18 ~ Dialog Rektorat
"Baik buruknya seseorang tergantung dari mana kisahnya berasal, jadi tidak ada alasan untuk berburuk sangka."
📢📢📢
Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benak Sam bahwa ia akan berdiri di bawah banner bertuliskan Kongres Mahasiswa, yang terbentang dari tiang-tiang aula sebelum pintu masuk. Mulanya, ia berpikir akan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan, seperti cibiran Lena waktu lalu. Akan tetapi, ia kalah. Lebih tepatnya, ia rela mengalah dan memilih menginjak ruangan yang disulap menjadi tempat diskusi petinggi dengan organisasi intra kampus.
Lelaki itu enggan masuk. Ia belum terbiasa duduk dikelilingi manusia-manusia penting di acara formal seperti ini. Ia juga tak ingin menghadapinya sendirian tanpa Lena, gadis yang justru berbasa-basi dengan jajaran rektor Pelita Bahasa. Sudah hampir dua puluh menit mereka bertukar tawa, tanpa sekilas menoleh ke arahnya atau mengecek kondisi aula yang mulai dipenuhi audiens.
Entah apa yang mereka bicarakan, Sam tak mau ikut campur, meski rasa ingin tahunya meledak-ledak. Harusnya, ia sudah tak asing dengan pemandangan tersebut, mengingat Lena adalah mantan ketua LPM. Bersinggungan dengan pejabat bukanlah hal sulit baginya. Toh, baik buruknya seseorang tergantung dari mana kisahnya berasal, jadi tidak ada alasan untuk berburuk sangka.
"Bang!"
Sam sedikit tersentak hingga mengelus dada. "Iya, Ji. Kenapa?"
"Dipanggil presma."
"Masih sejam lebih, ada apa?"
"Nggak tau, udah masuk aja."
"Oke, lo duluan."
Aji hanya mengangguk lalu masuk ruangan tanpa membawa Sam di belakangnya. Lelaki yang dipercaya seratus persen oleh Lena untuk memimpin jalannya diskusi itu tetap terpaku dan menunggu. Bukan, ia tak bermaksud, apalagi berharap Lena lekas mengakhiri pembahasan asing mereka dan berjalan ke arahnya. Sam hanya ingin menagih janji karena sampai sekarang ia belum mencintai dialog rektorat ini.
Namun, langkahnya berlalu begitu saja, sebab sosok di seberang sana seolah berpura-pura tak menyadari keberadaannya. Ia segera masuk dan duduk di antara presma dan seorang anggota kemendagri. Kemudian sekian detik memberi salam pada rekan sesama kementerian yang turut hadir. Mereka sudah tersebar di beberapa spot untuk berbaur dengan para gubma, ketua UKM/LSO dan mahasiswa seluruh fakultas yang mewakili kelasnya.
"Ada apa, Pres?"
"Lo lihat yang sama Lena tadi, kan?"
"Iya," jawabnya lalu mendengkus.
"Lena udah berusaha buat menghadirkan rektor dan seluruh wakilnya di sini, makanya dia yang nyambut di depan. Sayangnya, WR 1 berhalangan hadir karena harus ngecek proyek pembangunan hotel kapal."
Sam lekas melirik, memandangi gadis yang masih tersenyum dengan kedua tangan yang bertaut di depan perut. Kemudian ia mengembuskan napas panjang, berterima kasih dalam hati karena belum menaruh persepsi apa pun. Lelaki itu lantas meraih dokumen yang ada di depannya dan membaca sepintas, mencari poin yang pembahasannya ditujukan pada wakil rektor satu. Detik demi detik berlalu, halaman demi halaman dibalik, dan Sam tersadar bahwa ia menginginkan Lena di sampingnya.
"Manfaatkan dengan baik, Sam. WR 2 hadir di sini. Lo bisa ngulik sepuasnya masalah SPP-DPP."
"Iya, Pres. Paham."
"Lo udah briefing anak kementerian lain, kan?"
