4 ~ Obrolan Pertama

"Gue paham posisi lo, kok. Toh, sebebas-bebasnya suatu aturan pasti ada batasannya."

📢📢📢

Petikan gitar akustik mulai mengisi kafe setelah gadis berjilbab abu-abu menyerahkan secarik kertas pada lelaki yang memainkan mikrofon. Lena pikir, ada lagu yang ingin mereka dengar mumpung gerimis telah datang dan dingin mulai menyelimuti suasana. Seketika ia melirik jam tangan yang pergerakan jarumnya terasa lambat. Ia pun mendengkus, menyandarkan tubuh pada kursi kayu dan menatap langit-langit yang dipenuhi kelap-kelip lampu.

"Greentea latte-nya, Kak."

Lena sontak terperanjat hingga rambut panjangnya tersangkut pada paku. Ia refleks mengumpat karena tak menyangka akan sesusah itu dalam melepasnya. Wajahnya berubah gusar saat makin banyak orang yang menertawakan kekonyolan tersebut.

"Bisa, Kak?"

"Bisa, bisa."

Setelah berjuang menahan malu, Lena pun terbebas. Ia dapat bernapas lega dan duduk dengan tegak. Gadis yang masih mengenakan kemeja jurusan itu lantas tersenyum tipis dan mempersilakan waitress di depannya untuk kembali ke tempat. Kemudian ia mengusap wajah dan mengaduk minuman yang dipesan. Dalam diam, Lena bergumam, lain kali kalau kemari, ia akan mengikat rambutnya kuat-kuat.

Ponsel yang terus ditatap belum menampakkan tanda-tanda kemunculan pesan baru. Lena lelah menopang dagu dan mengamati satu per satu lelaki yang membuka pintu. Sudah setengah jam ia duduk berteman musik indie yang tak ia mengerti. Hujan pun makin menjadi-jadi dan pikirnya berganti dengan bagaimana cara ia pulang nanti.

Bosan, Lena kembali membuka pesan yang Sam kirimkan. Kata 'otw' yang tertera di layar sangat tidak meyakinkan, mengingat batang hidung lelaki itu belum terlihat juga. Hari pertama bertemu saja sudah seperti ini, apalagi kedua dan seterusnya, kalimat itulah yang kini terngiang di otak dan cukup menyebalkan.

Seumur-umur, baru ini Lena disatukan dengan sosok yang belum ia kenal sama sekali. Saat di LPM dulu, setidaknya para pengurus pernah menjabat bersama di tahun sebelumnya, jadi kecanggungan yang terjadi akibat identitas baru masih bisa diatasi. Lain hal dengan kasus ini, terlebih lagi ia pernah secara tak langsung bersinggungan dengan Sam. Ah, makin kacau balaulah pikirannya.

"Eh?"

Mata Lena menyipit saat seorang lelaki memasuki kafe seraya mengusap rambutnya ke belakang. Sosok itu tampak celingak-celinguk lalu memperhatikan ponsel. Seketika Lena kalang kabut dan mengambil cermin kecilnya dari tas. Ia pun menunduk dan memperhatikan riasannya yang sedikit memudar. Tidak masalah, batinnya. Ia masih terlihat baik-baik saja.

Sam yang menyadari keberadaan Lena lekas mendekat. Kemudian duduk di depan Lena tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia hanya tersenyum dan mengangguk kecil sebagai bentuk sapaan. Gadis yang menelan ludah dan menatap kikuk pun turut terdiam pula.

"Em, lo udah pesen minum?" tanya Lena memecah keheningan.

Sam lekas menggeleng lalu kembali berdiri. "Bentar, ya."

"Oke."

Seketika Lena mengembuskan napas panjang dan mengalihkan pandangan. Ia mengusap dadanya yang berdegup kencang, sungguh tak keruan. Payah, baru juga begini, kenapa salah tingkah sekali? Ia merutuk tanpa henti. Kegugupan itu membuat telapak tangannya lembap dan dingin. Gila, bagaimana bisa ia bersama lelaki itu selama setahun ke depan?

"Santai, Len. Lo nggak boleh mleyot. Dia emang ganteng, jago orasi juga, tapi dia ke lo cuma senyam-senyum dan ngomong alus. Kagak ngapa-ngapain. Oke? Tenang," monolognya sambil mengepalkan tangan.

