. Tanpa merespons apa pun, ia melangkah keluar kafe terlebih dulu. Sam yang buru-buru menandaskan minumannya segera menyusul sambil melambaikan tangan.
Setelah berada di parkiran, Lena mengambil helm milik Sam. Namun, ia tak lekas memakainya. Gadis itu justru menunggu Sam yang malah menyalakan rokok dan menghisapnya sebelum mendekat.
"Masih jam sembilan. Ada urusan apa, kok, pulang duluan?"
"Em," Lena menghindari tatapan Sam dengan menatap sepatu barunya kemudian mengucap lirih, "gue mau ngopi berdua sama lo."
"Hah?"
"Ayo, ngopi."
Sam mengerutkan kening. "Di dalam, kan, juga ngopi."
"Di luar. Di tempat lain. Pokoknya, selain di sini."
Meski belum paham, Sam tetap mengangguk. "Di mana?"
"Mana aja boleh, yang penting sepi."
Lena makin mencurigakan, batin Sam. "Nyari yang sepi?"
"Iya, biar ngobrolnya nggak saingan sama musik. Udah, ayo!"
Tanpa banyak bicara, Lena memberikan helm Sam ke sang empunya dan buru-buru mengenakan yang ia bawa. Lelaki yang masih mematikan rokok lalu mengantonginya--berhubung malas mencari tempat sampah--hanya bisa mengembuskan napas panjang. Entah apa yang ada di pikiran Lena, Sam berdoa semoga bukan sesuatu yang menyusahkan.
Dua insan itu menyusuri malam yang tetap dipadati kendaraan muda-mudi, apalagi daerah belakang kampus ini. Banyaknya kafe yang dijadikan tongkrongan membuat jalanan sekitar tak pernah gelap dan hening. Gemerlap lampu di setiap tempat dan live music yang tak jarang diadakanlah penyebabnya.
"Di sini aja, ya," tawar Sam.
"Lagi? Oke, lah."
Untuk kedua kali, Lena dan Sam menginjak Kafe Ayu Lastri. Hanya berdua. Mereka juga berjalan ke tempat yang sama persis dengan beberapa hari lalu. Pesanan pun tak berbeda, greentea latte panas dan americano dingin. Sebenarnya, dua minuman itu sudah dinikmati di kafe tadi. Namun, daripada tak mengeluarkan uang sama sekali, keduanya memilih memesan lagi.
"Lo nggak mungkin ngajak pindah tempat kalau nggak ada apa-apa," ucap Sam seraya duduk. Ia baru saja membayar di kasir.
Lena tersenyum kaku. Mustahil kalau Sam tak bertanya-tanya dan menduga-duga. Ia spontan mengusap wajah lalu membuka ponsel, tepatnya untuk membaca catatan berisi daftar obrolan bersama Sam. Tentu, ia telah belajar dari kesalahan waktu itu.
"Gue mau nanya aja. Dulu pas jadi wagub, OSPEK-nya gimana?"
"Gimana apanya?"
"Yaa, konsepannya atau apa gitu. BEMU terlibat, nggak?"
Sam tak segera menjawab karena waiters datang menginterupsi. Setelah lelaki berkaus hitam itu enyah bersama papan nomor pesanan, barulah ia menatap Lena lekat tanpa berkedip. Ia juga bersedekap dan menyandarkan tubuh pada kursi.
Melihat perubahan yang kurang jelas, Lena segera berdeham. "Gue penasaran ntar kita ikut nimbrung atau nggak."
"Konsep OSPEK di fakultas ngikut kampus. Dari dulu BEMU nggak pernah ikut campur, tapi emang anak kemendagri ada yang bantuin."
"Bantu apa?" tanya Lena antusias.
"Apa aja yang diperlukan dan yang bisa mereka usahakan."
"Em, kita boleh nyaranin sesuatu gitu, nggak?"
Sam menegapkan tubuhnya. Lena yang semula menopang dagu pada meja refleks mundur guna mengatur jarak.
"Emang lo mau nyaranin apa?" Sam bertanya dengan ekspresi datarnya.
"Eh, nggak, kok. Cuma nanya aja, penasaran."
Sam mendengkus dan memutar bola matanya. "Nggak usah sok-sokan bilang 'cuma nanya', apalagi ngira-ngira. Jangan nggak enakan juga. Bangun hubungan yang baik nggak gitu caranya."
"Gue nggak lagi ngira-ngira."
"Sekarang? Iya. Nanti? Nggak ada yang tau."
"Hah?" Lena makin tak paham dengan arah pembicaraan Sam.
"Kalau lo sekarang mainnya rahasia-rahasiaan, entah karena sungkan, malu atau apa pun itu, nggak menutup kemungkinan ntar beralasan 'gue kira', 'gue pikir', dan gue-gue lainnya."
Kaki Lena mulai bergetar. Alisnya sontak bertaut dan ia merasa keringat dingin sebentar lagi akan muncul.
"Tapi, gue nggak bermaksud begitu."
"Nggak harus punya maksud buat melakukan sesuatu. Sebuah kebetulan bisa datang tanpa adanya sebab."
"Oke, fine. Terus mau lo apa?"
Sam mengusap rambutnya ke belakang dan sedikit mengacaknya. "Lo disuruh ngapain sama komsat?"
Seketika mata Lena terbelalak. Ia pun menelan ludah. "Lo tau?"
"Bukan hal baru. Gue juga dapet, btw."
"Iya?"
"Wajar, Len. Boleh lihat rencana rute punya kalian?"
"Boleh, kalau lo ngasih lihat juga ke gue."
