22 ~ Syukuran

"Butuh waktu buat membedakan perasaan di dalam dan luar ruangan."

📢📢📢

Sam mengeratkan hoodie-nya. Setelah merasa benar-benar baikan dan dapat mengikuti perkuliahan sebagaimana mestinya, ia mengajak seluruh anggota kemendagri--dan ketuanya tentu saja--untuk makan malam di tempat langganan mereka, Kafe Ayu Lastri. Segala hal telah dipersiapkan, mulai dari dua meja yang digabung jadi satu sampai minuman dan makanan ringan yang telah dipesan sebelumnya. Raut wajahnya yang seringkali datar tampak berubah 180 derajat sejak pulang dari rumah sakit. Mungkin, ubun-ubunnya sudah melunak.

Lena datang terlambat karena harus mengurus berkas-berkas praktikum. Ia lekas duduk di kursi yang tersisa, tepatnya di depan Sam yang justru memalingkan wajah. Lelaki itu menunduk, lalu berdeham dan menoleh ke sisi kanan, berlagak mengamati live music yang cukup keras terdengar. Lena pun tersenyum kaku kemudian meminum greentea latte hangat yang Sam belikan untuknya.

"Kementerian lain masih sibuk proker, kita tinggal ungkang-ungkang, ya, Kak."

"Iya, lho, lega banget. Merana di depan, santai di akhir."

"Ho'oh. Untung nggak ikut Festival Budaya di menpora, jadi bisa leha-leha."

Sam menggeleng dan tertawa kecil mendengar percakapan anggotanya, sedangkan Lena malah berdecak sampai menjitak kepala Aji yang paling dekat dengannya. Sejoli--ketua dan wakil--itu sekian detik saling tatap sebelum akhirnya melepaskan pandangan.

"Kalau senggang, tuh, bantu-bantu, bukannya seneng-seneng di atas penderitaan orang lain. Katanya kolektif kolegial," tegur Lena pada adik tingkat di sampingnya.

"Nggak gitu maksudnya, Kak. Kalau udah nggak capek, pasti bantuin, kok. Iya, kan?"

"Iya, gampang. Bantu pas hari-H aja. Lumayan dapat konsumsi gratis."

"Gundulmu!"

Semuanya kembali tertawa. Detik berganti menit dan waktu terus berlalu tanpa habis. Ada saja yang dibahas. Tak hanya tentang BEMU, apalagi program kerja mereka yang sudah mencapai titik pencapaian yang maksimal. Mungkin, mereka mulai lelah dengan topik struktural yang itu-itu melulu. Sampai-sampai, obrolan tidak penting seperti harga indekos, uang saku sebulan, dan status hubungan pun muncul. Hal yang seketika membuat Sam dan Lena berwajah datar.

"Pasti bohong. Nggak mungkin yang di sini pada jomlo."

"Saking nggak jomlonya, mau rapat aja harus izin do'i. Bucin banget."

"Dih, bukan gue, ya."

"Yang bilang kalau itu lo juga siapa, Ji?"

"Kalau ibu ketua dan bapak wakil kita gimana? Taken nggak, nih?"

Gadis yang memainkan rambut panjangnya bertanya sambil menatap Sam dan Lena bergantian. Kedua insan itu sontak mengalihkan perhatian pada hal lain, berusaha menghindar sejenak sembari mempersiapkan jawaban. Beberapa anggota yang geram akan kesunyian lantas bersorak meminta pemimpin mereka untuk bersuara.

Sam pun mendengkus dan berdecak. "Kalian pikir gue ada waktu buat pacaran? Nggak liat kemarin ribetnya kayak gimana?"

Lena menelan ludah. Ia merapatkan duduknya seraya meniup minuman yang tak lagi panas. Sam yang menyadari seberapa keras gadis itu dalam menjauhi tatapannya cuma bisa memutar bola mata.

"Ya barangkali sekali dayung dua pulau terlampaui gitu, Bang."

"Uhuy!"

"Apa, sih, Ji!" Lena kembali menjitak kepala Aji.

"Duh, Kak. Becanda doang. Serius amat."

"Kan emang minta diseriusin."

"Eeaaaa!"

Lena tak tahan lagi dengan kelakuan para anggotanya. Ia lekas mengambil beberapa potong kentang goreng dan melemparkannya pada mereka satu per satu. Sam hanya tertawa dan tidak berniat ikut campur. Diam-diam ia hanya mengabadikan itu dan mengunggahnya ke instastory. Tak lupa menandai sang ketua, seluruh jajaran, dan akun resmi Kabinet Bahtera.

Gadis yang melihat notifikasi pada ponselnya lekas membuka kunci dan menjelajah aplikasi. Ia tersenyum tipis lalu membagikan status tersebut ke akunnya. Sekilas ia menatap Sam sebelum tiba-tiba memukul lengan Aji tanpa sebab. Sungguh acak.

"Setelah ini kita ngapain, Bang?"

Sam yang tampak melamun sontak menggeleng. "Gimana?"

"Kan proker udah pada kelar dan LPJ kongres juga udah beres, abis itu kita ngapain?"

"Ngapain, Len?"

Kenapa nanya gue? Ingin Lena menjawab demikian. Namun, ia ingat kalau ia-lah ketuanya di sini. Meski telah membahas hal tersebut dengan Sam dan presma, ia merasa Sam mempersilakannya untuk menjelaskan terlebih dulu. Bisa dibilang, lelaki itu tak ingin melangkahi posisi Lena.

Tiba-tiba perut Lena terasa bergemuruh. Tidak sakit, tetapi sensasinya cukup menggelitik dan terasa berbahaya. Bukan untuk raga, melainkan hati. Ia lantas mengusap wajah dan menandaskan minumannya.