"Udah lama, ya?"

"Hah?"

Sam menautkan alis lalu menarik kursi. "Udah lama nunggunya?"

"Oh ...." Lena mengusap pipinya--ingin menampar, tetapi tidak jadi--dan mengangguk pelan. "Lumayan, dari jam delapan."

"Sori, ya. Tadi motor gue dipinjem anak komsat."

"Nggak apa-apa, kok. Berarti tadi dari sana?"

Sam mengiakan dan setelahnya tak terjadi percakapan lagi. Lena lantas kembali menghela napas. Seketika ia merasa gagal sebagai reporter karena membuka pembahasan saja rasanya amat susah. Mungkin memang seharusnya ia membuat daftar pertanyaan sebelum bertemu dengan Sam.

"Di luar masih hujan?" Sungguh basa-basi yang murah, batin Lena.

"Iya, lihat," Sam menunjukkan lengan jaketnya yang sedikit basa, "tapi nggak sederas itu."

"Nggak punya jas hujan?"

"Ada di motor, males pakeknya. Lagian deket, kok."

"Emang komisariat IMP Teknik di mana?"

"Daerah Marga, gang empat."

"Hm, iya, deket."

Lagi, obrolan mereka terhenti. Kali ini bukan karena kebodohan Lena dan Sam dalam mencari topik, melainkan waiters pembawa segelas americano-lah penyebabnya.

"Makasih, Bang," ucap Sam sambil tersenyum, sebelum menenggak es kopi pahit yang sama sekali tak Lena sukai.

Lena pun ikut meminum pesanannya yang sudah hambar karena terlalu lama didiamkan. Sesekali ia mencuri pandang pada ponsel, berharap ada yang mengirim pesan agar ia bisa memiliki kegiatan lain, selain berbicara dengan wakilnya yang baru. Namun, tentu saja tidak ada apa-apa, kecuali spam SMS dari pinjaman online dan pesugihan halal.

"Em, gue boleh ngerokok, nggak?" tanya Sam tiba-tiba.

"Boleh, kok, gue udah biasa, asal asapnya jangan diarahin ke gue, ya."

"Ya udah, ntar aja kalau gitu."

"Lah, kenapa? Gue beneran nggak masalah."

"Nggak, lagi angin banget."

"O-oke."

Lena beralih mengaduk gelas berisi es yang mencair. Entah apa maksudnya, ia hanya ingin melampiaskan kebingungan yang ada di kepalanya. Sam yang semula melihat ponsel lalu mengantonginya lekas menghadap depan dan kembali menatap Lena. Gadis itu pun berdeham dan menatap live music yang ada di depannya.

"Kita pernah ketemu, kan?"

Mata Lena sontak terbelalak. Ia segera mengangguk dan menggigit bibir. "Iya, beberapa kali."

"Di debat SEMU dan ... pas demo di kantor dekan beberapa bulan kemarin."

"He'em, ternyata lo inget yang itu juga."

"Iya, lah. Waktu itu, lo satu-satunya yang wawancara gue, padahal di sana juga ada humas."

"Em, gue pikir sudut pandang korlap lebih menarik buat dibahas."

"Sudut pandang kita semua sama, kan, udah disatupahamkan."

"Bener juga," jawab Lena sembari mengangguk.

"Sayang, lo nggak masukin opini gue di berita itu."

Lena memejamkan matanya selama sekian detik. Ia menarik napas dalam-dalam guna menetralkan degup yang tak wajar. Ia sudah menduga kalimat tersebut akan muncul dari mulut Sam dan itu sudah risikonya.

"Sori, soalnya redpel minta revisi. Sumpah, sebenernya gue sendiri nggak mau ngelakuin itu dan sempet debat juga. Cuma mau gimana lagi? Anak Lestari nggak boleh kontra kampus."

"Nggak perlu minta maaf. Gue paham posisi lo, kok. Toh, sebebas-bebasnya suatu aturan pasti ada batasannya."

"Syukurlah kalau gitu."

Sam mengangguk. "Gue emang nggak bakal lupain pengalaman itu, tapi bukan berarti gue nggak suka. Jadi, jangan nggak enakan. Keliatan banget, soalnya."