"Deal."
Namun, sebelum memberikannya, Lena kembali menyembunyikan selembar kertas yang dipenuhi coretan. "Tapi, buat apaan?"
"Kita cari alternatif lain biar sama-sama enak."
"Oh, oke."
Lena memperhatikan rute yang diberikan Sam. Tanpa direncanakan, keduanya benar-benar bersebrangan. Takdir macam apa ini? Bahkan urusan sederhana pun, IMP dan HMB tak memiliki kesamaan.
Sam lekas menyejajarkan dua kertas yang ditimpa tatakan gelas agar tidak tergulung. Lena turut menatap, tetapi ia sesekali melirik lelaki di depannya yang menampakkan keseriusan. Tanpa ia sadari, sudut bibir kirinya terangkat membentuk senyuman tipis yang manis.
"Kalau mulainya dari Gate C/D, gimana? Jadi, dari Dome langsung ke depan perpus dan Student Center."
Sam menghitung spot yang tidak melewati stan IMP. Dahinya berkerut setelah mendapati ketidakseimbangan pada tawaran Lena.
"Nggak. Kalau gitu modelnya, jatah komisariat lo lebih banyak, lah. Gini aja, lewatnya dari Gate A/B. Maba dari Dome jalan menuju masjid terus ke jembatan ini, baru ke perpus. Lebih imbang, kan?"
Dalam hati, Lena mengiakan. Memang lebih rata dari usulannya, tetapi kini HMB-lah yang kurang mendapat tempat. Walau selisihnya sedikit, Zaki dan pengurus lain pasti tetap mengoceh.
Namun, Lena tak ingin terlihat egois. Ia akan sama saja kalau menyanggah saran Sam dengan alasan yang juga diucapkan lelaki itu. Ia pun menarik napas dalam-dalam, sebelum mengeluarkan data mahasiswa baru tiap fakultas dan meletakkannya di atas dua kertas denah.
"Ini urutan tempat duduk tiap fakultas di Dome. Yang keluar dari Gate A/B cuma empat fakultas. Jumlah mahasiswa yang keluar lewat C/D lebih banyak karena yang duduk di deretan E/F keluar dari sana juga."
Sam mendengarkan dengan saksama seraya melonggarkan cengkeramannya pada celana. Deru napasnya melambat, sebab suara Lena saat menjelaskan cukup menenangkan.
"Kalau keluar dari Gate A/B, kasian yang ngatur maba dari C/D, Sam. Pasti hectic banget karena kudu pindah jalur. Rute lo nggak efektif. Iya, nggak?"
Dibanding menjawab pertanyaan Lena, Sam lebih ingin mengeksekusi siapa pun yang lalai dalam mengecek jumlah mahasiswa dan posisi duduk fakultas tahun ini. Kalau sudah demikian, apa yang harus ia lakukan? Hal yang Lena katakan sangat rasional hingga ia tak dapat menyanggah lagi. Karena mau egois sekalipun, ia tidak bisa menyarankan konsep yang jelas-jelas menyusahkan para BEMFA.
Di tengah keheningan tersebut, ponsel Sam tiba-tiba berbunyi. Nama 'Haris' muncul dan terbaca jelas pada layar. Lena sempat melihatnya, tetapi segera tak acuh dan mengalihkan perhatian pada latte panas yang berubah dingin.
"Gue angkat ini dulu, ya."
"He'em, silakan," jawab Lena kikuk sambil menggigiti sedotan.
Sam berjalan keluar kafe untuk menghindari pengunjung, juga Lena. Kemudian ia mengangkat panggilan dari rekannya itu.
"Lagi di mana, Bro?"
Tanpa harus membalas salam, Sam mendengkus dan menendangi kerikil di dekatnya. "Ngopi sama Lena."
"Lo udah ngobrol masalah OSPEK?"
Sam mengangguk, meski yang diajak bicara tak dapat melihatnya. "Udah, dan seperti dugaan kita semua, dia juga dapet rute dari HMB."
"Terus?"
Tanpa mengurangi kekesalannya, Sam menceritakan semua hal yang ia bicarakan dengan Lena. Ia mengumpat, mengeluh, dan mengaku malu karena terlihat bodoh di depan gadis itu. Rautnya makin kusam ketika Haris turut mengutuknya.
"Masak kalah sama cewek, sih, Sam? Kasih alasan lain, dong."
"Apa? Jangan bisanya nyuruh doang. Kalian yang bego, kok, gue yang kena?"
"Gue nggak bilang kalau--"
"Udah, lah. Perkara ini udah fixed. Rute 60:40 yang bakal disaranin ke BEMFA nanti. Gue nggak bisa ganti. Sori," terang Sam sekali lagi.
"Sam, komisariat udah perca--"
"Gue bilang nggak bisa ganti rutenya, bukan berarti kita cuma bisa pasrah."
Sam lantas menaruh ponselnya di antara telinga dan bahu. Ia mengeluarkan rokok dari saku jaket dan menyalakannya. Setelah dua kali menghisap dan mengembuskan asap, barulah Haris mengeluarkan suara. Lelaki itu cukup lama dalam berpikir.
"Jadi, lo mau komsat ambil posisi mereka?" tanya Haris.
"Why not?"
Sam melirik ke dalam kafe. Lena masih terlihat tenang sambil membenahi ikat rambutnya. Ia pun mendengkus lalu menatap langit malam, menggumamkan kata 'maaf' sebelum akhirnya kembali ke tempat duduk mereka.
15 November 2021
1569 Kata
📢📢📢
/Sedang mengamati siders 🔥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top