3 ~ Hasil Akhir

"Emang kenapa kalau cewek yang mimpin? Dia di sini jadi ketua, bukan imam salat."

📢📢📢

Sosok yang menatap papan dengan serius lantas menggigit bibir saat surat terakhir dari Kotak Industri dinyatakan tidak sah. Seketika penghuni lainnya kompak menghela napas dan saling pandang. Tak sedikit pula yang bersandar pada dinding dan mengacak rambut. Selain kertas kosong, suara yang demikian juga cukup meresahkan.

Sejak beberapa hari lalu, seluruh sekretariat SEFA di Student Center disulap menjadi tempat penghitungan suara. Dari pagi hingga malam, gedung empat lantai yang berhadapan dengan perpustakaan pusat itu tidak pernah sepi. Meski tertutup, ruangan-ruangan tersebut masih menyisakan celah lewat jendela yang terbuka tanpa dilapisi gorden. Perwakilan partai yang berjaga di sekitar lorong hanya bisa melongok dan menajamkan telinga.

Pemilihan raya memang telah usai. Namun, ketakutan terbesar malah baru dimulai. Momok tentang perbedaan jumlah surat suara selalu menghantui para anggota KPRF. Salah hitung sedikit saja, mahasiswa di luar sana akan siap menerkam mereka--dengan elit tentunya.

"Sam!"

Sang empunya nama tengah berjalan dari tangga. Ia tersenyum tipis, segera mendekat dan meletakkan barang bawaannya di kursi tunggu. Kemudian tak lupa menyalami satu per satu rekan partainya yang terlihat cukup memprihatinkan. Bibir kering, mata berkantung, rambut acak-acakan, bahkan rona wajah mereka juga tak bergairah.

"Maaf, Bang, tadi ketiduran di kos."

"Santai. Sendirian nggak apa-apa, Sam? Soalnya kita mau cari makan terus tidur. Udah dari semalam ngalong di sini."

Sam mengangguk. "Tenang, nanti katanya ada yang nyusul ke sini juga."

"Okelah kalau gitu. Kita cabut dulu, ya."

"Siap!"

"Hati-hati, lho. Udah sepi. Fakultas lain pada balik juga."

Ia tentu tahu makna kalimat tersebut, mengingat di lantai tiga ini memang tidak ada siapa-siapa, selain mereka. Namun, Sam memilih untuk tak mengindahkannya. Walau sulit, ia percaya bahwa tahun ini pemira tidak dikotori dengan kecurangan oknum tertentu. Ketenangan dan betapa masuk akalnya hasil perhitungan di berbagai fakultas-lah yang menambah prasangka baik itu. Lagi pula, Riki tak pernah absen dalam mengeluhkan hal apa pun.

Sam pun duduk dan mengeluarkan ponsel dari jaket tebalnya. Ia langsung menghubungi sahabatnya agar segera keluar. Tak menunggu lama, sosok yang ia cari muncul dengan kaus oblong--masih sama dengan kemarin--dan celana training milik orang lain. Entah siapa pemiliknya, Riki sendiri tidak tahu.

"Syukur, deh. Lo masih hidup," ucap Sam.

"Tai lo!"

Riki lekas bersandar dan mengembuskan napas panjang. Sam refleks menggeleng dan tertawa kecil. Rupa kawannya itu tak jauh berbeda dengannya dulu. Bahkan, gerak-geriknya saat keluar ruangan pun sama. Sungguh miris.

Ia pun teringat sesuatu lalu mengambil sebungkus nasi dari kresek hitam yang dibawa dari indekos. Setelah menepuk paha sahabatnya berulang kali, Sam segera menyerahkan makanan tersebut pada Riki.

"Makan dulu."

"Makasih, sebenernya di dalam ada konsumsi, tapi gue nggak nafsu."

"Iya, paham. Makanya gue beliin di tempat langganan lo." Sam mengalihkan pandangan ke lantai. "Em, tadi ada masalah, nggak?"

Riki menggeleng sambil menikmati oseng tempe favoritnya. "Aman. Makanya gue heran, kenapa kalian masih rajin di sini? Takut banget, ya, kalau ada yang nyabotase?"

"Mencegah lebih baik daripada membenahi. Lagian lo tau sendiri, anak KPR nggak semua independen. Ada utusan partai juga."

"Iya, sih, dan gue baru tau itu setelah lo cerita kemarin."

