2 ~ Debat Presma
"Debat itu biar satu sama lain bisa belajar pemikiran masing-masing, bukan perkara adu argumen dan tarung sentimen doang."
📢📢📢
Panas siang ini tak berasal dari semilir angin yang beradu dengan debu matahari. AC yang biasanya mati sebelah juga bukan penyebabnya. Jumlah audiens yang lebih dari kapasitas mungkin menyumbang sekitar dua puluh persen dan selebihnya diserahkan pada empat mahasiswa yang berdiri di podium. Tepat setelah moderator menyela argumen secara sepihak, tensi di antara mereka membuat panelis di meja paling depan turut berbisik. Apa boleh buat, waktu terus berjalan dan rundown acara terus menekan.
Sesi pertanyaan umum telah dibuka. Sam mengepalkan tangan dan menoleh sekilas ke arah anggota Partai Visa yang memperhatikan jagoan mereka. Anggukan kecil dan senyum tipis yang tersaji berkat tanggapan yang signifikan membuatnya berdecak dan memutar bola mata malas. Ia lantas menurunkan masker, meski setelahnya terasa sesak dan sesekali terbatuk. Tangan putih pucat yang tak dibalut hoodie hitam--seperti biasa--lekas di angkat tinggi-tinggi agar siapa saja dapat melihatnya.
"Baik, terima kasih atas kesempatannya," ucap Sam setelah mendapat mikrofon dari panitia yang berjaga di samping. Ia pun berdiri. "Perkenalkan, saya Ahsyam Fahriza dari Fakultas Teknik, ingin mengajukan pertanyaan ke kedua calon."
Tidak ada yang mengabaikannya, termasuk kumpulan lelaki--dan sedikitnya dua perempuan--di pojok kanan yang kompak terbelalak dan mengerutkan dahi. Sam tersenyum sambil melirik mereka yang terlihat ingin mengajukan pertanyaan juga. Bedanya, bukan ditujukan ke calon presiden mahasiswa di depan, melainkan untuknya yang sejak semalam tak mengindahkan panggilan apa pun.
"Saya sangat mengapresiasi pertanyaan dari Bapak Akbar terkait tantangan BEM saat ini, mengingat beberapa waktu lalu kampus sempat dihadapkan dengan berbagai tuntutan mahasiswa yang disebabkan oleh penurunan infrastruktur. Namun, baik dari paslon satu maupun dua, belum ada yang menunjukkan adanya evaluasi kinerja kabinet sebelumnya."
Sam berhenti sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Fokusnya teralih pada sosok yang beranjak keluar dari barisan dan berjalan menghampirinya. Ia pun menunduk dan menyeringai, lalu sedikit berdeham guna merebut perhatian audiens kembali. Antusiasnya makin meluap.
"Pertanyaan saya, seberapa jauh para calon yang terhormat ini mengkaji program-program dari BEM tahun kemarin? Apakah visi-misi yang disampaikan sejak awal hanya murni dari ambisi akan pandangan ke depan, tanpa menengok ke belakang?"
Setelah mengucap terima kasih, Sam menutup pertanyaannya dengan senyum manis yang berubah 180 derajat setelah beberapa detik. Ia segera duduk lalu mengambil ransel yang disimpan di bawah kursi. Kemudian enyah tanpa mau mendengar balasan dari ocehan super-panjang yang dilayangkan. Sama saja, pikirnya, apa yang disampaikan dari tadi cenderung ngalor-ngidul dan keluar dari esensinya. Toh, ia melakukan itu hanya untuk menenangkan diri, bukan untuk mendapatkan jawaban.
Lelaki berkemeja abu-abu itu buru-buru keluar ruangan. Ia tahu bahwa Haris, teman seangkatan sekaligus ketua partainya, tengah mengejar dengan napas kembang-kempis. Ia tak ingin membuat kegaduhan kalau-kalau hal itu terjadi. Sam memilih berhenti dan bersandar pada dinding graha utama.
"Gue tau kalau lo bakal nyusul ke sini," ucap Sam sebelum menenggak air minum yang ia bawa dari indekos.
"Lo mau ke mana?"
"Balik, mau tidur."
Haris menahan tangan Sam yang hendak menyalakan rokok. Lelaki berbadan tegap itu menggeleng berulang kali sebelum merebut barang tersebut. Sam pun mendengkus dan mengacak rambut. Nyeri yang menyerang kepala belakang seolah memaksa untuk melepas kucirannya.
