5 ~ Pemikiran Singkat
"Pantang hukumnya melibatkan hati di ranah formalitas. Kebawa dikit aja bisa berabe urusannya."
📢📢📢
Tanpa salam, apalagi mengetuk pintu, lelaki yang berjalan gontai memasuki kamar 11A begitu saja. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. Ia lantas melepas sepatu dan membiarkannya teronggok di depan pintu.
Kegaduhan itu membuat Riki yang tengah bergelut dengan komputer dan ratusan kertas A4 lekas menoleh. Ia refleks berdecak dan menggeleng saat sahabatnya berbaring di kasur dengan santai. Tak heran lagi. Keduanya memang sudah biasa menyelonong ke indekos satu sama lain.
Belum mengatakan sepatah kata pun, Sam justru mendengkus. Hal yang ia lakukan hanya menutupi wajah dengan lengan kirinya dan memejamkan mata. Sejenak saja, ia ingin menikmati keheningan dan udara dingin yang dibawa dari luar. Setelah napasnya mulai teratur, ia bangkit dan duduk bersila, menatap Riki yang sesekali memperhatikannya.
"Ngapain lihat-lihat? Mau bantuin?" tanya lelaki bercelana pendek ketus.
"Kalau lo mau."
"Nggak perlu. Berkas lo tahun kemarin cukup membantu, kok."
Sam pun mengangguk. Kemudian ia mengambil rokok dan korek api yang ada di atas meja, tepatnya di samping lengan Riki. Entah mengapa, setelah meninggalkan kafe dan mengantar Lena di depan indekosnya, benak Sam seakan kosong. Namun, di sisi lain juga dipenuhi tanya yang tak ia ketahui isinya. Lelaki itu lantas mengembuskan asap yang sempat menghangatkan raga, menjernihkan pikiran, sekaligus merusak tubuhnya.
"Ck, kenapa ngerokok di sini, sih?"
"Sori, baru sempet."
"Emang tadi nggak ngisep sama sekali?"
"Nggak enak sama Lena."
Mendengar nama tersebut, Riki segera mengalihkan pandangan dari komputer ke arah sahabatnya yang bersandar pada dipan. "Gimana ketemuannya?"
Sam tak lekas menjawab. Ia masih heran dengan dirinya sendiri. Pertemuan tadi menempatkannya pada ambang keraguan. Apa yang ia bawa dari komisariat dengan apa yang ia ungkapkan di depan Lena tidaklah sama. Penyebabnya pun ia tak tahu, atau lebih tepatnya, ia tak sadar. Gemuruh di dadanya seolah pindah ke perut, lalu menggelitik batin hingga membuatnya memperhalus keadaan.
"Gitu-gitu aja," jawab Sam kemudian.
"Lo nggak bahas masalah jabatan?"
"Udah nggak penting."
"Nggak mungkin."
Sam mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Lo kemarin-kemarin masih protes karena nggak naik ke presma dan lo juga protes karena nggak jadi menteri. Terus, sekarang lo mau gue percaya kalau semuanya udah nggak penting? Ngaco!"
Riki tertawa remeh, sedangkan Sam hanya menelan ludah. Jujur saja, kalau ditanya pun, ia masih ingin mengeluhkan segala hal. Namun, ia berpikir dan terus berpikir, apakah memperdebatkan hal itu dapat membawanya pada perubahan yang ia inginkan? Ah, Sam saja bingung, sebenarnya apa yang benar-benar ia mau. Toh, selama Partai Visa mendapat tempat yang layak di kabinet tahun ini, ia dapat bernapas lega.
"Setelah ketemu sama dia, gue yakin kalau pilihan mereka nggak salah. Gue perlu bangun kepercayaan dulu sebelum berhubungan, kan? Masalah presma, gue lagi nyoba ngelupainnya."
"Lagian gue heran," ucap Riki seraya kembali menatap layar. "Kenapa Haris dan yang lain nggak jujur aja kalau kesehatan lo yang bikin mereka ragu buat nyalonin? Nyatanya pas di kementerian pun, lo ditaruh di wakil menteri. Katakanlah, mereka pengin melibatkan lo, tapi takut menghambat, jadi main aman aja."