Sam mengangguk, lalu kembali menepuk Riki. "Eh, ini gorengan buat anak-anak di dalam. Jangan bilang kalau gue yang beliin, nanti pikirannya ke mana-mana."

"Oke, makasih. Gue masuk bentar."

Setelah Riki enyah, suara gaduh dari jauh sontak membuat Sam mengerutkan kening. Ia pun menoleh dan melihat ke bawah. Matanya seketika terbelalak saat melihat seorang lelaki berkaus abu-abu tergopoh-gopoh menaiki tangga. Sam refleks berdiri dan mundur dua langkah usai mereka saling tatap.

Sosok tersebut sudah sampai atas. Ia lekas menghampiri Sam dengan tubuh yang bergetar. Wajahnya sedikit lebam dan dipenuhi keringat.

"Mas, tolong umpetin saya!"

Tanpa mengucap apa pun, Sam segera menarik tangan lelaki itu dan membawanya ke depan Sekretariat SEFA Teknik. Ia menggedor pintu dengan brutal agar segera dibukakan.

"Apa-apaan, si--"

"Diem!"

Riki yang terpaku di tempatnya langsung melongo dan bergeming. Dua orang yang kalang kabut itu pun masuk, lalu mengunci pintu dan menutup jendela serta gorden. Tak lupa Sam juga mematikan lampu kemudian duduk dalam hening.

Tidak hanya Riki, tetapi anggota KPRF lain juga ternganga dan ketakutan. Mereka benar-benar tak mengeluarkan sepatah kata pun, meski benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Setelah suara derap kaki tak terdengar lagi, Sam memberanikan diri untuk keluar.

Aman, udah nggak ada siapa-siapa, batinnya.

"Maaf, ya, teman-teman. Makasih juga sebelumnya," ucap Sam setelah menyalakan lampu. Ia pun mengajak Riki dan orang yang dibawanya untuk berbicara di lorong.

"Mas, anak mana?" Riki memberi sebotol air minum pada lelaki yang masih mengatur napas, sedangkan Sam hanya bersedekap dan menatap.

"Ekonomi. Makasih banget, ya, udah nolongin saya. Kalau nggak "

"Sama-sama. Kalau boleh tau, Mas tadi ngapain, kok, bisa dikejar mereka? Emang mereka siapa?"

"Sama, Mas. Anak ekonomi juga. Salah saya, sebenarnya. Pas di gazebo perpus, saya dan temen sempat ngomongin paslon yang menang. Saya nggak tau kalau ada orang partai mereka yang denger. Gini, lah, nasibnya. Saya tadi mencar, jadi nggak tau temen saya ke mana."

Riki sama sekali tak menutup mulutnya dan hanya manggut-manggut, sedangkan Sam menelan ludah dan menautkan alis. Lelaki itu cukup antusias dan segera mendekat.

"Siapa yang menang di Fakultas Ekonomi?" tanya Sam.

"Partai Surya, Mas. Di FISIP, FAI, FK, dan FIKES juga."

"Buset, cepet juga mereka. Udah pada kelar." ujar Riki sedikit iri.

"Di teknik masih belum, Mas?"

"Dikit lagi, sih."

Sam kembali menjauh lalu mengeluarkan ponselnya. Ia memberi kabar ke grup partai sebelum akhirnya menatap sekretariat BEMU yang ada di sampingnya. Lelaki itu mendengkus sambil menyalakan korek api.

Prediksi memang 90% nggak meleset.

📢📢📢

Lena merapikan rambutnya di depan jendela komisariat. Ia tidak peduli dengan tatapan para adik tingkat yang dapat melihatnya dari dalam. Setelah rapi, ia segera masuk sambil mengucap salam. Tanpa berbasa-basi, ia melanjutkan langkah dan berjalan menuju lantai dua, tepatnya di kamar paling ujung--milik Zaki.

Seusai dihubungi beberapa waktu lalu, Lena sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Bahkan saat pemira telah selesai pun, ia masih tak muncul. Laporan praktikum yang lumayan mencekiklah pelakunya. Rekan-rekan Lena tak membiarkannya enyah sebelum urusan mereka dinyatakan seratus persen aman.

Gadis itu buru-buru menemui Zaki setelah benar-benar bebas. Ia tak sabar untuk mengucapkan selamat sebab berhasil menduduki jabatan yang ia incar dari tahun kemarin.

"Malam, Ba--"

Salam Lena sontak tersendat ketika mendapati Zaki tidak sendirian di kamarnya. Ada tiga lelaki dan satu perempuan seangkatannya yang berasal dari jurusan lain. Namun, sosok yang paling membuatnya kaget adalah Tama, sang presiden mahasiswa.