"Jaga kesehatan lo."
"Itu bahan bakar gue biar bisa mikir. Sini!"
Bukannya menyerahkan apa yang Sam minta, Haris malah mengajukan pertanyaan, "Kenapa lo tadi nanya kayak gitu?"
Sam menelan ludah. Sudah diduga, pikirnya.
"Bukannya kemarin udah tau sendiri gimana anak-anak bikin visi-misi? Bahkan, lo juga ikut nyumbang pendapat. Jangan gini, lah, Sam."
"Gini gimana? Gue nggak salah, emang mereka aja yang nggak becus debatnya. Pembahasan panjang, tapi nggak fokus. Gue cuma menekankan biar lebih jelas. Bagus, kan?"
"Dari mananya, Setan?" Haris mengentakkan kaki. "Debat itu biar satu sama lain bisa belajar pemikiran masing-masing, bukan perkara adu argumen dan tarung sentimen doang."
"Ya, ya, ya, emang lo paling bener, kok." Sam tersenyum remeh sambil menepuk pundak lelaki di depannya. "Paling nggak sekarang keliatan, kan, kalau sebenarnya penyampaian gue jauh lebih matang dari kebanggaan kalian itu."
"Sam!"
Haris berusaha menahan langkah kaki yang terus menjauh meninggalkannya. Ia pun berkacak pinggang dan mengerang kesal. Entah perbuatan apa yang harus dilakukan agar kekecewaan di hati Sam mereda. Ia dan senior-seniornya sudah lelah. Meski tawaran duduk di kementerian telah diumbar, lelaki yang memilih pulang sebelum agenda selesai itu tetap berpikiran negatif.
Sam tidak mau membuang waktu untuk acara konyol lagi. Lebih baik ia bergegas menuju indekos yang jaraknya tidaklah jauh dari kampus. Ia hanya perlu berjalan selama lima menit. Bertambah dua menit kalau harus membeli nasi bungkus di dekat gerbang belakang. Sesampainya di kamar, ia lekas menggantung tas pada kapstok lalu berbaring di kasur yang cukup dingin.
"Kalau mereka jujur, gue bakal gitu juga nggak, ya?"
Lelaki yang memukul dadanya secara perlahan tengah menatap langit-langit kamar. Ia lekas duduk dan meminum sebungkus obat yang teronggok di atas nakas setelah menyadari sesuatu. Ponsel yang bergetar di sampingnya cukup mengecoh fokus.
"Ada apa, Ki?" ucap Sam menjawab panggilan, tanpa mengucap salam.
"Besok lo ngawasin, nggak?"
"Belum tau, emang kenapa?"
"Ikut, deh, kalau gitu. Temenin gue. Pas ngitung juga, sekalian."
"Gampang, anak-anak yang lain pasti jaga di sana, kok," jawabnya sambil menyalakan korek api.
"Beneran, ya?"
"Iya, lagian kenapa, sih? Kayak cewek minta dibeliin skincare aja."
"Gue takut, njir, masih nanya."
Sam tertawa dan kembali berbaring. Ia mengembuskan kepulan asap dari mulutnya. "Santai aja, lo nggak sendirian."
"Dan yang berniat memanipulasi kotak suara juga nggak sendirian, tai."
"Kan, jadi satu sama."
📢📢📢
Satu per satu lemari telah dikosongi. Debu-debu yang tak rutin dibersihkan mengisi ruangan yang lumayan besar. Sebagian penghuni pun refleks bersin dan terbatuk, meski sudah memakai masker yang berlapis. Agenda bersih-bersih sekretariat ini cukup menguras energi.
"Padahal Kakak nggak perlu ikut beres-beres, lho. Kita bisa sendiri."
Lena menoleh dan tersenyum di balik maskernya. "Santai aja, gue gabut. Daripada tidur, mending bantuin kalian, kan?"
Ingin mereka mengiakan, tetapi keberadaan sang mantan ketua di sana hanya memperkuat rasa sungkan yang mendera. Pengurus baru tersebut hanya mengangguk dan berusaha menyamarkan gerak-gerik yang (mungkin) membuat Lena kurang nyaman.
Gadis yang masih mengenakan kemeja jurusan itu benar-benar belum terbiasa. Dulu yang selesai mata kuliah dapat menyibukkan diri dengan laporan yang bertumpuk, sekarang hanya bisa membiarkan indekos kosong menyambutnya. Namun, alih-alih pulang dan bersantai, ia malah mampir lagi ke tempat yang menemaninya selama tiga tahun tersebut.
