23 ~ Galau

"Setiap orang perlu ruang berpikir sampai menyadari perasaannya sendiri."

📢📢📢

Lena menenggelamkan wajahnya di balik tumpukan majalah lama. Ia berulang kali mendengkus dan menendangi kaki meja yang tak bersalah. Sakit, memang, tetapi ia butuh pelampiasan kebosanannya. Terbiasa sibuk sampai harus kelayapan sana-sini membuatnya dirundung kehampaan. Ia benar-benar tak terbiasa dengan notifikasi ponselnya sekarang. Sepi, layaknya hati.

Gadis yang mengurai rambut dan membiarkannya acak-acakan karena diterpa kipas angin itu terlampau bodo amat dengan sekitarnya. Tak terhitung berapa kali juniornya di LPM menanyakan kabar hingga menawarkan makanan. Lena sungguh malas menanggapi. Ia juga tak memiliki selera.

Sudah seminggu ia uring-uringan seperti ini. Tepatnya kapan, mungkin saat Sam memutuskan untuk tidak menghubunginya sama sekali. Lelaki itu sangat memegang ucapannya untuk tak mengganggu Lena dalam memikirkan keputusan mana yang ia ambil. Kalau dipikir-pikir, ternyata memang sealay itu. Lena sampai merinding saat mengingatnya kembali.

Gadis tersebut mengambil recorder yang akhir-akhir ini tak pernah absen dari tasnya. Benda yang dulu mati-matian ia tolak--karena gengsi--nyatanya dipungut juga. Sebenarnya, ia tak seingin itu untuk menerima. Namun, catatan kecil yang ada di baliknya cukup membuat penasaran. Sam memang pemikat yang andal.

Cukup sederhana. Hanya satu kalimat bertuliskan 'dengarin gue' yang dibubuhi tanda tangan di bawahnya. Sungguh, saat melihatnya untuk kali pertama, muka Lena terlebih dulu malu dibanding antusias. Ia tak habis pikir pernah mengatakan akan menerima perasaan orang lain asal membelikannya recorder ini. Murah sekali.

"Lo dengerin apa, Kak?"

Lena tersentak dan memandang sinis ke samping. "Berisik!"

"Nanya doang, padahal."

"Beliin cimory, gih. Yang satu ntar buat lo."

"Oke, deh."

Ruangan kembali sepi. Andai Lena tahu, juniornya tak henti mengumpat karena demisioner itu tak harusnya nangkring di sana. Sayangnya, mau sadar atau tidak, Lena tetap menjadikan sekretariat LPM sebagai tempat pelarian. Ia tak punya waktu untuk pulang ke indekos hanya untuk menggalau seharian.

Lena memutar rekaman Sam dan mengenakan headset. Walau tidak ada siapa-siapa, ia tak ingin suara lelaki itu terekspos dan didengar orang lain. Tak lupa ia membuka ponsel untuk mengecek media sosial yang makin hari makin berdebu saja.

Sebelumnya, gue mau bawain lagu ini buat lo.

"Lo kesambet apa, sih, Sam?"

Lena menghela napas. Suara petikan gitar mulai mengalun indah di telinga Lena. Jujur, tak pernah terbersit sedikit pun bahwa ia akan mendengarkan lagu Maudy Ayunda dari lelaki itu. Lebih tepatnya, Sam memang tak pernah bisa ia tebak. Kadang baik hingga membuatnya tenang, kadang menyebalkan hingga membuatnya geregetan. Sekarang, dua rasa itu tengah bergelut di dadanya.

Aku sedang mencintaimu, meski kau tak 'kan pernah tau. Akankah sang waktu menjaga hatiku untuk selalu menunggumu?

Embusan napas kembali keluar dari mulut Lena. Benaknya lagi-lagi bertanya, kira-kira kapan laki-laki itu menumbuhkan rasa cinta? Apa yang ia lakukan hingga membuatnya jatuh dan rela mempermalukan diri seperti ini? Kenapa juga ia memilih merekamnya dalam benda mati? Tak cukupkah nyalinya? Atau ia sedang berlagak romantis?

Misal jawabannya yang kedua, Lena benar-benar sial.

Kalau suara gue berhasil terdengar sampai sini, berarti lo bener-bener menghargai usaha gue, Len. Dan kalau boleh, gue juga mau menyimpulkan … lo sedang bertanya-tanya apakah kita ada di zona yang sama.

Lena mendengkus, melepas headset dan bersandar pada kursi. Ia sudah hafal dengan kalimat penutup yang Sam berikan. Gadis itu lantas memejamkan mata dan menghayatinya.

Gue suka semua tentang lo. Gue suka ketika lo marah, lo ngambek, lo ketawa, lo sedih, apa pun itu gue suka. Gue suka cara lo nuntun gue. Gue suka cara lo ngadepin gue. Intinya, gue suka. Gue nggak perlu ngitung seberapa sukanya gue ke lo, yang jelas ketika udah waktunya, gue bakal minta jawaban.

Lo mau upgrade status kita, nggak? Dari partner kementerian, jadi partner hidup. Gue tau ini menjijikkan, tapi gue serius.

Gue tunggu, Len.

"Aaa!!"

"Njir, lo kenapa, deh, Kak?"