"Akhirnya datang juga. Duduk, Len."

"Rame, ya, kirain berdua doang. Pantes berani ngajak ke kamar."

"Mulutmu!"

"Canda, Bang," ucap Lena diselingi tawa kecil. Ia pun mengalami satu per satu orang di sana lalu duduk bersila.

"Abis dari mana, Len?" tanya Tama untuk pertama kalinya.

"Oh, dari kajur, Pres."

"Waduh, manggilnya biasa aja. Belum dilantik ini."

"Nggak apa-apa, mulai sekarang harus terbiasa. Oiya, selamat-selamat."

"Makasih," Kini Zaki yang berbicara, "kita to the point aja. Mereka berempat udah kita kasih tau, tinggal lo."

Lena menelan ludah. "Wih, ada apa, nih?"

"Kita mau nawarin Lena buat masuk jajaran kabinet, tepatnya di Kementerian Dalam Negeri, gimana?"

Tawaran Tama membuat gadis yang sudah menduga-duga makin menjadi-jadi. Sejak tawaran untuk naik ke SEMU, Lena memang sempat memikirkan kemungkinan ini. Ia lantas mencengkeram celananya dan menatap Zaki yang tersenyum sambil mengangguk yakin.

"Tapi, gue belum pernah masuk intra, Bang. Selama ini main di LPM aja."

"Jaringan yang lo punya udah cukup buat belajar itu."

"Bener," ucap Tama setuju. "Lagian wakilnya nanti mantan wagubma, kok, jadi kalian bisa saling melengkapi."

"Wakilnya cewek juga, Bang?" tanya lelaki berkemeja hitam yang memainkan ponsel.

"Cowok, kok. Anak teknik."

"Lah, kalau gitu kenapa Lena yang jadi menterinya?" sambung lelaki lain yang sejak tadi menyimak dengan serius.

"Emang kenapa kalau cewek yang mimpin? Dia di sini jadi ketua, bukan imam salat."

"Ya, nggak gitu, Bang, cuma …."

Lena menulikan pendengarannya. Sungguh, ini bukan kali pertama ia diremehkan hanya karena terlahir perempuan. Saat mencalonkan diri di LPM pun, ada pula pendapat yang sama. Sontak cengkeramannya pada paha makin kuat, meski sosok yang mengucapkan kalimat tersebut meralat semuanya dengan kata 'bercanda' dan Zaki sudah menyudahinya.

"Gimana?" Tama mengalihkan suasana setelah menyadari ada yang tidak beres.

"Boleh liat tupoksinya, nggak, Bang?" jawab Lena sambil melirik lelaki yang mulai hari ini masuk daftar hitamnya.

"Boleh banget." Zaki segera menyodorkan proposal yang dipangkunya.

Gadis itu lantas membaca rencana susunan jajaran, sekaligus arah kerja setiap kementerian. Tidak ada redaksional yang membuatnya mengernyit, apalagi mengeluhkan sesuatu. Setelah mencermati dengan lekat, ia pun menutup buku tersebut dan mengangguk.

"Oke, gue mau."

"Syukurlah. Makasih, ya."

Lena tersenyum dan menghela napas lega. "Oiya, wakil gue ntar siapa, Bang?"

"Ahsyam dari teknik. Kenal?" Tama-lah yang menjawab.

Seketika Lena berpikir keras. Dahinya berkerut dan lubang hidungnya melebar. Berulang kali otaknya melantunkan nama yang sama sampai berhasil mendapatkan ingatan yang dicari.

"Sam?"

5 November 2021
1476 Kata

📢📢📢

SEFA: Senat Mahasiswa Fakultas
FISIP: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAI: Fakultas Agama Islam
FK: Fakultas Kedokteran
FIKES: Fakultas Ilmu Kesehatan

📢📢📢

Gimana tiga bab pertamanya?
Seru, nggak? 🙈

Oiya, aku mau ngasih tau kalau beda perguruan tinggi, penamaan pengurus BEM-nya bisa beda istilah juga. Ada yang pakai kementerian, departemen, divisi, dan lain-lain.

Selain karena menyesuaikan pas menjabat dulu, aku pakai 'kementerian' di RSHTM biar kalian lebih merasakan kalau belajar politik negara itu bisa dimulai dari politik kampus.

See you on the next chapter 😊

Blur, seperti jodoh 🙂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top