Sam mengangguk. Sejak minggu lalu, ia sudah melakukannya, bahkan sampai dua kali guna menyatukan dan memastikan pemahaman mereka. Tadi, saat sebelum masuk aula pun, ia juga mengulang kalimat yang sama untuk mengingatkan. Membosankan, memang, tetapi berjaga-jaga lebih baik dibanding ada pembahasan di luar konteks yang bisa mempersulit.
"Aman. Kalau gitu, gue nyamperin rektor dulu. Lena yang ke sini."
Presma benar-benar keluar ruangan setelah mengucap demikian. Lagi, Sam merasa tepukan pada pundaknya tak menenangkan sama sekali. Beban yang lebih dulu datang seolah makin mengembang dan memberatkan saja. Namun, rasa itu perlahan mengendur saat Lena melambaikan tangan lalu berlari-lari kecil ke arahnya. Seketika hawa panas di tubuh yang menyangkal keberadaan AC mulai mereda hingga ke titik normal.
"Gugup, ya?" tanya gadis yang sibuk menggelung rambut. Setelah sekian jam mengabaikan Sam dan puluhan pesannya, kini ia duduk di samping kanan lelaki itu.
"Kuota lo abis?"
"Enggak."
"Terus, kenapa nggak bales chat?" Sam bertanya sambil memainkan bolpoinnya.
"Kan bakal ketemu juga, bahas di sini aja."
"Telat. Gue udah nggak butuh."
Lena hanya tersenyum. Mau Sam marah atau tidak, itu tidak penting. Ia tak berniat menanggapinya lagi, sebab presma dan rektor telah memasuki aula. Anggota kemendagri yang bertugas di bagian administrasi lekas menutup seluruh pintu sesuai arahan.
Sam menegapkan duduknya. Matanya tertuju pada rektor dan kedua wakilnya yang duduk tepat di depan mereka, meski berjarak cukup jauh, mengingat pola duduk dialog rektorat ini berbentuk Letter U. Presma yang semula berada di depan segera duduk di sebelah kiri Sam dan mempersilakannya untuk memulai diskusi.
"Gue tau lo bisa," bisik Lena sambil menggenggam tangan kanan Sam yang bebas dari mikrofon.
"Hem, gue juga tau."
Gadis yang berusaha bersikap manis dan memberi dukungan lekas melepas genggamannya lalu memukul paha Sam. Lelaki itu sempat mengaduh dan sontak menahan tawa karena ekspresi konyol Lena terlalu menggemaskan. Ia pun berdeham dan mengusap wajah sebelum memulai acara.
Hening yang memenuhi ruangan menambah kesejukan, membuat siapa pun perlahan rileks dan fokus membaca draf tuntutan yang disebar di setiap meja. Sam telah mengantar satu per satu pembahasan sampai kesempatan beralih ke tangan rektor. Ia langsung menyiapkan bolpoin dan mencatat hal-hal penting yang mengundang tanya, sedangkan Lena tetap bersedekap dan membiarkan recorder-nya bertugas.
"Gini, Mas. Masalah kenaikan SPP-DPP, semua sudah dibicarakan saat pertemuan wali, setelah daftar ulang dan sebelum OSPEK, dan yang keberatan pastinya tidak jadi kuliah di sini. Kenaikan itu menyesuaikan kebutuhan perkuliahan tiap tahun, juga buat meningkatkan akreditasi dan daya saing dengan kampus lain," terang wakil rektor dua, yang tupoksinya condong ke permasalahan keuangan.
"Kebutuhan dan akreditasi setiap fakultas bahkan jurusan, kan, berbeda, kenapa kenaikannya sama, Pak?" Sam bertanya setelah hening lima detik. Begitulah yang ia pelajari dari Lena.
"Kenaikannya sama karena kami ingin melakukan pengembangan secara merata."
"Kalau begitu, kenapa setelah naik sepuluh persen secara signifikan, progres perkembangannya malah tidak terlihat, Pak?" Sam membuka kumpulan tabel yang ada di halaman terakhir. "Dilihat dari data yang kami kumpulkan melalui sidak dan diskusi terbuka di tiap fakultas, banyak infrastruktur yang mengalami kerusakan dan belum diperbaiki. Justru yang paling terlihat adalah kampus sedang giat-giatnya membangun usaha. Dari rumah sakit, bengkel, POM bensin, toko buku, dan yang terbaru hotel."