"Itu asumsi lo," Sam menghisap rokoknya lagi, "mau bener atau nggak, yang penting gue tetep jadi bagian di BEMU. Bisa bantu-bantu partai."
"Ck, muna. Lagian lo udah tau sakit masih ngerokok mulu, sih. Sini! Buang!"
Riki lekas merebut benda yang ada di tangan Sam. Setelah berhasil, ia langsung mematikannya dan membuang ke tempat sampah. Ia juga mengambil bungkus rokok serta korek api yang sebenarnya miliknya. Kemudian ia menyimpannya di laci kedua, tepat di bawah tumpukan buku. Sam pun memutar bola matanya malas lalu merebahkan tubuh.
"Kalau aja gue nggak ikut demo, kayaknya masalah ini nggak bakal panjang, ya, Ki."
"Nggak ada hubungan sama demo. Lo apes. Udah, itu doang."
"Iya, apes yang--"
Kalimat Sam terusik oleh notifikasi dan getar dari ponselnya. Sebuah pesan pun muncul pada layar saat ia membuka kunci. Tanpa sadar, ia tersenyum tipis saat membalas ucapan terima kasih dari gadis seberang gang. Riki lantas menyeringai dan berniat mengintip. Namun, dengan cepat Sam memukul keningnya.
"Dasar pelit!"
"Privasi, Ki. Gue belum save nomornya."
"Hah? Jahat banget lo sama ketua sendiri. Udah ketemu, padahal."
"Iya, ini mau gue simpen."
Riki menyentuh dagu Sam sambil cengar-cengir. "Ciyee, awas cinlok, lho. Dia cantik, anak FISIP pula. Jangan oleng."
"Apaan, sih? Kayak ABG aja. Gue udah gede."
"Serius, Sam."
"Iya, terus kenapa kalau serius?"
"Kan, pantang hukumnya melibatkan hati di ranah formalitas. Kebawa dikit aja bisa berabe urusannya."
Sam mengangguk, dalam hati mengiakan karena tidak ada yang salah dari kalimat Riki. Namun, ia bahkan tak memiliki pandangan sejauh itu, lantas mengapa ia harus menyeriusinya? Lelaki tersebut lantas duduk kembali, lalu menopang dagu yang beralaskan lutut.
"Itu bukan sesuatu yang bisa dan kudu diantisipasi."
Riki menepuk jidatnya. "Iya, paham, tapi jangan diniati juga. Ntar profesionalitas lo keganggu."
"Gaya lo!"
Tanpa basa-basi, Sam melempar bantal Riki ke muka pemiliknya. Ia juga memukul lelaki itu berulang kali menggunakan guling sampai puas. Kemudian kabur ke kamar mandi dan mengunci pintu agar sang sahabat tak dapat menyelinap masuk.
"Sam!"
"Bodo!"
📢📢📢
Lena menggantungkan tas selempangnya pada kapstok. Kemudian ia berjalan pelan menuju balkon, mengambil kucing yang dirawat penghuni indekos dari dalam kandang dan membawanya ke kamar. Gadis itu mengeluarkan sebungkus makanan lalu memberikannya pada Chiko--nama makhluk berbulu tersebut.
"Makan yang banyak, ya."
Tanpa menutup pintu sepenuhnya, Lena melepas jaket yang sejak sore telah membalut tubuh. Ia juga mengganti rok panjangnya dengan celana pendek, lalu berbaring di kasur sambil menatap langit-langit. Bersantai dan mengistirahatkan otak di tengah malam seperti ini merupakan pilihan yang tepat. Ia bahkan sama sekali tak mengindahkan ponsel yang berdering berulang kali. Lagi PW, batinnya.
Setelah si kucing menyelesaikan snack-nya dan keluar kamar, Lena mengunci pintu lalu mengambil ponsel yang masih di dalam tas. Ia mendengkus dan mengusap wajahnya saat mendapati nama yang tak asing pada layar. Siapa lagi kalau bukan Zaki? Lelaki itu pasti penasaran akan pembahasan pertamanya dengan Sam. Saat pulang tadi, ia sudah menduganya, mengingat pesan yang sama terus bermunculan di waktu yang berbeda.