"Balik kayak awal aja. Tetep jalin komunikasi ke ketua-ketua, hitung-hitung ngawasin gerak rektor, kan. Siapa tau ada yang janggal, amit-amit."

"Jadi ngopi mingguannya tetep jalan, Kak?"

"Gimana, Sam?" Lena beralih bertanya.

"Em, gue obrolin dulu kalau itu. Kalau mereka mau, ya, lanjut aja."

"Siap, Bos!"

Sam mengaduk kopinya saat suasana kembali hening. Anggotanya mulai gugur--pulang ke kos--satu per satu. Bahkan, Aji yang doyan nongkrong pun izin untuk pindah kafe karena ada pertemuan dengan organisasi daerahnya. Lama kelamaan, hanya Sam dan Lena yang tersisa.

Masih bersama rasa canggung yang entah sejak kapan menyelimuti, mengingat sudah semingguan mereka tidak bertemu, Sam beranjak dan duduk di sebelah kiri Lena. Gadis yang semula menatap lantai itu lekas menoleh dan menggeser tempatnya agar cukup berjauhan. Sam pun mendengkus dan menarik kaki kursi Lena agar kembali mendekat. Tak mau kalah, Lena lagi-lagi berusaha pindah, tetapi cengkeraman Sam cukup kuat hingga kursinya terjengkang.

Sontak Sam pun bangkit dan menarik tangan Lena agar berdiri. Gerak sekian detik itu membuat gadis yang ternganga jatuh ke pelukan wakilnya. Mereka terdiam sejenak saat kursi kafe jatuh menimbulkan kegaduhan.

"Eh!" Lena buru-buru melepaskan degapan Sam dan mendorong lelaki itu jauh-jauh. "Modus lo!"

"Sama-sama," jawab Sam sambil tersenyum lalu menekuk wajah lagi.

"Makasih."

Setelahnya, Lena segera mengambil tas dan berjalan keluar tanpa pamit. Sam yang gelagapan langsung meraih kunci motor dan ponselnya yang tergeletak di meja. Lelaki itu mengikuti Lena dari belakang, meski keduanya tak akan pulang bersamaan (berboncengan).

"Len!" panggil Sam seraya memegang lengan gadis di depannya.

"Kenapa?"

"Ada yang mau gue obrolin."

Lena menelan ludah. "Apa?"

"Lo udah muter rekaman gue yang ada di recorder kemarin, kan?"

"Em--"

"Boleh gue minta jawabannya?"

Gadis yang berkedip konstan mulai bergetar panik. Ia tahu hari ini akan datang, tetapi ia tidak pernah siap menyambutnya. Tentu, ia telah mendengarnya sejak hari pertama memutuskan untuk menerima benda tersebut. Namun, ia masih tak habis pikir dengan pikiran Sam sebelum mengatakan demikian.

"Gue tulus, Len," ucap Sam kembali karena Lena terus bergeming.

Tak banyak yang ia katakan. Hanya beberapa kalimat yang diuntai menjadi satu kata, yaitu suka. Kemudian diakhiri dengan pertanyaan klasik yang bisa ditebak semua orang. Lama ia menunggu, sekarang waktunya. Setelah semua tugas mereka selesai, ia bukan lagi Sam si wakil menteri, melainkan Sam yang meminta Lena untuk menjawab perasaannya. Apa pun itu, ia berharap dapat mendengarnya hari ini juga.

Sayangnya, Lena masih merenung. Apa yang dikatakan Sam tak membuatnya terlambung begitu jauh. Entah baik atau buruk, ia merasa lelaki itu hanya mengaguminya. Tidak lebih. Semua yang dikatakan Sam selalu berkaitan dengan BEMU dan seluk-beluknya, membuat Lena berpikir bahwa sosok yang dicintai bukanlah Lena si gadis cerewet dan apa adanya, melainkan Lena sang menteri yang berhasil menyelamatkan harga dirinya.

"Makasih karena lo udah suka sama gue. Gue juga suka sama lo, kok."

Lena membuka suara, membuat Sam refleks menyunggingkan senyum atas kalimat terakhir yang diucapkan. Namun, detik berikutnya gadis itu menghela napas panjang. Sam yang menerka-nerka pun turut menautkan alis.

"Tapi gue nggak tau apa identitas rasa ini sebenarnya."

Sam mendengkus. "Jangan formal-formal, Len."

"Itu dia. Selama ini kita ngabisin waktu sebagai partner di kementerian, makanya bisa deket. Lo sendiri yang bilang kalau suka sama cara berpikir gue, kepemimpinan gue, kegigihan gue, dan lain-lain. Gue juga sempet mikir gitu, bahkan di titik nyaman banget sama lo. Tapi balik lagi, gue ngerasain ini ke lo sebagai apa dan siapa, Sam?"

"Nggak ada bedanya, Len. Gue tetep gue."

"Beda, Sam. Gue butuh waktu buat membedakan perasaan di dalam dan luar ruangan kayak gini."

"Tapi--"

"Gue harap lo mau nunggu."

"Len--"

Sang empunya nama tak mengindahkan dan memilih memakai helmnya. Ia juga buru-buru menyalakan mesin motor lalu melaju tanpa membayar parkir. Sam yang frustrasi lekas mengacak rambut dan menendang bebatuan di sekitarnya. Ia pun mendongak, menatap langit hitam tak berbintang lalu sejenak memejamkan mata.

Kalau permainan mereka harus berlanjut di zona ini, mau tidak mau ia akan menikmatinya. Untuk menang, Sam wajib berkawan dengan kesabaran dan waktu akan berada di pihaknya.

Semoga.

19 Desember 2021
1334 Kata

Sedikit lagi, En 🙃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top