"Iya, ya?" Lena menggaruk tengkuk. "Gue takut salah ngomong, apalagi setahun nanti kita bakal jadi partner."

"Lupain aja, buka lembar baru. Lagian, kita di sini bukan sebagai kita di masa lalu."

Mendengar hal itu, Lena merasa sebongkah bata tua di hatinya seolah terangkat dan dilempar jauh-jauh. Ia juga lega ketika kata 'kita' terus terulang dengan lancar dari mulut mereka. Kini senyumnya tak lagi kaku dan gemetar di tangannya mulai berkurang.

"Oiya, kenapa lo milih join di kemendagri?" tanya Lena setelah melihat Sam meletakkan kedua tangannya di atas meja.

"Nggak bisa jauh-jauh dari intra."

"Em, kalau gitu, kenapa malah jadi wamen-nya? Lo nggak apa-apa?"

Sam mengangkat sudut bibir kirinya. "Emang kenapa?"

"Ya, gue, kan, cewek. Gue juga nggak banyak pengalaman di intra kayak lo."

"Merendah, nih?"

"Nggak, gue jujur. Lebih baik dibahas sekarang daripada lo gibahin gue di belakang."

"Gue bukan orang yang kayak gitu."

"Kan, siapa tau."

Sam bersandar pada kursi dan bersedekap. "Perkara ketua atau wakil, kan, bukan gue atau lo yang milih. Kita sama-sama tinggal mengiakan tawaran presma."

"Iya, sih, tapi--"

"Gue nggak pernah mempersalahkan siapa yang mimpin gue, mau itu cewek atau cowok. Kalau presma udah milih lo, berarti dia percaya sama kemampuan lo dan gue tinggal ngelakuin hal yang sama."

Beda. Sungguh, binar mata Sam terlihat lain. Intonasi dan kelembutan suaranya juga asing. Lena sampai berkedip konstan dan menelan ludah. Jiwanya seperti dibawa ke momen terburuk yang ia punya, lalu diangkat ke hamparan langit yang sejuk dan penuh warna. Deskripsi macam apa itu? Lena lekas menggeleng dan mencubit pahanya.

"Ehm, ma-makasih, gue harap kita bisa bekerja sama dengan baik ke depannya."

Terlihat ragu, Sam tersenyum tipis. "Semoga aja."

"Lusa bisa datang, kan?"

"Bisa, kok. Mau gue jemput?"

"Hem?" respons Lena hampir tersedak. "Gimana?"

"Mau gue jemput di kos, nggak? Jadi ke sananya barengan."

Gadis yang mengusap bibirnya menggunakan tisu itu lantas berpikir. Lusa merupakan pertemuan perdana seluruh jajaran kabinet. Bisa dipastikan akan menjadi momen tercanggung karena ia belum tentu mengenal semuanya. Namun, datang dengan Sam juga bukan pilihan yang tepat karena mereka saja baru bertemu.

"Nggak ngerepotin?" Dari seluruh kosa kata, Lena justru menanyakan hal tersebut. Pikirnya, barangkali dengan ini mereka bisa makin dekat dan terbiasa dengan satu sama lain.

"Nggak, kok. Kos lo di mana?"

"Marga juga, gang dua."

"Deket, lah. Gampang kalau gitu."

"Oke, makasih."

Sam mengangguk. Ia lantas menghabiskan minumannya tanpa sisa, sedangkan Lena hanya diam. Ia tak tahu harus berbuat apa, selain mengusap tubuh yang sesekali tersentak karena semilir angin. Malam makin larut dan dingin yang menusuk tulang kian tak terkendali.

"Ke sini naik apa?" tanya Sam.

"Ojek."

"Gue antar pulang kalau gitu, udah malem."

"Bener?"

"Iya."

Tanpa berlama-lama, lelaki itu beranjak seraya meraih kunci motor di samping asbak rokok. Ia spontan mengantonginya lalu berjalan terlebih dulu. Lena pun segera mengemasi barangnya dan mengikuti Sam dari belakang.

9 November 2021
1478 Kata

📢📢📢

Korlap: Koordinator Lapangan
Redpel: Redaktur Pelaksana

📢📢📢

Aku lagi suka dengerin lagu di mulmed. Sweet, cocok buat yang lagi kejebak friendzone 😌

Ngopi doang ganteng bener, Bang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top