21 ~ Rawat Hati

"Bahagia itu nggak dicari, tapi dibuat."

📢📢📢

Dingin AC yang terpasang di beberapa bagian tak membantu apa pun. Lena tetap bermandikan peluh dengan napas yang terengah-engah. Setelah mengurus administrasi, ia kembali duduk di samping Sam yang masih menikmati lelapnya. Gadis itu mendongak, menatap cairan infus yang menetes perlahan. Ia pun mendengkus, bersandar pada kursi dan mengusap wajah. Ponsel yang terus bergetar di kantong celana enggan ia indahkan sampai benar-benar tenang.

UGD siang ini tak terlalu padat, membuatnya bisa leluasa bernapas, meski bau obat-obatan kian menusuk hidung. Lena lantas meraih tangan kiri Sam dengan hati-hati agar tak mengenai jarum yang tertancap di sana. Ia menggenggam erat, seolah menyalurkan tenaga yang tersisa agar lelaki di sebelahnya lekas membuka mata. Namun, hari baru separuh jalan. Ia tak perlu tergesa-gesa.

"Kak?"

Gadis yang tersentak sontak melepaskan genggamannya lalu otomatis berdiri. Ia menoleh dan menghadap ke teman dekat Sam yang baru saja datang. Setelah menyapa dengan sedikit membungkuk, Riki berjalan ke sisi kanan Sam dan mengamati sahabatnya lekat-lekat. Embusan napas panjang keluar dari mulutnya, juga Lena yang kemudian tersenyum tipis pada lelaki itu.

"Makasih, ya, udah dateng. Gue nggak ngerti kudu ngehubungi siapa."

"Gue yang harusnya makasih, Kak. Kata dokter gimana?"

Lena kembali duduk saat Riki menarik kursi di dekat tempat tidur sebelahnya. "Nggak apa-apa. Udah dikasih obat. Kalau infusnya udah habis, Sam boleh pulang."

"Itu aja?"

"Iya," Lena mengangguk, "sama diminta buat jaga kesehatan."

"Mana bisa." Riki tertawa kecil. "Sering begadang, makan nggak teratur, masih ngerokok lagi."

"Ya diingetin, kan, lo temennya."

Lena menyunggingkan senyum seraya melirik ke arah Sam. Ia benar-benar bersyukur karena aksi tadi tak memperburuk paru-paru lelaki itu. Andai tekanannya lebih besar, Sam bisa kembali mengalami pneumotoraks. Katakanlah, Tuhan tengah berbaik hati meringankan rasa bersalahnya. Entah bagaimana uring-uringannya ia bila hal yang lebih buruk terjadi. Masalah di kampus saja belum jelas urusannya, apalagi jika harus ditambah ini. Seketika ia ingat untuk mengangkat telepon.

Gadis itu lekas izin ke Riki untuk keluar sebentar. Ia segera menerima panggilan dari Zaki yang sudah menelponnya sekitar sepuluh kali. Ia menepi dan duduk berjongkok di samping pintu masuk, memastikan diri tidak menghalangi jalan.

"Iya, Bang?"

"Akhirnya lo angkat juga. Gimana keadaan, Sam?" tanya Zaki menggebu-gebu.

"Lagi istirahat."

"Perlu nginap, nggak?"

"Disarankan gitu, tapi kalau mau pulang, ya, nggak apa-apa. Bisa rawat jalan."

"Syukurlah." Terdengar Zaki menghela napas. "Setelah di sini beres, gue sama presma bakal ke situ."

Lena pun tersadar. Ada kewajiban yang ia tinggalkan. Gadis itu memijat tengkuk dan memejamkan mata, berusaha mengurangi beban yang teringat.

"Hasil negoisasinya gimana, Bang?"

"Kampus nerima tuntutan kita."

"Hah?"

"Iya, lo nggak salah denger."

"Kok bisa?"

Zaki sedikit tertawa. "Rektor bakal mempertimbangkan kenaikan SPP-DPP, tergantung kebutuhan tiap fakultas. Jadi, jumlah dan naik tidaknya nanti diputuskan dekan fakultas masing-masing."

"Ah, syukurlah. Seenggaknya hari ini nggak sia-sia lagi."

"Dari awal juga nggak ada yang sia-sia, Len. Lo sendiri yang bilang."

Lena tersenyum sambil memainkan kerikil bercampur pasir di depannya. "Iya juga, sih, Bang. Setelah ini gue bikin laporannya dan minta anak-anak kemendagri buat terus follow up isunya."

"Iya, makasih, ya, atas kerja keras lo selama di kabinet. Sam juga."

"He'em. Udah kewajiban kita, Bang."

Zaki mengiakan dan menutup percakapan. Ia harus mengurus massa di lapangan. Lena pun menurut lalu mematikan telepon. Namun, gadis yang perlahan berdiri itu tak segera kembali ke dalam. Ia justru mencari kontak dan menghubungi orang lain. Senyum leganya muncul saat sosok yang dicari mengucap salam dengan semringah.

"Makasih, ya, Kak. Maaf karena nggak nemenin di sana."

Salah satu awak media yang dekat dengan Lena berulang kali mengucap 'tidak apa-apa'. Ia dan rekan lainnya telah pulang setelah demonstrasi berakhir. Berita-berita yang mereka tulis juga sudah naik ke permukaan. Meski sebelumnya sempat mencari Lena ke mana-mana, mereka berusaha maklum dan tak memendam amarah.