Sang empunya nama tak segera menjawab. Ia justru menatap layar ponsel yang tak menunjukkan pembaruan. Sam benar-benar vakum dari media sosial. Mulai dari Instagram hingga WhatsApp, semua tampak sepi tanpa status apa-apa. Lelaki itu juga tak meninggalkan pesan secara pribadi. Hanya sesekali muncul di grup BEMU saat ditandai oleh presma. Kesal, Lena mengacak rambutnya.

"Sumpah, lama-lama gue takut sama lo, Kak," ucap adik tingkat Lena seraya meletakkan pesanan gadis itu di atas meja.

"Dek, bedain suka sungguhan sama suka kebetulan itu gimana?"

"Kenapa Kakak nanya begitu?"

"Ya, gue penasaran, lah."

"Bener cuma penasaran?"

"Ck, emang apa lagi?"

"Barangkali lagi berusaha menolak fakta, makanya nyari pembenaran lain kalau yang lagi dirasain sebenernya bukan apa-apa."

Seketika Lena termenung. Ia menelan ludah dan duduk dalam diam. Otaknya bekerja, begitu pula dengan hati. Berusaha menerima pernyataan yang bisa dijadikan pertimbangan. Ia pun menghela napas panjang, yang membuat gadis di samping menepuk-nepuk pundaknya perlahan.

"Kalau lo bingung, coba nanya ke diri sendiri, Kak. Ketika dia nggak ada, lo nyariin, nggak? Seberapa besar keinginan lo buat saling tahu satu sama lain."

Lena mengangguk dan tersenyum tipis. "Makasih, ya. Gue cabut dulu."

Gadis itu lekas mengemasi barangnya lalu keluar ruangan. Namun, langkahnya terhenti saat tak sengaja bertemu dengan sosok yang tidak asing. Mata mereka bertatapan sekian detik sebelum akhirnya Lena memilih berlari menuruni tangga.

Sam yang sedari tadi mengawasi Lena dari sekretariat himpunan langsung mengejar ketuanya. Meski tak acuh di dunia maya, ia diam-diam masih memperhatikan gadis itu. Mengawasi dari jauh dan menanyakan kabarnya lewat orang lain. Seringnya dari Zaki, kadang juga Aji, bahkan anak indekos yang ia mintai nomornya hanya untuk membicarakan Lena. Sam diam bukan berarti tak peduli. Ia hanya memberi Lena kesempatan karena setiap orang perlu ruang berpikir sampai menyadari perasaannya sendiri.

"Jangan lari. Nanti lo ja--"

Belum sampai selesai bicara, Lena tersandung dan tersungkur. Untung saja ia sudah berada di anak tangga terakhir. Andai tidak, bisa dipastikan ia akan berguling-guling seperti adegan klasik sinetron. Sam pun buru-buru mendekat dan membantu gadis itu untuk berdiri.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya konyol.

Lena ingin mengangguk, tetapi nyeri di lututnya mendominasi. Ia juga malu tak karuan. Gadis itu menghempaskan tangan Sam dan memalingkan muka. Ia belum sanggup ditatap demikian. Benar-benar bodoh.

"Mau ke klinik dulu, nggak? Kayaknya lutut lo berdarah."

Sam berjongkok di depan Lena, membuat gadis yang menggigit bibir sontak mundur hingga menabrak pintu sekretariat lain. Sial, Student Center ini memang berisikan tempat-tempat penting yang membuat rasa malunya meningkat berkali-kali lipat. Ia pun mengembuskan napas panjang dan menggeleng cepat.

"Nggak apa-apa, kok. Makasih," ucap Lena lalu berniat beranjak. Namun, Sam menahan tangannya.

"Gue temenin, ya? Lo mau ke mana? Beneran nggak apa-apa?"

"Gue oke, Sam. Cuma jatuh."

"Iya, gue tau kalau lo jatuh, tapi lukanya gimana?"

Lena masih menggeleng. Dengan berani, ia mendongak dan menatap Sam yang tampak menautkan alis. Binar matanya juga terlihat khawatir. Gadis itu pun tersenyum, sesuatu yang membuat Sam kian mengernyit.

"Jatuh yang ini nggak apa-apa. Lukanya nggak seberapa. Kalau jatuh yang lain, urusannya sama lo."

Sam cukup terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Ronanya memerah sampai tak bisa menahan senyum. Ia lantas mengulum bibir lalu menarik sudut bibirnya ke atas.

"Maksudnya?" tanya Sam lembut.

"Maaf, ya, udah buat lo nunggu lama."

Waktu yang berjalan seolah berhenti. Sam membuka matanya lebar-lebar, seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar. Beda dengan Lena yang justru menunduk karena merasa bodoh atas kelabilannya sendiri. Keduanya sama-sama menikmati masa dengan cara yang berbeda.

Sontak, Sam menyentuh dagu Lena lalu mengangkatnya perlahan. Ia menatap mata gadis itu lekat-lekat. Senyumnya mengembang sempurna saat Lena menyeringai, seakan menantangnya untuk melakukan sesuatu.

"Makasih juga udah nunggu gue," ucap Lena lagi.

"Asal dibayar lunas, gue nggak masalah, kok."

19 Desember 2021
1250 Kata

Satu bab lagi ✨
Lagu yang di mulmed itu yang dinyanyiin sama Sam, ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top