"Iya, Bang?" Akhirnya Lena menjawab telepon tersebut.
"Jadi ketemu Sam? Gimana?"
Nah, kan.
"Jadi, kok. Nggak gimana-gimana. Anaknya santai."
"Syukurlah. Kalian bahas apa aja?"
Lena bangkit dan duduk bersila. Ia menautkan alis sambil menggigiti kuku jarinya. Gadis itu lekas bersandar dan membawa boneka Minion-nya ke dalam dekapan.
"Ngobrol biasa, Bang, lagian belum ada yang bisa dibahas, kan? Sama-sama belum ada pandangan."
"Iya juga. Wajib datang di pertemuan nanti, lho, ya."
"Siap, gue udah ngingetin dia juga, kok."
"Oke. Gue sekaligus mau bilang kalau ada amanah dari komsat."
Kening Lena makin berkerut. "Amanah apa, Bang?"
"Gini, OSPEK universitas di kampus kita, kan, yang menyelenggarakan bukan BEMU. Kemahasiswaan dan dekan-dekan yang jadi panitia. Satu-satunya cara agar ekstra bisa promosi itu lewat pemasangan bendera. Nah, anak komsat minta rute mahasiswanya sesuai dengan jalur yang mereka buat."
"Hubungannya sama gue?" tanyanya lalu menelan ludah.
"Rute itu yang bikin anak-anak BEMFA, Len. Kementerian lo yang komunikasi sama mereka."
"Jadi, intinya temen-temen HMB mau gue ngasih saran ke gubma-gubma buat ngatur itu?"
"Iya."
Lena menghela napas panjang. Ia spontan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Seumur-umur, ia belum pernah terlibat di penerimaan mahasiswa baru. Ah, pernah, hanya sebatas tukang foto dan penulis berita mingguan. Sekarang, ia harus membereskan hal yang terdengar mudah, tetapi luar biasa sulit itu? Yang benar saja.
"Nggak ngikut keputusan gubma aja, Bang? Biarkan mereka milih sendiri gitu."
"Lo pikir organisasi lain nggak berusaha buat ikut campur? Kalau kita diem aja, yang ada nggak dapet kader, Len."
Gadis itu belum menjawab. Ia memilih menyalakan loudspeaker lalu berjalan ke meja rias, mengambil kuciran dan mengikat rambutnya kuat-kuat. Kata per kata dari Zaki masih ia dengarkan dengan saksama.
"Apa gunanya masuk intra kalau nggak bisa dimanfaatkan? Lo pasti paham."
"Oke, gue bakal berusaha, tapi nggak janji."
"Nggak janji, boleh. Nggak maksimal, jangan. Gue tau lo punya argumen yang bagus nantinya. Denah udah gue kirim ke WA. Cek aja."
Lena sekilas melihat ponselnya. "Oke."
Tak lama setelah itu, Zaki mengakhiri panggilan dengan salam. Lena lekas menyembunyikan wajahnya pada tumpukan buku di meja. Harinya sebagai Menteri Dalam Negeri belum dimulai, tetapi hal yang membuatnya enggan sudah berdatangan. Gadis itu lantas mengangkat wajah, menatap papan tulis mini yang tergantung di samping kalender. Ia pun menuliskan agenda terdekatnya lalu menghapus kalimat tentang pertemuan perdana di baris sebelumnya.
"Ah, iya, Sam."
Seketika Lena memukul pipinya sendiri. Ia mengentak-entakkan kaki dan mengacak rambut. Sial, ia lupa kalau sebelum berhadapan dengan para ketua BEMFA, ia harus melangkahi lelaki tersebut. Sungguh undian yang menyenangkan.
12 November 2021
1410 Kata
📢📢📢
Aku lagi belajar ngonten di tiktok. Kalau gak keberatan, mampir, yuk. Tapi, jangan boom like, ya. Khob khun ka 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top