"Masalah infrastruktur, WR 1 yang lebih berwenang."
"Pengelolaan keuangan di tiap fakultas beda-beda. Ada yang lebih mementingkan kebutuhan laboratorium, seperti jurusan Ilmu Komunikasi di FISIP dan Teknik Mesin di FT. Ada juga yang lain, lengkapnya bisa didiskusikan dengan WR 1," sambung rektor.
Sam mengepalkan tangannya kuat-kuat. Keringat dingin mulai bermunculan ketika jantungnya berdetak tak karuan. Raut wajahnya tampak merah-padam, seiring dengan alis yang bertaut. Napasnya turut berderu setelah ketenangan yang ia kumpulkan habis terkuras hanya dalam lima belas menit.
Tiga lelaki paruh baya di depannya itu menyarankan untuk melanjutkan pembahasan ke poin selanjutnya karena orang yang bersangkutan sedang berhalangan hadir. Sam merasa mereka sengaja menyembunyikan WR 1 agar permasalahan utama bisa dikesampingkan. Ia pun mencengkeram celana guna menyalurkan kekesalan. Namun, secepat kilat Lena menyentuh dan menggenggam tangannya yang basah.
Gadis itu tersenyum, meski tipis dan hanya bertahan sekian detik. Ia menggeleng, seolah mengatakan agar sang wakil menahan amarahnya. Binar mata yang menatap Sam tanpa berkedip sontak membuatnya luruh. Ia lantas mengembuskan napas panjang dan kembali mewaraskan diri.
"Saya persilakan teman-teman di forum untuk menanggapinya."
Disela mengatur jalannya diskusi dengan memberi izin pada audiens yang mengangkat tangan, Sam bersandar pada kursi dan kembali mendengkus. Belum separuh perjalanan, ia sudah lelah. Tak tinggal diam, Lena lekas menariknya untuk kembali tegap dan menunjukkan wibawanya.
"Bentar doang," bisik Sam.
"Simak, biar lo punya senjata baru."
"Percuma, udah kalah. Strategi mereka bukan main."
"Gue tau, tapi bukan berarti nggak ada celah. Ayo, bangun."
Sam menggeleng. Ia benar-benar malas. Ia juga tak peduli dengan lirikan presma yang duduk tepat di sampingnya. Toh, lelaki itu sama kesalnya dengan respons rektor. Hanya Lena yang masih menggebu-gebu dan mau memaksanya untuk bangkit. Mungkin, karena terikat janji yang harus dipenuhi. Entahlah, Sam memilih memejamkan mata.
"Malah merem. Sini!" bentak Lena dengan suara lirih.
Gadis itu meraih tangan Sam dan sekuat tenaga membawanya hingga masuk ke laci meja. Hal yang membuat Sam tersentak dan refleks menatap sinis. Lena pun terkikik, menjulurkan lidah lalu menyunggingkan senyum.
Ia menggenggam tangan Sam hingga tak dapat meloloskan diri, meski lembap yang terasa sedikit menjengkelkan. Semata-mata guna berjaga kalau emosinya nanti kembali tersulut. Tak seperti sebelumnya, lelaki itu membiarkan apa pun yang Lena lakukan. Bahkan setelah menarik dan menyembunyikan tangannya begitu saja, ia tetap menerimanya tanpa protes macam-macam.
Perlahan, fokusnya kembali dan diskusi berjalan sebagaimana mestinya. Beradu tanpa main tangan. Bertukar pikiran tanpa mengedepankan ego masing-masing. Tidak ada yang salah sampai akhirnya sebuah keputusan pun harus ditentukan.
Saat itu pula Sam menyadari bahwa sejak awal ia tak seharusnya menikmati genggaman tangan ini.
9 Desember 2021
1420 Kata
6 bab lagi, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top