"Nggak nonton debat presma, Kak?"
"Males," jawab Lena jujur. "Walaupun sebenernya agak seru. Seenggaknya bukan calon tunggal kayak tahun kemarin. Tapi, paslon sebelah nggak kuat. Ketebak banget siapa yang menang suara nanti."
"Oh gitu. Kakak milih siapa?"
"Yang dari Surya, lah. Emang belum terlalu kenal sama calonnya, sih, tapi ngapain pilih sebelah kalau punya sendiri? Lagian, gue udah tau visi-misi mereka. Kurang lebih sama aja."
"Iya juga, sih."
"Lo nggak ngerti begituan, makanya iya-iya aja," sindir Lena yang dibalas kekehan dari juniornya.
Kedua gadis itu pun berpisah karena Lena harus keluar membuang sampah. Kemudian ia kembali berjibaku dengan puluhan majalah yang harus dimasukkan dan dirapikan lagi. Meski masa terbit telah berlalu dan beritanya sudah tidak aktual, mereka masih menyimpan bukti-bukti tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban.
"Btw, sori, ya. Gue nyampah di sini."
"Nggak apa-apa, Kak. Makasih malah karena mau repot-repot."
Lena tersenyum tipis. Ia segera meraih satu majalah lalu mengelapnya dengan kain bersih, sebelum menata di lemari kaca. Namun, tak berselang lama, tangannya berhenti bergerak dan matanya bekerja lebih giat. Halaman depan yang memampangkan seorang mahasiswa bersama dekan-lah yang menyita perhatiannya.
"Pantes nggak asing, wong gue sendiri yang ngambil fotonya."
"Foto apa, Kak?"
"Hah?"
Lena sontak celingak-celinguk. Ia menggaruk kepalanya sebelum menggeleng cepat.
"Oh, nggak. Bukan apa-apa, kok."
Gadis berhijab yang mengerutkan kening lantas mengangguk. Ada-ada saja, batinnya. Lena langsung melanjutkan aktivitas agar kebodohannya tersamarkan. Tidak seharusnya ia bermonolog sekeras itu.
Memori yang tersimpan pun terputar, membuat Lena sesekali termangu dan manggut-manggut. Waktu itu, mahasiswa Fakultas Teknik memang menyuarakan keluh-kesah mereka selama berhari-hari di depan gedung dekanat. Sebut saja demo, mereka mengkritisi kebijakan baru terkait biaya tambahan remedial praktikum.
Tentu saja Lena tidak membanggakan betapa beraninya mereka dalam melakukan hal tersebut, mengingat Pelita Bahasa sangat sensitif dengan citra kampus. Ia lebih berfokus pada tanggapan positif dekan yang mengajak negosiator dari demonstran untuk mendengar penjelasan pimpinan. Meski enggan, independensinya telah diatur sedemikian rupa.
"Kak, hape lo bunyi."
"Hem?" Lamunan Lena buyar seketika. "Oh, iya. Makasih."
Gadis itu segera meletakkan majalah yang ia pegang dan mengambil alih ponselnya. Kemudian ia keluar ruangan dan menjawab telepon dari seniornya, Zaki.
"Salam, Bang."
"Lagi di mana?"
"Di sekret, nih."
"Besok malam ngopi ke komsat, ya. Gue tunggu jam tujuhan."
Sebenernya, Lena ingin bertanya. Namun, ia urungkan dan segera menjawab, "Oke."
Terbersit sebuah hipotesis di otak yang cukup meyakinkan, tetapi Lena tidak mau berbangga diri. Ia ingin senang, tetapi hatinya teramat deg-degan sampai tak bisa merasakannya. Gadis itu pun segera menepuk pipinya sendiri berulang kali.
Fokus, fokus, kalau memang iya, dipikir nanti.
3 November 2021
1490 Kata
📢📢📢
Paslon: Pasangan Calon
Komsat: Komisariat; Kantor sebuah organisasi
Presma: Presiden Mahasiswa; Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas
📢📢📢
Dulu ngebet masuk organisasi karena denger orasinya Ketua HIMAKESOS pas ospek (padahal beda jurusan). Nggak tahu kenapa, menurutku cowok yang jago speaking tuh memesona banget 🙂
Iya, nggak, Bang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top