"Santai, tapi sori, ya, kita nggak bisa ngomongin sisi negatifnya. Fokus isi ke pengabulan tuntutan."

"Nggak masalah, kok." Lena menggeleng, walau tak ada yang melihat. "Lagian, bukan itu yang penting. Selama mereka mau dan ada perubahan ke depannya, gue nggak berurusan sama citra kampus yang sebenarnya."

"Okelah. Kalau masih ada perlu, jangan sungkan ngontak gue, ya."

"Makasih banget, Kak, sekali lagi. Besok siang gue ke kantor, ya."

"Boleh, jangan lupa martabaknya."

"Siap!"

Rona wajah Lena kembali berseri. Kali ini, ia benar-benar bisa bernapas dengan baik. Ada kabar bagus yang bisa ia ceritakan saat Sam bangun nanti. Itu sudah lebih dari cukup. Ia pun segera masuk dengan senyum yang tak luntur dan langkah kecil yang dipercepat. Riki sontak mengernyit dan menelan ludah saat melihat tingkah Lena.

"Lo oke, Kak?" tanyanya.

"Sangat oke." Lena masih memamerkan senyum manisnya.

"Syukur, deh. Oiya, maaf, gue lupa kalau disuruh ke kampus buat bantuin anak komisariat. Titip Sam lagi, ya, Kak. Setelah kelar, nanti gue jemput."

"Iya, lo pergi aja. Presma bakal ke sini juga, kok. Kalau lama, lo nggak perlu buru-buru ke sini. Ketemu di kos aja."

"Oh, oke. Makasih, Kak."

Lena mengangguk. Entah berapa kali ia mendengar kata terima kasih selama hari ini. Tak apa, toh itu cukup mengimbangi kata maaf yang ingin ia lontarkan pada Sam.

Sosok yang terbaring lemah itu mulai terlihat membaik. Wajahnya tak sepucat sebelumnya dan napas yang semula berderu mulai melambat damai. Lena sontak terbelalak saat mata Sam perlahan bergerak naik hingga terbuka sepenuhnya. Ia pun bangkit dan mendekatkan wajahnya pada lelaki tersebut.

"Lo udah bangun."

Sam menelan ludah kasar. Matanya berusaha beradaptasi dengan cahaya yang lumayan silau. Ia juga menerka-nerka apa yang tengah terjadi sampai memutuskan untuk mengedarkan pandangan. Tidak salah lagi, pikirnya. Ia kembali dilarikan ke rumah sakit.

"Ini di UGD. Lo baik-baik aja. Nggak perlu khawatir."

"Maaf dan makasih, ya," ucap Sam lirih.

"Gue yang harusnya makasih karena berkat lo, output dari kongres kita terselamatkan."

Sam menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. "Maksudnya?"

Lena lantas menceritakan semuanya. Tentang apa yang terjadi setelah kaos dan hasil diskusi para negosiator. Tak banyak yang ia katakan selain dua provokator dari fakultas mereka telah diamankan dan diberi hukuman oleh Kepala Kemahasiswaan, serta keputusan rektor yang cukup memuaskan. Mendengar hal itu, Sam tersenyum tipis sambil menatap langit-langit. Setelahnya, ia kembali memejamkan mata.

"Akhirnya, berakhir juga."

Lena mengangguk cepat. "Iya, gue seneng banget."

"Sebahagia itu?"

"Iya, kan, bahagia itu nggak dicari, tapi dibuat. Kalau gue puas dengan proses yang terjadi, ya, gue seneng, lah, apalagi kalau hasilnya juga gitu."

"Gue seneng kalau lo seneng."

Lena menunduk, masih dengan senyuman yang tak runtuh. Ia cukup kaget saat tangan kiri Sam menyentuh lengannya. Lelaki yang membuka mata (lagi) itu menoleh dan menatap lekat. Lena pun menelan ludah lalu mendekatkan kursinya agar Sam bisa leluasa berbicara--karena jarak mereka yang lebih dekat.

"Gue masih ngantuk, boleh tidur lagi, nggak?"

"Tentu, kata dokter juga kudu ngabisin itu," jawab Lena sambil menunjuk infus yang ada di atasnya.

"Kalau gitu, boleh minjem tangan lo?"

"Hem?" ulang Lena takut salah dengar.

"Boleh?"

"O-oke."

Sam meraih tangan kanan Lena dan menggenggamnya erat, lalu membawanya ke atas dada. Kemudian lelaki itu mengatur tidurnya menghadap Lena. Gadis yang mau tak mau kembali mendekatkan tempat duduknya hanya bisa pasrah. Ia biarkan Sam beristirahat, meski posisinya kini sungguh tidak nyaman.

Lena pun menopang dagu--dengan tangan kiri. Ia memperhatikan lelap Sam yang menenangkan lalu beralih menatap tangannya yang tak lagi terkunci. Genggaman lelaki itu telah melonggar dan ia terbebas.

Sungguh, Lena bisa melarikan diri dan melepaskannya saat ini juga. Namun, yang ia lakukan justru sebaliknya. Ia terpaku, bergeming akan sentuhan hangat yang lembap dan bergetar pula. Benaknya pun bertanya-tanya, mengapa ia merasa enggan?

Apa sekarang ia mulai memikirkan isi rekaman dalam recorder hingga perlahan menikmati momen ini?

19 Desember 2021
1266 Kata

Udah pada nonton F4?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top